35 | Antara Doa dan (putus) Asa

"Bodoh! Kenapa kamu seceroboh ini? Dasar anak tidak berguna!"

"Pa, sebaiknya kita hentikan saja semua ini."

"Jangan melawak kamu, ya?! Mending sekarang kamu pulang saja. Kamu tidak cukup berguna juga di sini."

Sahal tengah menatap kosong Anne, yang sedang menyuntikkan sesuatu melalui infus di tangannya, saat perdebatan di luar ruangan itu terdengar. Entah apa yang terjadi, Sahal tidak lagi peduli. Selepas tahu serangkaian kenyataan pahit yang ada, Sahal tak ingin tahu apa pun lagi.

Saat ia dipindahkan ke ruangan yang lebih luas dan bersih, dan Anne memberinya perawatan medis sebab kondisinya kian menurun, Sahal hanya diam saja. Lagi, melakukan perlawanan pun, Sahal hanya mendapat penyiksaan. Sebelumnya salah satu penjaga memukulinya karena ia melawan saat dipaksa makan dan minum obat. Setengah badannya sampai diikat dan  tubuhnya ditendang-tendang tanpa perasaan.

Sekarang, seperti yang Anne dan Fedrik ingin, Sahal menuruti segala hal yang mereka perintahkan. Bahkan saat ia dipaksa makan makanan yang tak disukainya, juga meminum obatnya, pun tubuhnya dijejali jarum suntik berulang kali, Sahal hanya menurut saja.

Entahlah, semuanya terasa mati rasa untuk Sahal. Segalanya terasa amat hampa, tetapi menyesakkan dada.

"Tidak ada lagi cara, kita harus menghubungi Aryan sekarang juga." Fedrik masuk dengan amarah membara. Ia mengotak-atik laptop di atas meja, menghubungkan sebuah panggilan video sebelum menarik Sahal untuk duduk di kursi, menghadap ke layar laptop.

Lagi-lagi Sahal hanya menurut, bahkan ketika Fedrik mencabut paksa infus yang dipasang di tangan kirinya hingga mengeluarkan darah, Sahal tak peduli. Anne pun tak berkomentar banyak, ia memilih untuk berlalu dan meninggalkan Fedrik berdua saja dengan Sahal.

Saat keluar ruangan, Anne berpapasan dengan Andini. Dengan kebencian yang melumuri seluruh matanya, Andini menatap Anne yang tampak menyunggingkan senyum penuh kemenangan, seolah rencananya benar-benar sudah berhasil.

"Tante ..."

"Jangan bicara apa-apa, Andini. Jika Hadi Group sudah jatuh ke tangan kita, baru Ibumu bisa tenang di alam baka sana."

Andini tak berkata apa pun lagi sebab Anne sudah membawa langkahnya menjauh. Dengan berat hati, Andini melongok di balik celah jendela ruangan, melihat apa yang Fedrik lakukan terhadap Sahal. Entah kenapa, hatinya berdenyut nyeri melihat pemandangan di dalam sana.

"Aryan Hadi, apa kabarmu? Kamu masih mengingatku?" Fedrik bicara di belakang bahu Sahal yang tengah tertunduk. "Kamu tenang saja ... Kami menjaga anakmu dengan baik di sini. Yah, sampai kamu memberikan setengah dari Hadi Group. Kalau tidak ..."

Sahal mengernyit tatkala Fedrik menarik rambutnya hingga ia terpaksa menengadah, dan menatap layar laptop di mana wajah Aryan terpampang di sana. Tatapan penuh luka dan kecewa, langsung saja Sahal layangkan ke arah Aryan. Terlebih, melihat reaksi Aryan yang tampak begitu datar.

"Tolong, jangan sakiti anak saya! Jangan sakiti Sahal, kumohon!"

Risti tahu-tahu muncul di balik layar. Sahal terperangah. Sembab mata si Ibu anehnya membawa rasa hangat yang perlahan merambat ke dalam jiwa. Setidaknya ada yang masih berharap ia tidak terluka, masih  ada yang mengkhawatirkan keadaannya.

"Mama ...." Sahal memanggil nama itu. Suaranya begitu pelan, hingga Fedrik pun mungkin tidak bisa mendengarnya.

"Sahal? Kamu baik-baik saja, Sayang?!"

"Oh, Risti. Kamu ada di sana juga? Sangat kebetulan sekali. Bujuk mantan suamimu untuk menyerahkan setengah dari Hadi Group kepada saya. Kalau tidak, besok saya akan pastikan kalau Sahalmu ini tidak lagi baik-baik saja." Fedrik berganti mengelus kepala Sahal.

