37 | Tidak Sesuai Rencana
Maaf kalo kepanjangan. Selamat berbosan ria
....
"Kita lakukan sesuai rencana kita, ya? Kalau dalam satu jam gue enggak balik, kita lakukan rencana B."
Melodi dan Nura kompak mengangguk. Menatap Virga dengan was-was. Kendati mereka menyusun rencana dengan apik, dengan keberhasilan nyaris sembilan puluh persen, tetapi tetap saja mereka hanya anak-anak remaja yang tiada berpikir kalau mereka akan melakukan hal sedramatis ini. Aksi anak SMA melawan para penjahat itu hanya ada dalam drama dan cerita-cerita Webtoon saja.
"Lo berdua jaga diri baik-baik." Virga mengambil tasnya yang terlihat penuh dan mendekapnya di dada. Sebelum keluar dari dalam mobil, ia menatap Melodi dan Nura, sangsi meninggalkan kedua gadis itu.
Awalnya, Virga berniat untuk bergerak sendiri. Namun, Andini malah membocorkan rencananya kepada Melodi dan Nura. Barangkali, Andini berpikir Melodi dan Nura adalah hal untuk berjaga-jaga seandainya sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Virga pikir itu hal baik. Sebab, dengan Melodi tahu, ada rencana B yang mereka susun seandainya rencana awal mereka gagal.
"Virga hati-hati." Di balik kemudi, Melodi berujar pelan. Kendati yakin dengan rencana Virga, tetapi ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi juga terhadap laki-laki itu. Cukup Sahal saja.
Virga mengangguk kuat-kuat lantas melangkah pasti meninggalkan posisinya.
"Mel ... Gue percaya sama Virga. Tapi, perasaan gue enggak enak banget. Ini kayak bukan hal yang harusnya kita lakukan." Nura melirik keadaan di luar jendela mobil. Gelap memenuhi pandangan. Ia bukan gadis penakut, Nura berani melakukan banyak hal. Namun, sejak berangkat tadi, perasaannya benar-benar tak enak. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengawasi pergerakan mereka sedari awal.
"Lo tenang aja. Kita, kan, ada rencana B."
Virga mengembuskan napas berat. Vila tempat Sahal disekap, berada di sebuah kaki gunung. Udara yang ada terasa begitu menusuk kendati Virga sudah mengenakan jaket yang tebal. Ia meninggalkan mobil Melodi cukup jauh dari lokasi di mana Sahal berada, sehingga perlu baginya berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk sampai di tempat tujuan.
Gelap di sekeliling terasa menelan bola mata. Pohon-pohon berdiameter besar di sekitarnya berdesis-desis tertiup angin, saling bersahutan dengan suara serangga sejenis subordo cicadomorpha. Menambah gentar dalam dada saja. Ditemani pencahayaan seadanya dari lampu senter, Virga berjalan lebih cepat guna sampai di tempat tujuan.
Nyaris sepuluh menit berjalan, Virga menemukan sebuah vila mewah tua tak terawat berdiri di antara pohon-pohon pinus. Di antara kegelapan yang ada, vila itu paling bercahaya. Lampu-lampu yang menyala menandakan kalau memang ada penghuninya di dalam sana.
Andini bilang, Sahal di sekap di kamar atas paling ujung. Virga bisa masuk lewat tangga bagian belakang vila. Di sana tidak ada penjagaan ketat, kecuali di depan pintu kamar Sahal dan di ruang depan vila.
Virga memutar langkah ke arah bagian belakang. Benar, Andini bilang ... tidak ada begitu banyak penjagaan. Tidak seperti di film-film aksi yang sering Virga tonton. Virga yakin, bodyguard keluarga Melodi jauh lebih banyak ketimbang penjahat yang menjaga Sahal di sana. Namun, kendati begitu, Virga tetap harus berhati-hati. Meskipun sedikit, bisa saja mereka jauh lebih buas dari para predator.
Virga mematikan senter. Memejam sejenak guna membiarkan bola matanya beradaptasi dengan gelap. Ia harus bergerak perlahan, tanpa cahaya dan segala hal mencolok yang bisa mengundang perhatian.
