34 | Sebuah Permohonan
Ini agak panjang, semoga enggak bikin bosen.
Jangan lupa tinggalkan komen dan votenya yaaa biar yang nulis semangat.
...
Nura tahu, mereka yang larut dalam kemenangan pada hakikatnya sama dengan tenggelam dalam kekalahan. Dan, mereka yang larut dalam kekalahan adalah seorang pecundang.
Nura tidak ingin menjadi pecundang yang menyerah begitu saja atas kasus menghilangnya Sahal. Lantas larut dalam kesedihan dan merasa kalah begitu saja, bahkan sebelum ia melakukan sesuatu.
Nura hanya tidak tahu harus memulai langkah dari mana. Ia justru membuat masalah baru dengan pergi dari rumah dan lagi-lagi menjadi beban dalam hidup Melodi, tinggal berhari-hari di rumah sahabat baiknya itu dan membuat Melodi kesusahan karena keberadaannya. Tak cukup sampai situ, segala ketidakberdayaannya justru berhasil meretakkan hubungan harmonis antara Virga dan Melodi.
"Kita putus saja, Vir."
Nura baru saja hendak membuka pintu dan menyambut kepulangan Melodi saat paparan kalimat itu lebih dulu menusuk pendengarannya. Membatalkan niat awalnya, Nura justru terpaku di balik pintu, mendengar dengan saksama percakapan di luar ruangan sana.
"Tapi kenapa, Mel? Apa gara-gara video gue pelukan sama Nura di ruang Hansa Journalism waktu itu? Gue, kan, udah jelasin sama lo ka—"
"Enggak, Vir. Bukan karena itu," putus Melodi cepat. Wajahnya suram, sama suramnya dengan wajah Nura di balik pintu sana.
Nura tidak tahu siapa yang sudah merekam aksi pelukannya dengan Virga beberapa waktu silam dan mengirimnya kepada Melodi. Namun, satu yang pasti, Nura sadar kalau segala kekacauan yang terjadi terhadap orang-orang terdekatnya itu bersumber dari dirinya.
"Terus karena apa? Apa kesalahan gue sampai lo mau kita putus?" Kekecewaan dalam raut Virga menggantung bersama genggaman tangan yang tak tersambut. Bahkan baru saja ia dan Melodi menikmati waktu bersama tanpa ada masalah apa pun. Video pelukannya bersama Nura sudah Melodi lihat beberapa hari yang lalu, dan gadis itu tidak bereaksi apa pun sebab tahu kalau semua yang dilakukannya semata-mata untuk menenangkan Nura.
Akan tetapi, kenapa mendadak Melodi bersikap seperti ini dan mematahkan hatinya begitu saja?
"Gue hanya merasa hubungan kita ini enggak adil buat Nura, Vir. Jadi ... Kita putus saja. Kita akhiri hubungan kita sampai di sini. I'm so sorry."
"Tapi, Mel ..."
"Gue masuk. Makasih buat semuanya, termasuk buat kencan terakhir kita malam ini. Makasih karena lo udah nganterin gue pulang. Sekarang lo boleh pulang. Hati-hati di jalan, Virga."
Tanpa memberikan kesempatan untuk Virga melontar kata, Melodi biarkan pintu raksasa rumah mewahnya menelan dirinya. Meninggalkan Virga bersama perasaannya yang mendadak dipatahkan hingga hancur berkeping-keping.
Tak hanya Virga, perih yang Nura rasanya di hatinya bahkan jauh lebih menyakitkan. Nura mundur teratur kala Melodi membuka pintu. Wajah penuh nestapa dan kecewa benar-benar menyambut kehadiran Melodi.
Menyadari keberadaan Nura, manik indah Melodi membola. Ia tak berharap Nura tahu, tetapi tampaknya sahabat baiknya itu sudah mendengar semua hal yang dibicarakannya dengan Virga.
"Mel ..." panggil Nura sendu. "Selama ini gue tahu, gue cuma nyusahin hidup lo. Tapi, apa yang lo lakuin kali ini bikin gue makin lupa caranya berhenti berduka."
"Maafin gue, Nur."
Nura menggeleng kuat. Air matanya mendadak luluh dan bercucuran. "Gue yang harusnya minta maaf sama lo. Gue … maksa lo lepasin Sahal, berpikir kalau gue bisa menjaga Sahal dengan baik daripada lo. Tapi kenyataannya gue enggak pernah bisa bikin Sahal aman sama gue.
"Harusnya, Sahal tetep sama lo aja. Gue … sadar kalau gue bukan sahabat yang baik buat lo. Gue udah maksa lo relain banyak hal buat gue, tapi gue bahkan enggak bisa menjaga amanah lo. Dan, sekarang gara-gara gue lo juga terpaksa melepas Virga gitu aja."
Hela napas berat Melodi embuskan. "Enggak, Nura." Gadis cantik berambut panjang itu beringsut lebih dekat ke arah Nura. Dipeluknya tubuh yang lebih pendek darinya itu dengan lembut. "Gue putus dengan Virga karena itu satu-satunya cara biar kita bisa dapat informasi tentang Sahal."
