4 | Yang Tak Mereka Tahu
"COWOKNYA kurang ganteng. Jadi feel-nya kurang nyess ke hati." Nura mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur Melodi. Kasur empuk dan wangi lavender yang menelusup indra penciuman membuat sensasi nyaman seketika turut memeluk tubuhnya. Kemewahan yang ada sedikit membuai, membuat Nura betah berlama-lama.
"Pilih-pilih banget sih lo kalo nonton." Melodi turut mengempaskan diri di samping Nura, setelah sebelumnya ia membiarkan satu bungkus snack Pillow mendarat mulus di wajah sahabat baiknya itu.
"Enggak pilihan sih, sebenernya. Gue suka nonton semua genre film. Asal ..." Nura bangkit dan segera membuka camilan favoritnya itu. "... jangan ada adegan cewek yang sakit."
"Tetep aja pilihan." Melodi mencebik, selagi matanya fokus pada layar ponsel.
Hening. Lama.
"Betewe, di Bandung gimana? Ada cowok yang nyantol enggak?" Melupakan halaman Instagram seseorang yang tengah di-stalk-nya, Melodi turut bangkit dan menatap Nura serius. Agak sedikit melempar tatap menggoda.
Menelan sebentar makanan yang tersisa di mulutnya, Nura kemudian mengangguk-angguk kecil. "Ada. Guru geografi. Masih muda, ganteng kayak Choi Siwon, pinter bikin puisi juga. Tapi, gue tolak," jawabnya santai.
"Kok ditolak?"
"Belum apa-apa istrinya udah ngamuk sama gue," cetusnya. Snack berbentuk bantal itu pun kembali lenyap dalam mulutnya.
"Anjir!" Melodi sontak mengumpat. Putri pengusaha konglomerat itu menonjok pelan bahu sahabatnya. Bersama Nura, Melodi yang cantik dan anggun kadang suka menjadi agak bar-bar.
Tawa Nura mengudara. Jadi membayangkan masa-masa konyol di Bandung. Tiga tahun di sana, membuat Nura begitu tersiksa. Rindu yang membumbung membuat hari-harinya menjadi kelabu. Setiap saat wajah Virga tidak berhenti membingkai di pelupuk mata. Hanya sesekali mengintip halaman media sosial laki-laki itu untuk mengobati rindu. Sembari memastikan kalau si yang didamba belum digaet gadis lain.
Sekarang kerinduan itu sudah tuntas terbayar. Setiap hari wajah itu begitu nyata tampak di depan matanya.
"KAN, Mama udah bilang, jangan pulang telat. Bandel, sih!" Sembari membantu Sahal mengeringkan rambutnya, Risti berujar.
Sahal tak menanggapi. Tangannya yang bergetar lantaran kedinginan tampak nyaman memegang mug berisi air hangat yang baru saja Risti bawa. Uap yang mengepul dan terhirup penciumannya menambah sensasi lega dalam dada.
"Kebaikan Papa tuh jangan dijadiin alasan buat kamu bersikap seenaknya. Kamu harus ingat, kamu itu bukan siapa-siapa di sini."
Sahal tahu kalau Risti tidak sesadis itu untuk tak menganggapnya anak. Wanita itu mungkin ingin mengajarkan dirinya untuk selalu tahu diri dan batasan. Roman adalah ayah tirinya. Pria itu sudah mau menampung dan membiayai sekolahnya pun patut Sahal syukuri. Namun, tetap saja dianggap orang asing setelah satu tahun bersama membuat hati Sahal terasa pedih.
"Biar aku aja, Ma." Sahal menghentikan gerakan tangan Risti dan mengambil alih handuk di tangan wanita itu, setelah sebelumnya ia meletakkan mug di atas meja lampu di samping tempat tidurnya.
"Kamu harus jaga kondisi. Walaupun Mama nyuruh kamu untuk jadi anak berprestasi dan enggak ngecewain Papa, bukan berarti kamu lupa jaga kesehatan," tutur Risti seraya mengusap lembut punggung tegak Sahal.
"Iya, Ma."
Hela napas panjang Risti mengudara, selagi matanya menatap kosong jendela kamar Sahal yang sedikit terbuka. "Lagian kalo udah tahu sakit, kenapa kamu enggak tetap tinggal sama ayahmu saja. Dia gak akan kesulitan kalo cuma untuk biaya pengobatan kamu."
Sahal menghentikan gerakan tangannya, membiarkan handuk kecil itu menggantung di lehernya. "Maaf selalu repotin Mama." Sedalam mungkin Sahal meraup oksigen di sekitarnya. Meski lembut dan tidak terkesan sinis, tapi kata-kata Risti selalu berhasil menusuk sadis perasaannya.
"Bukan apa-apa, Sahal. Kamu tau sendiri kan kehidupan Mama sama Papa itu gak semapan ayah kamu. Mama sedih gak bisa kasih yang terbaik buat kamu. Sementara bersama ayahmu di sana, mungkin kamu bisa memiliki semuanya. Juga, ayahmu mungkin bisa nyari dokter terbaik buat nyembuhin penyakit kamu."
Tatap Sahal berubah sendu. Faktanya, Risti tak pernah tahu apa-apa. Enam tahun setelah meninggalkannya bersama sang ayah, Risti tidak tahu penderitaan apa yang dilaluinya. Sungguh berkali-kali lipat sangat berat. Puncaknya adalah ketika akhirnya ia memutuskan untuk melarikan diri dari neraka yang ayahnya ciptakan.
"Ma, aku janji akan jadi anak yang baik. Aku juga enggak akan sakit lagi. Tapi, Mama janji jangan pernah suruh aku pulang sama Papa." Sahal menatap Risti penuh harap. Memori tentang ayahnya selalu menjadi trauma dalam diri Sahal. Membayangkannya saja Sahal enggan. Terlalu menyakitkan, terlalu menyesakkan.
Risti membuang napas pendek. "Ya udah, lagian Mama juga enggak mau lagi bahas apa pun soal ayahmu itu." Senyum Risti menjadi jeda. "Kamu istirahat kalau gitu," lanjutnya kemudian. Sebelum meninggalkan Sahal sendiri, dielusnya rambut basah anaknya itu.
Selepas kepergian Risti, Sahal hanya bisa terpaku. Hanyut dalam pikirannya yang centang-perenang. Dunianya terasa runtuh. Kendati senyum dan usap lembut sang mama masih membuktikan masih ada cinta yang tersisa, tapi ketidakingintahuan Risti tentang kehidupan yang dilaluinya sebelum ia masuk dalam keluarga ini, membuat sosok itu masih terlihat apatis terhadapnya.
Sahal sendiri terlalu urung menceritakan serangkaian kejadian nahas yang menimpanya. Mungkin saja Risti juga tidak peduli dengan itu.
Senyum getir Sahal terpatri, selagi hatinya menggumam, "Mencari dokter terbaik? Memangnya siapa yang bikin gue menderita penyakit sialan ini?"
Bandung, 17 April 2020
Dahlah ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top