Perlahan, Virga menaiki pagar belakang vila. Ada kolam renang besar tak terawat di sana. Virga berjalan melewati kolam itu dan bisa menemukan dua tangga melingkar di bagian belakang bangunan, akses menuju balkon salah satu ruangan di lantai atas. Ruangan itu tampak gelap, sepertinya tidak ada penjagaan di sana.
Virga menaiki perlahan tangga besi itu. Sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Balkon itu tampak luas, sepertinya tempat menjemur pakaian karena saat Virga mengintip dari balik pintu kaca yang menghubungkan balkon dan ruangan di dalamnya, ia bisa menemukan ruangan mencuci.
Pintu kaca itu tidak terkunci begitu Virga mendorongnya. Aneh sekali. Tetap waspada, Virga berjalan masuk. Mengedarkan sejenak pandangannya, Virga bisa melihat beberapa mesin cuci yang sudah tak terpakai. Beberapa botol bekas sabun dan pewangi berserakan di lantai.
Perlahan sekali, Virga mengintip di balik celah pintu. Ruangan itu langsung terhubung ke arah ruangan yang Virga yakini tempat Sahal berada. Pintu itu dijaga oleh dua orang penjaga berpakaian serba hitam. Salah satu dari mereka tampak terkantuk-kantuk. Wajar karena ini nyaris melewati tengah malam.
Virga berpikir sejenak, mencari cara bagaimana mengalihkan perhatian kedua orang dewasa di sana. Menunggu mereka lengah hanya akan memakan waktu yang banyak.
Saat sedang berpikir keras, Virga melihat salah satu dari penjaga itu menyuntikan sesuatu ke pundak pria yang tengah terkantuk-kantuk di sampingnya. Lantas, dengan hati-hati pria bertubuh besar dan tegak itu menyeret pria lainnya yang sudah pingsan itu ke arah ruangan yang lain. Sebelumnya, Virga melihat pria itu mengarahkan pandangan ke arahnya dan melemparkan sesuatu ke lantai.
Tunggu! Virga merasa ada sesuatu yang aneh dengan orang itu. Penjaga itu seperti tengah memberinya jalan masuk, terlebih ketika tahu kalau sesuatu yang dilempar itu adalah sebuah kunci. Virga yakin itu kunci ruangan tempat Sahal berada. Tanpa berpikir panjang, Virga melangkah mendekat, memungut kunci itu dan sesegera mungkin membuka ruangan di hadapannya.
"Sahal?" Mata Virga membulat sempurna. Benar, Sahal ada di sana. Meringkuk di atas tempat tidur tua di ruangan itu. Terlihat begitu menderita. Laki-laki itu menoleh ke arahnya, menatapnya dengan sendu. Sinar di balik mata Sahal tampak begitu redup, kendati begitu Virga bisa melihat Sahal tampak bahagia melihat kehadirannya.
Baru Virga hendak melangkah mendekat, saat pintu di belakang tubuhnya mendadak kembali tertutup dengan keras dan kemudian dikunci dari luar.
Bodoh, ini perangkap! Virga merutuki dirinya yang bersikap bodoh. Tak menaruh curiga sama sekali dengan kejanggalan yang ada. Akses masuknya terlalu mudah sampai-sampai alat-alat yang ia siapkan untuk menjebak para penjahat itu tak ia keluarkan sama sekali dari dalam tas.
Apa Andini menipunya?
***
"Bagaimana, Tuan?"
"Lakukan saja seperti rencana awal."
"Siap laksanakan, Tuan!"
Di tempat lain, Melodi dan Nura meronta-ronta. Suara jeritan mereka teredam bekapan lakban yang menempel di sekitar mulut. Tubuh kedua gadis itu diikat bersamaan, saling memunggungi.
Lima belas menit setelah Virga pergi, tiga orang pria tiba-tiba datang. Mengepung Melodi dan juga Nura. Kedua gadis itu sempat melakukan perlawanan. Namun, pada akhirnya tetap saja mereka kalah telak, tak kuasa melawan tenaga para pria itu.
