36 | Andini dan Kisahnya
Sahal tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhnya. Beberapa saat lalu ia baik-baik saja. Tidak ada sakit yang dirasa selain ngilu di beberapa bekas suntikan di tangan—pun luka pukul yang diterimanya beberapa hari lalu. Namun sekarang, sesuatu seperti tengah menusuk-nusuk perutnya dengan sadis. Sakitnya bahkan sampai menjarah hingga punggung dan bagian belakang kepalanya.
Sahal hanya bisa bergelung, meremas bagian yang dirundung nyeri selagi berharap Tuhan benar-benar menghentikan penderitaannya. Entah dengan meredakan sakit yang ada, atau dengan menyabut nyawanya saat itu juga.
"Lo baik-baik aja?"
Sahal mengernyit di sela sakitnya. Ia membuka matanya yang sayu dan sosok Andini memenuhi pandangannya. "Hm ...." Gumam Sahal sebagai respons.
Tatap sangsi Andini layangkan. "Perlu gue panggilan Tante Anne?" Andini mengambil posisi di sisi tempat tidur tua yang Sahal gunakan selama beberapa hari ini. "Tapi, kayaknya enggak usah deh, ya? Wanita itu ... bukannya ngobatin lo, tapi malah bikin lo tambah sakit."
Tak ada tanggapan berarti dari Sahal. Walau sebenarnya penasaran kenapa mendadak Andini menemuinya saat ini, tetapi ia terlalu enggan menghabiskan tenaganya yang tak banyak untuk mewawancarai komplotan para penjahat yang ada, termasuk Andini.
"Lo overdosis anestesi tadi pagi," lapor Andini mengingat kejadian tadi pagi saat Sahal kejang-kejang. "Gue enggak tahu wanita itu benar-benar sengaja bikin lo kayak gitu, atau emang dia sebenernya dokter yang payah!"
Benar, Sahal masih bisa mengingat sakit yang dirasanya tadi pagi. Sekarang, selepas sadar setelah diserang kejang, bagian lain tubuhnya terasa begitu nyeri. Entah apa obat apa lagi yang dijejali ke dalam tubuhnya sehingga sakitnya tiada henti dan terus saja berkepanjangan. Para penjahat itu sepertinya memang berniat membunuhnya perlahan-lahan.
"Gue ... Sebenarnya benci sama keadaan ini." Andini tiba-tiba bersuara setelah beberapa saat hening menjadi jeda.
Sahal memejam makin erat. Menikmati sakit yang makin meronta-ronta.
"Lo tahu kalau Papa itu enggak kayak gini sebelumnya. Dia itu sangat mencintai Mama. Dia bahkan rela ninggalin seluruh kekayaan yang dia punya buat Mama. Tapi, gara-gara Tante Anne ... si wanita psikopat itu menghasut Papa, Papa jadi kayak gini."
Kalimat yang Andini uraikan, mendadak membuat Sahal menjadi tertarik. Di sela sakitnya, saksama ia mendengarkan cerita gadis itu.
"Walaupun hidup kami enggak ada dalam kemewahan, tapi kami sangat bahagia. Papa sangat lembut dan sayang banget sama gue. Tapi, setelah terobsesi untuk rebut Hadi Group, dia jadi berubah seratus delapan puluh derajat. Dia jadi kasar, tamak, bahkan dia kayak udah enggak peduli lagi sama gue. Dia jadi sering bentak gue, bahkan enggak jarang sampai mukulin gue setiap kali gue bikin kesalahan yang bisa gagalin rencananya buat dapetin Hadi Group."
Walau kesulitan Sahal mengubah posisinya menjadi duduk. Tampak benar-benar tertarik dengan cerita Andini.
"Bagian hal yang bikin gue benci dari lo, karena lo adalah pewaris Hadi Group, Sahal. Karena surat wasiat itu ... surat dari Kakek yang bilang kalau kekayaan Hadi seluruhnya akan diserahkan ke lo, Papa jadi berubah kayak gini." Andini menatap Sahal sendu. "Papa enggak keberatan seandainya warisan itu diserahkan kepada Om Aryan. Tapi, kalau itu sama lo ... Papa pikir itu sebuah kesalahan. Katanya, gue jauh lebih berhak buat itu."