"Fedrik! Apa-apaan kamu ini, hah?"

Kali ini wajah Titi mengambil alih posisi Risti. Wanita itu terlihat amat marah, tetapi Sahal urung melihatnya lama-lama. Dipejamkannya matanya seerat mungkin.

"Ibu juga ada di sana rupanya. Aku sangat terharu karena Ibu masih mengingatku."

"Apa hakmu meminta sebagian Hadi Group? Saat kamu memutuskan menikahi wanita pilihanmu itu dan menolak perjodohan dari ayahmu, kamu sudah memutuskan untuk melepas hubungan dengan keluarga Hadi. Sekarang, dengan seenaknya kamu meminta bagianmu? Jangan mimpi kamu, Fedrik!"

Fedrik menyeringai licik. Ia meremas bahu Sahal dengan kuat sehingga  refleks Sahal menggigit bibir bawahnya menahan sakit. "Jangan mimpi Ibu bilang? Ck, Ibu yang akan memohon pada Tuhan, berharap semua hanya mimpi saat tahu anak ini mati dan kalian kehilangan seluruh kekayaan kalian!"

"Kamu tidak akan pernah mendapatkan secuil pun dari kekayaan ini. Saya ... tidak akan kehilangan Hadi Group."

"Kudengar, anak ini adalah pewaris seluruh kekayaan Hadi Group. Jika bukan Sahal Hadi yang menjadi pewaris, seluruh kekayaan yang ditinggalkan Hadian, akan jatuh ke tangan orang lain. Jadi, kalau anak ini mati, tidak ada di antara kita yang akan mendapatkan warisan itu. bukankah itu lebih adil buat kita."

"Hentikan omong kosong kamu, Mas!" Aryan kembali mengambil alih. "Dia keponakanmu, sialan!"

"Terus, apa karena dia keponakanku, aku tidak bisa menghabisinya? Begitu? Kamu saja yang ayahnya sangat tega menyiksa dan menganiaya anak ini. Jadi, aku bisa lebih kejam dari itu, Aryan."

Hentikan ... kumohon hentikan semua ini, Tuhan. Sahal membatin keras. Mendadak matanya perih, dan ia menangis. Demi Tuhan, ia tidak pernah menginginkan sedikit pun dari kekayaan yang keluarganya miliki. Persetan dengan apa pun yang orang-orang dewasa ini perdebatkan.

Sahal hanya ingin merasakan kehidupan normal seperti anak-anak seusianya. Yang dibuat pusing dengan segudang tugas sekolah, tetapi masih bisa bergalau-ria sebab urusan percintaan.

Sahal tidak ingin rumah mewah dan perusahaan yang besar. Ia hanya ingin punya tempat pulang—yang walaupun sederhana—tapi ia bisa merasa aman di dalamnya.

Sahal tidak menginginkan ayah atau ibu seorang pengusaha kaya raya. Ia hanya ingin sebuah keluarga di mana ia bisa melewati malam-malam musim dingin dalam rangkulan hangat tangan mereka.

Sejak pertama menyicip kehidupan duniawi, Sahal tidak pernah berharap apa pun. Ia hanya ingin bahagia, walaupun tak sempurna, sebab hidup tak selamanya indah, tetapi setidaknya hidupnya tidak harus semenderita ini.

Kumohon, jika tidak ada bahagia untuk hidupku, jika pulang ke rumah pun aku tetap akan menderita, jemput aku pulang kepada-Mu saja, Tuhan. Di sela segala keputusasaan itu, mendadak sesak menghimpit dada. Dengan tangannya yang berdarah, Sahal refleks mencengkeram bagian itu. Kepalanya pusing dan sakit. Sebelum benar-benar jatuh dari kursi, sayup Sahal mendengar Fedrik berujar ...

"Besok pagi, saya tunggu keputusan kalian. Kalau kalian masih bersikeras, anak ini benar-benar akan saya lenyapkan hingga kalian tidak akan menemukan satu potong pun bagian tubuhnya."

... setelah itu sempurna tubuhnya terempas ke lantai yang dingin, Sahal merasa sesuatu menjalari persendian tubuhnya dengan cepat.  Entah obat apa yang Anne berikan kepadanya sebelumnya, rasanya panas merambat, membakar seluruh peredaran darahnya, tetapi mendadak tubuh Sahal menggigil hebat. Jantungnya berdebar-debar tak keruan, dan otot-otot tubuhnya tersentak begitu saja.