"Bius mereka dan bawa ke dalam mobil!" titah salah satu pria kepada kedua pria lainnya.
Kaki Nura menendang-nendang udara. Ia bisa merasakan tangan penuh keringat Melodi yang semula menggenggam tangannya dengan kuat mendadak mengendur. Melodi sudah lebih dulu jatuh dalam pingsan. Nura menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, menghindari saputangan berobat bius yang hendak membekap mulut dan hidungnya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja. Ia tidak boleh pingsan, atau orang-orang dewasa itu akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya dan juga Melodi.
Air mata yang menetes di pipi Nura terasa berkali-kali lebih dingin. Seberapa besar pun keinginan Nura untuk melawan, pada akhirnya ia tetap kalah. Tanpa sempat menjalankan rencana B, tanpa sempat memastikan Virga selamat dan membawa Sahal kembali, sadar Nura lenyap. Selanjutnya, ia hanya bisa pasrah ketika tubuhnya dan juga tubuh Melodi di angkut ke dalam mobil sebelum kemudian dibawa pergi.
Rencananya gagal. Benar, sedari awal seseorang memang sudah membaca rencana mereka. Nura sudah merasakannya sejak pertama aksi mereka dijalankan.
***
Melodi tahu kalau aksi yang akan ia lakukan kali ini adalah aksi berbahaya. Sebabnya, untuk antisipasi, ia melibatkan Yosa, ayahnya, untuk misinya kali ini. Siang tadi, Melodi memohon-mohon kepada Yosa. Meminta si Ayah mau bersedia membantunya menyelamatkan Sahal.
"Papi tidak ingin kamu terlibat dengan urusan Hadi Group, Melodi. Sekarang, apa-apaan kamu berpikir untuk menyelamatkan Sahal?"
Yosa Hansa menolak tegas. Namun, Melodi tak ingin menyerah. Ia hanya minta secuil dari seluruh kekuatan Hansa. Melodi ingin beberapa bodyguard keluarga yang bisa membantunya menjalankan rencana B seandainya rencana mereka gagal. Sebab itu, sambil berlutut, Melodi memohon-mohon kepada Yosa siang itu.
"Kamu pikir, menyelamatkan Sahal itu bagian dari akting film? Mereka itu penjahat sungguhan, Melodi. Anak-anak seperti kamu tidak bisa turut masuk ke dalamnya!"
"Terus, kalau bukan aku, Nura, dan Virga siapa lagi, Pi? Om Aryan bahkan enggak bergerak buat selamatin Sahal. Papi juga diem aja. Papi sama sekali enggak khawatirin Sahal. Aku sedih, Papi jadi secuek ini padahal Sahal lagi butuh kita banget. Setahu aku dari dulu Papi, tuh, sayang Sahal kayak sama anak sendiri. Papi lakuin begitu banyak hal buat Sahal. Tapi, kenapa sekarang, giliran Sahal bener-bener butuh bantuan kita, Papi diem aja? Aku sedih Papi kayak gini ..."
Melodi menangis meraung-raung di bawah kaki Yosa. Nura yang juga ada di tempat itu, turut menjatuhkan diri di samping Melodi, ikut menangis dan memohon kebaikan hati Yosa.
Yosa menatap ke dua anak gadis di hadapannya dengan tatapan sulit diartikan. Perasaannya begitu campur aduk saat ini. Ada beberapa hal yang membuat Yosa ingin tetap menolak tegas keinginan anaknya, tetapi rasa bangga dengan keberanian anak-anak ini, akhirnya membuat Yosa hanya bisa mengangguk pasrah.
"Baiklah, bawa sebanyak apa pun bodyguard yang kamu perlukan. Tapi, dengan satu syarat, Melodi. Para bodyguard hanya boleh bergerak satu jam setelah kamu menjalankan rencana awal kamu."
Keputusan Yosa sama sekali tidak ada gunanya. Bodyguard sebanyak apa pun yang Melodi siapkan sama sekali tidak ada yang bisa dimintai pertolongan pada akhirnya. Mereka hanya akan bergerak satu jam setelah rencana awalnya berjalan. Melodi dan Nura mungkin sudah menjadi mayat saat para bodyguard itu datang menolongnya.