"Apa pentingnya surat wasiat? Kalau kalian mau ambil saja semuanya. Gue ... cuma mau bahagia. Gue enggak mau apa pun yang kalian rebutkan saat ini." Serak, Sahal berujar. Seluruh organ dalam tubuhnya terasa berjumpalitan, bahkan ketika ia hanya berbicara sedikit.
"Gue juga enggak pernah menginginkan Hadi Group. Gue cuma pengen Papa balik kayak dulu."
Sahal bisa melihat Andini tulus mengatakan hal itu. Terlebih mata gadis itu kini mulai berkaca-kaca.
"Lo punya banyak orang yang sayang sama lo. Virga, Nura, Melodi, mereka khawatirin lo. Mereka melakukan apa pun buat mastiin lo selamat. Melodi bahkan sampai rela putusin Virga demi dapat informasi tentang lo. Gue yakin ... Walaupun hatinya sudah milik Virga seutuhnya, tapi lo tetap hal yang paling penting buat Melodi. Tapi, gue ... Yang gue punya cuma Papa. Saat Papa berubah, gue enggak punya siapa-siapa lagi."
Mendadak, hati Sahal terenyuh melihat air mata Andini berlinang begitu saja.
"Gue pernah berpikir Virga mungkin bisa gantiin Papa. Dia baik dan hangat. Pertama kenal di sanggar lukis, dia udah care banget sama gue. Itu sebabnya, pas tahu dia deket sama Nura bahkan sampai jadian sama Melodi, gue enggak suka dan berusaha hancurin hubungan kalian. Gue berpikir kalau Virga juga pergi ... gue bener-bener enggak punya siapa-siapa lagi."
Kenyataannya Andini memang merasa tak punya siapa-siapa di sisinya sekarang. Perubahan Fedrik membuatnya ditenggelamkan dalam kesepian. Kenyataannya itu membuat dadanya begitu sesak dan ia mulai menangis sesenggukan. Sampai kemudian, sebuah tangan menariknya, membawa tubuhnya dalam sebuah rangkulan hangat.
"Enggak apa-apa. Setidaknya sekarang gue ada di sini buat lo." Tiada pernah Sahal sangka bahwasanya hidup Andini bisa lebih menyedihkan dari dirinya.
Benar, Sahal selalu merasa hidupnya tak bahagia dan penuh dengan penderitaan. Ia terlalu fokus sama semua sakit yang dirasa sampai lupa kalau ada Nura, Melodi, Virga, Risti, dan mungkin beberapa pembaca yang berharap agar hidupnya bisa lebih bahagia. Namun, tidak demikian dengan Andini. Gadis itu pasti jauh lebih menderita darinya.
Untuk beberapa saat Andini menikmati dekap yang Sahal suguhkan. Entah sebab suhu badan Sahal yang memang panas, Andini merasa dingin dalam dadanya mencair dan hangat terasa merambat hingga ke dasar jiwa. Terima kasih kepada Virga yang sudah meyakinkan dirinya kalau ia tidak seburuk itu untuk mendapat rangkulan sehangat ini dari Sahal.
"Makanya, lo harus kuat, Sahal. Lo harus bertahan, setidaknya sampai malam ini berakhir." Andini menghapus air matanya, melepaskan diri dari rangkulan Sahal begitu ingat ada sesuatu yang hendak ia bicarakan. Ia lupa kalau tujuannya menemui Sahal bukan untuk membeberkan segala kisah melankolis yang dialaminya.
Sahal membenarkan posisi duduknya. Meringis kecil tatkala sakit kembali mencubit. Laki-laki berlesung pipi itu melempar tatap tak percaya saat Andini melingkarkan sesuatu di pergelangan tangannya. Gelang tali miliknya yang lagi-lagi sempat terlepas.
"Nura titip ini. Dia bilang, lo harus bertahan sampai dia, Virga, dan Melodi datang buat selamatin lo."