Saat sadar Sahal kejang-kejang. Fedrik sedikit terkejut. Ia bergegas mematikan panggilan, dan mencari keberadaan Anne.

Di balik jendela, Andini terpaku. "Bukankah sebaiknya lo mati saja, Sahal?"

***

"Melodi mutusin gue."

Andini terhenyak. Tersadar kanvas di hadapannya masih kosong saat Virga tiba-tiba menggeser kursi dan duduk di sebelahnya. Sedari tadi ia melamun, entah memikirkan apa, tetapi wajah pucat Sahal saat tengah kejang-kejang tadi pagi  beberapa kali berkelebatan dalam ingatannya.

"Bagus, dong." Andini menyimpan alat lukisnya. Ia tidak mood untuk melukis apa pun saat ini.

Virga mengangguk kecil. "Hm, walaupun perasaan gue hancur, tetapi setidaknya tahu Sahal baik-baik saja itu bayaran yang cukup setimpal."

Tidak ada respons berarti dari Andini. Kabar putusnya hubungan Melodi dan Virga anehnya tidak membuat ia sebahagia itu.

"Sejak awal, gue tahu kalau gue berhasil meraih hati Melodi dan menjadikan dia milik gue. Tapi, tetap saja Sahal selalu menjadi nomor satu di hidupnya." Virga tersenyum miris. Ia turut menatap kanvas kosong milik Andini. "Tapi, yang paling gue sesali bukan itu, An."

Andini memusatkan seluruh fokusnya ke arah Virga. Di balik  tatap laki-laki yang selalu dipujanya itu, Andini melihat ada luka dalam yang teramat menyakitkan.

"Yang paling gue sesali, gue enggak pernah bisa berbuat apa-apa buat bisa bebasin saudara gue sendiri dari penderitaan. Gue ... Bukan saudara yang baik buat Sahal. Kalau hal terburuk benar-benar terjadi kepada Sahal, selanjutnya gue mungkin bakal hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah yang tidak akan ada hentinya."

"Vir, gue ..." Andini merasa tersentil. Hubungan persaudaraannya dengan Sahal jauh lebih dekat ketimbang Virga yang hanya saudara tiri. Harusnya Andini merasakan hal yang sama seperti Virga.

"Ada lagi yang lebih menyakitkan." Virga kali ini menatap Andini dengan mata berkaca-kaca. "Lihat nyokap gue nangis tiap malam. Dia bukan wanita yang taat beribadah kepada Tuhan. Tapi, beberapa hari terakhir ini ... Dia bangun malam buat salat dan berdoa sungguh-sungguh agar Tuhan melindungi Sahal. Tapi, gue cuma bisa terenyuh tanpa bisa lakuin apa-apa. Bahkan buat menghapus air matanya dan yakinin dia kalau Sahal baik-baik saja gue enggak bisa."

Hening kemudian menguasai. Namun, dalam hening itu, ada kebekuan hati yang mendadak mencair. Andini tertunduk, larut dalam pikirannya yang tiba-tiba centang perenang.

"Gue ... Enggak berharap lo kasih tahu di mana Sahal sebenarnya. Gue hanya percaya, alasan lo kasih tahu Melodi soal video itu, itu karena ada sebagian dari hati lo yang menginginkan Sahal selamat. Apa pun hubungan lo dengan kasus penculikan ini, gue tahu lo ingin Sahal bebas."

Andini seperti dipukul telak. Tubuhnya mendadak bergetar hebat, dan sesuatu yang panas menyebar di sekitar matanya. Ia ingin menangis, tetapi sebisa mungkin menahannya. Lama, ia tertunduk. Ucapan Virga dan bayang penderitaan Sahal terus merangsek masuk ke dalam pikirannya.

Kemudian, sekuat apa pun ia menahannya,  cairan bening itu berhasil meloloskan diri dari kelenjarnya. Andini menangis. Faktanya, semua yang Virga katakan adalah sebuah kebenaran. "Gue ... ingin Sahal bebas. Gue enggak cukup kuat lihat penderitaan dia. Tapi, gue enggak bisa bebasin dia sendirian." Walaupun tidak banyak, tapi Andini yakin kalau para preman yang ayahnya suruh untuk menjaga Sahal itu adalah benar-benar psikopat.

Dan Anne ... Andini tahu kalau wanita itu bisa melakukan apa saja yang dia mau.