Pada akhirnya, semua yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana.
***
Aryan menumpu kepalanya di balik kedua tangannya yang saling menyatu. Kedua kakinya bergerak-gerak cepat di bawah meja sana. Malam ini, jiwanya mendadak tak tenang. Bayang Sahal makin menghantui pikirnya, hingga jangankan untuk terlelap, bernapas pun rasanya ada yang menyekat.
"Saya berharap kalian menyelamatkan Sahal. Apa, lah, artinya setengah dari Hadi Group di banding nyawa Sahal. Kalian berjuang mempertahankan Sahal agar tetap di sisi kalian selama ini. Sekarang, bukan hal yang lucu seandainya Sahal mati begitu saja dan semua hal yang kalian perjuangkan sia-sia."
Ucapan Anne terus terngiang. Sampai detik ini, Aryan belum tahu bahwasanya wanita itu adalah dalang dari serangkaian kasus yang ada. Yang Aryan tahu, Anne berharap Sahal selamat sebab wanita itu yang merawat Sahal setiap kali Sahal sakit. Aryan pikir, Anne menyayangi Sahal sebagaimana anaknya sendiri. Itu sebabnya Anne begitu memaksa ia memberikan setengah dari Hadi Group kepada Fedrik.
Berdasarkan surat wasiat, seluruh Hadi Group akan diberikan kepada Sahal saat Sahal menginjak usia dua puluh satu tahun. Sebelum itu, Hadi Group diserahkan sepenuhnya kepada wali dari Sahal, Aryan Hadi.
Jika sebelum dua puluh satu tahun Sahal tidak menerima seluruh wasiat yang ada, seluruh kekayaan Hadi akan diberikan kepada pihak lain yang Aryan pun tak tahu siapa. Dari keterangan kuasa hukum keluarga Hadi, pihak itu hanya akan diberitahukan kepada Sahal seorang.
Sejujurnya, Aryan tidak pernah mempermasalahkan akan jatuh kepada siapa seluruh kekayaan Hadi pada akhirnya. Toh, sebenarnya alasan ia mendidik Sahal dengan keras—walau kadang sedikit keterlaluan—adalah untuk membuat Sahal menjadi sempurna, menguasai banyak hal dan mampu mengemban tanggung jawab sebagai pewaris seluruh kekayaan Hadi Group pada saatnya nanti. Itu alasan utamanya selama ini.
Akan tetapi, kilas balik masa lalunya yang menyakitkan, kadang selalu membuat ia lupa diri. Sehingga tiada jarang alasan itu dibumbui kebencian hingga ia kalap dan menyiksa Sahal. Aryan pikir, dengan melihat Sahal menderita, itu bisa mengobati pahit yang ia rasa. Namun, tatkala sadar bahwa selama hidupnya ia tiada pernah melihat Sahal tersenyum bahagia, Aryan merasa begitu bersalah.
Benar, selama ini sekali pun ia tidak pernah melihat bagaimana cara Sahal tersenyum. Katanya, Sahal punya lesung pipi yang dalam, tetapi ia tidak pernah melihatnya. Yang Aryan lihat di wajah Sahal selama ini, hanya air mata dan rasa sakit. Ketakutan dan penderitaan.
Aryan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Wajar Nura begitu membencinya. Wajar Nura tidak ingin mengakuinya. Sedari awal ia bukan Ayah yang baik.
"Aryan ..." Pintu kamarnya terbuka, Titi masuk dengan raut sama kusutnya dengan Aryan. Ia berjalan dan mengambil posisi di hadapan si Anak. Berulang kali menghela napas sebelum akhirnya berujar, "Kita berikan saja. Toh, Fedrik adalah kakakmu. Yang penting, Hadi Group tidak jatuh kepada orang lain. Lagi pula, Sahal ... Setelah dipikir-pikir, Ibu ... tidak ingin kehilangannya."
"Mungkin maksud Ibu, Ibu tidak ingin kehilangan seluruh Hadi Group?"