"Maksudnya me—"
"Maaf karena gue cuma bisa bantu kalian sampai sini. Selanjutnya, gue percaya sama semua rencana Virga." Andini bangkit. Memeluk Sahal singkat seraya berujar, "Makasih. Setelah ini, ayo kita buat hubungan yang lebih baik.
***
"Kejadian tujuh belas tahun lalu ... Saya tidak pernah benar-benar bermaksud merusak hubungan rumah tangga Mbak sama Mas Aryan. Maaf." Risti tertunduk. Entah kenapa, berhadapan dengan Nuryani membuatnya merasa begitu malu. Perasaan bersalah serasa mencabik-cabik hatinya hingga untuk menatap normal wanita yang lebih tua darinya itu pun ia tak mampu.
"Enggak apa-apa, Ris. Maaf karena pernah terlintas dalam pikiran saya untuk membencimu," ujar Nuryani.
"Tak masalah, Mbak. Saya memang pantas untuk dibenci. Saya bukan wanita yang baik. Keputusan yang saya ambil selalu saja menyakiti banyak pihak." Risti sadar, saat ia memutuskan menerima perjodohan itu, ada banyak orang yang tersakiti. Tidak hanya Nuryani dan Aryan, tetapi dirinya sendiri pun demikian. Sebab saat itu, Risti pun harus merelakan seseorang paling penting dalam hidupnya. Ia tengah menjalin sebuah hubungan dengan seseorang, dan keputusan bodohnya membuat segalanya hancur berantakan.
"Selama menikah dengan Mas Aryan, satu hal yang saya tahu. Mas Aryan tidak pernah mencintai saya, kami tidak pernah saling mencintai. Saya mencintai orang lain dan Mas Aryan hanya mencintai Mbak seorang. Alasan itu yang pada akhirnya membuat saya memutuskan untuk meninggalkan Mas Aryan. Dan keputusan itu, justru menarik Sahal ke dalam penderitaan yang lebih hebat. Selalu saja ... Keputusan saya ini tak tepat."
"Soal Sahal ... saya benar-benar tidak bisa membantu banyak, Ris. Maaf ...." Nuryani berujar penuh sesal. Ia mengusap punggung Risti penuh simpati.
Risti menggeleng lesu. Jangankan Nuryani, dirinya sendiri pun tidak bisa berbuat banyak untuk Sahal, anaknya sendiri. Entah kepada siapa ia harus meminta bantuan saat ini. Hanya berharap Aryan ataupun Titi mau berbelas kasih atas nyawa anaknya sekarang.
"Saya kenal Sahal sudah lumayan lama. Dia berteman baik dengan anak saya. Saya kira kamu udah kenal dengan Nura, saya lihat kamu membawa ponselnya ke rumah Mas Aryan tadi pagi."
Risti menghapus air matanya yang kembali berlinang dengan cepat. Ditatapnya mata Nuryani dengan rasa tak percaya. "Nura anakmu, Mbak? Dia anaknya ...."
Nuryani mengangguk mantap. "Iya, dia anak Mas Aryan. Saat kamu menikah dengan Mas Aryan, saya tengah mengandung Nura."
"Itu artinya ... Sahal dan Nura adik-kakak, Mbak? Tapi, Sahal ... setahu saya, dia ..."
"Nura pun sangat kecewa. Ia sangat mencintai Sahal. Walaupun jalan mereka masih begitu panjang dan ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi, tapi mengakui mereka terluka rasanya begitu menyesakkan dada."
Risti membisu. Kenapa di antara banyak gadis, itu harus Nura? Kenapa tidak orang lain saja? Kenapa tidak ada satu hal saja yang bisa menjadi alasan untuk Sahal bahagia?
Bersambung.
Bandung, 14 Maret 2022
....
Jujur selama nulis, sering banget typo nulis Sahal jadi soobin. Kalau Nemu nama Soobin di dalam cerita, tolong maapkeun dan jangan diketawain yaah. Tapi koreksi aja ... 😂😂
Banyak makan dan sehat selalu, Sayang 😘
...
Btw, karena udah menyimpang dari outline, akhir seperti apa yang kalian ingin buat Sahal? Sad or Happy?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top