***

Malam itu, dingin beraksi lebih ekstrim. Keheningan yang menjerat seolah membawa seluruh kabar buruk yang ada di muka bumi. Udara yang berembus, menggugurkan beberapa dedaunan di halaman rumah minimalis itu. Namun, sebanyak daun yang jatuh di seluruh penjuru bumi, sebanyak itu pula doa yang terpanjat dengan sepenuh hati.

Lagi, air mata Risti jatuh. Kendati berulang kali Roman menghapusnya, hangat peluknya tiada mampu membuat air matanya berhenti mengalir. Sebanyak doa yang tercurah, banyak pula air mata yang bercucuran.

"Harusnya dulu ... Aku bawa saja Sahal bersamaku. Jika dia tumbuh hanya untuk disakiti dan dimanfaatkan seperti ini harusnya aku perjuangkan lebih keras lagi hak asuhnya."

Roman mengelus punggung Risti dengan sayang. Wanita itu bersimpuh dalam pangkuannya, masih diselimuti mukena sehabis salat isya berjamaah. Berdoa bersama untuk kebaikan dan keselamatan Sahal. Namun, sebanyak apa pun doa yang mereka panjatkan, tiada mampu menghapus resah dalam hati keduanya.

"Masa lalu adalah referensi, Ris. Menyesali apa yang sudah terjadi itu adalah kesia-siaan. Sekarang, apa pun yang terjadi kita hanya perlu percaya bahwa dibaliknya ada kebaikan untuk kita." Roman tahu, sebanyak apa pun kata-kata bijak yang ia tuturkan itu tetap tidak akan mengobati sakit yang Risti rasa. Namun, ia berharap setidaknya hadirnya bisa membuat wanita itu tahu kalau ia tidak bersedih sendirian.

"Kamu tahu, Mas? Tanganku ini ..." Risti menatap telapak tangannya dengan sendu. "Belum pernah memeluk Sahal dengan lama."

"Kalau begitu, begitu Sahal kembali kepada kita, ayo kita peluk dia dengan lama dan jangan pernah berpikir untuk melepasnya lagi. Oke?!"

Risti mengangguk, membenamkan seluruh wajahnya di pangkuan suaminya. "Aku tidak pernah menyangka kalau rinduku kali ini rasanya lebih dari semua kesedihan yang pernah aku rasa sebelumnya."

"Sahal juga pasti merindukanmu, Ris. Dia pasti merindukanmu lebih banyak lagi."

"Ma, ada tamu. Katanya mau ketemu Mama."

Seluruh atensi kompak teralih. Risti menegakkan tubuhnya, menghapus sisa air matanya sebelum menengok ke arah sumber suara. Virga dengan jaket tebal dan ransel yang terlihat penuh dalam gendongan, berdiri di ambang pintu.

"Kamu mau pergi ke mana?" Roman bertanya. Menilik Virga dengan rinci, sementara Risti bangkit untuk melepas mukena dan melipatnya asal.

"Aku ada misi penting malam ini, Pa. Doain aku sukses, ya?!"

Roman hanya mengangguk. Walaupun penasaran, tetapi mengingat kalau Virga memang aktif di segala kegiatan, Roman percaya kalau misi yang Virga maksud pasti bukan misi yang aneh-aneh.

"Siapa yang mau ketemu Mama?" Risti bertanya. Virga mengangkat bahu. "Kamu ada misi apa, sih? Jangan lakuin hal yang bikin Mama khawatir."

Virga tersenyum lebar. Bersama-sama mereka berjalan menuju ruang depan. "Tenang aja, begitu aku menyelesaikan misi ini, senyum Mama pasti balik lagi. Mama sama Papa doain aja, ya?"

Risti mengangguk, mengusap kepala Virga dengan lembut. "Maaf karena beberapa hari ini Mama kurang perhatiin kamu."

Virga mengangguk paham.

Risti sedikit terkejut saat melihat keberadaan Nuryani di rumahnya. Saat Virga bergantian mencium tangan Roman dan dirinya untuk berpamitan, Risti tak sadar dan hanya terpaku menatap Nuyani.

Sebenarnya, mereka bertemu tadi pagi. Namun, karena insiden yang ada, mereka tidak sempat saling sapa. Sekarang, eksistensi Nuryani, entah kenapa membuat perasaan Risti makin dilanda resah yang dalam.

Bersambung.
Bandung, 27 Pebruari 2022


...

Apa pun komentar kalian, suka seneng bacanya. Makasih yang selalu support lewat komentarnya. Semoga  segala urusan kalian dimudahkan 😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top