"Tidak, Aryan. Walau bagaimanapun juga, jauh sebelum tahu kalau Sahal akan mewarisi seluruh kekayaan ini, Ibu pernah menyayanginya dengan tulus. Dia cucu Ibu. Ibu ... benar-benar tidak ingin kehilangannya."
***
Pagi-pagi sekali, Anne datang ke rumah Aryan dengan perasaan secerah mentari pagi ini. Titi menghubunginya, memberi kabar bahagia untuknya, bahwasanya Aryan sudah memutuskan untuk memberikan setengah dari Hadi Group kepada Fedrik. Dan, ia diminta datang ke kediaman Hadi untuk turut ikut menjemput Sahal ke lokasi di mana Sahal berada. Untuk berjaga-jaga seandainya Sahal membutuhkan seorang dokter, jelas Titi via telepon.
Anne tertawa puas. Malam tadi ia memang tidak datang ke vila keluarganya, tempat di mana Sahal disekap saat ini. Ia mesti meyakinkan Aryan untuk menyerahkan setengah kekayaan itu, dan ia juga harus berjaga-jaga, Aryan tidak boleh tahu kalau ia terlibat dalam aksi penculikan ini. Setidaknya, sampai separuh Hadi Group jatuh ke tangannya. Setelah itu, kalaupun Sahal memberi tahu Aryan perihal kebusukan dan pengkhianatannya, ia tidak peduli. Yang terpenting, Andini sudah mendapatkan haknya.
"Hubungi Fedrik!" titah Aryan kepada Heru, bodyguard kepercayaannya.
Heru mengangguk. Mencari kontak terakhir yang Fedrik gunakan untuk menghubungi Aryan. Setelah tersambung, Heru menghadapkan layar laptop ke arah Aryan. Wajah congkak Fedrik memenuhi bola mata Aryan. Perasaan kecewa, marah, dan benci bergumul dan dada Aryan seketika. Padahal dulu, Fedrik adalah panutannya. Hal yang paling Aryan banggakan setelah Hadian, ayahnya.
"Kirim lokasi di mana Sahal saat ini," seru Aryan to the point. Di posisi lain, Anne dan Titi menunggu dengan perasaan masing-masing.
Fedrik mengulur waktu untuk merespons tutur Aryan dengan menghisap ujung rokok. Menyemburkan asapnya ke layar laptop dan mendesis licik. "Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu tidak melibatkan polisi untuk urusan ini, Aryan?" tanyanya penuh waspada.
Aryan berdecak. "Untuk apa saya melibatkan polisi kalau ini bisa kita selesaikan berdua saja?"
"Ah, benar. Kalau melibatkan polisi, kau bisa saja turut ditangkap juga karena kasus kekerasan terhadap anak."
Aryan tersenyum miring. "Saya akan menandatangani surat perpindahan kekuasaan untuk beberapa perusahaan milik Hadi Group. Jadi sekarang ki—"
"Tuan! Ada masalah besar."
Kata-kata Aryan terputus. Tiba-tiba saja, suara teriakan di seberang sana membuat Aryan refleks menoleh ke arah Titi. Di tempatnya kening Anne berkerut dalam. Sebelum kemudian kedua tangannya saling terkepal kuat tatkala susunan kalimat di balik speaker laptop sana, bertepi sebelum kemudian terasa menusuk pendengarannya.
"Anak itu. Dia tidak ada di kamar. Dia ... Dia menghilang."
Bersambung
Bandung, 26 Maret 2022
***
Hanya sebatas ini. Saya benar-benar angkat tangan kalau bikin cerita-cerita aksi. Maaf enggak bisa maksimal. Tapi, nulis part ini benar-benar penuh perjuangan pisan.
Selanjutnya, pengen banget bikin momen brothership antara Virga sama Sahal. Tapi, enggak tahu bakal kesampaian atau enggak. Soalnya dalam beberapa chapter lagi, Together for Love ini mungkin akan segera berakhir. 😥😥😥
Jujur, saya tersiksa sekali dengan cerita ini. Rasanya pen segera berakhir aja.
....
Karena mau berakhir, sayang kalau momen mereka berdua dilewatin begitu aja, ya? Setuju ya adain momen brothership antara mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top