"Maksud lo?" Nura refleks melepas pelukan Melodi. Menatap Melodi dengan mata berkilauan. Sebab air mata yang masih berlinang, bercampur rasa penasaran yang dalam.
"Gue sebenernya enggak berharap lo tahu ini. Tapi, tadi sebelum pulang dari bioskop ..."
***
"Lo keras kepala juga ya?"
Melodi baru saja keluar dari toilet mall yang dikunjunginya bersama Virga saat suara itu mampir hingga gendang telinganya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan netranya menangkap sosok Andini tengah berdiri di sisi pintu toilet.
Dengan gaya congkak khasnya, gadis itu menyandarkan setengah badannya di dinding. Ia sibuk mengotak-atik ponselnya selagi uraian kata menusuk dilontarkan kepada Melodi.
"Sayangnya, kepercayaan gue sama pacar dan sahabat gue itu lebih besar. Jadi, video yang lo rekam dan lo kirim ke gue enggak mungkin berhasil cuci otak gue."
Andini berdecak, mengerling meremehkan kepada Melodi."Oke, kalau yang satu itu enggak berhasil. Tapi, video yang baru gue kirim ke kontak lo, pasti bakal berhasil. Gue yakin." Andini biarkan ponselnya tenggelam ke dalam saku hoodie-nya, usai memastikan video yang dimaksud terkirim. Lantas ia menunggu reaksi Melodi selanjutnya.
Melodi mendengar ponselnya berbunyi, pesan yang Andini kirim baru saja masuk. Berusaha untuk tidak peduli, Melodi memilih untuk melanjutkan langkahnya. Namun ...
"Kalau lo putusin Virga malam ini juga, gue bakal kasih tahu lokasi rekaman video Sahal yang baru saja gue kirim."
... Segala paparan kata Andini yang menusuk pendengarnya berhasil memaku segala gerak Melodi.
***
"Kamu harus tetap hidup. Setidaknya sampai ayahmu menyerahkan setengah dari Hadi Group kepada saya."
Bayang Sahal disekap dalam video yang semalam Melodi tunjukkan padanya, terus saja berputar-putar dalam ingatan. Nura tidak bisa terlelap sepanjang malam, perasaannya terlalu gelisah membayangkan penderitaan yang Sahal alami.
Nura rasa, Melodi yang tidur di sampingnya pun demikian. Jiwa dan hati mereka sama-sama dibungkus keresahan bahkan sampai pagi menjelang. Namun, satu hal yang Nura yakini, perasaan kacau itu jauh lebih banyak menggempur Melodi. Sebab, selain berat menghadapi kenyataan kalau Sahal tak baik-baik saja, juga berat mengakui bahwa hubungannya dengan Virga tiba-tiba dihalang lampu merah.
Hal itu yang pada akhirnya membawa Nura ke tengah-tengah ruang tamu keluarga Virga di pagi ini. Nura pikir, walau bagaimanapun juga Virga harus tahu alasan sebenarnya kenapa Melodi memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Sudah gue duga, Melodi enggak mungkin mutusin gue gitu aja kalau bukan karena alasan sepenting ini." Kembali, Virga memutar video yang Nura tunjukkan padanya. "Andini punya video ini, dan dia tahu lokasinya di mana. Itu artinya ..." suara Virga menggantung di udara. Ia dan Nura saling pandang kemudian.
"Tapi, enggak mungkin kalau Andini yang menculik Sahal," kata Nura kelam. Nura terlalu memikirkan Sahal sehingga tidak terlintas pertanyaan perihal kenapa Andini memiliki video itu.
"Andini tidak mungkin menculik Sahal. Tapi, Andini kenal sama si penculik, itu mungkin saja." Virga kembali memutar video berdurasi kurang dari satu menit itu, penasaran. Mendadak begitu banyak pertanyaan yang tersusun dalam kepalanya. "Tapi, apa enggak aneh? Kenapa Andini me—"
"Apa maksudnya setengah dari Hadi Group?"
Virga dan Nura terlonjak sesaat setelah ponsel yang tengah Virga genggam berpindah kuasa ke tangan Risti. Wajah Virga mendadak pucat pasi melihat reaksi yang Risti tunjukkan. Segala macam emosi negatif tiba-tiba bergelayutan di wajah si Ibu. Yang paling mendominasi adalah rasa khawatir dan marah, reaksi yang juga Nura rasa saat pertama kali melihat video itu.
"Sudah Mama duga kalau Sahal diculik." Lirih Risti sedih, ia menjeda bagian di mana wajah Sahal tersorot. Menatapnya dengan lekat.
Karena diambil dengan posisi kamera yang tidak stabil, gambar di video itu memang tak begitu jelas. Namun, mendengar nama Hadi Group disebut-sebut, sudah pasti orang yang tengah berbaring di lantai dengan setengah badan terikat itu pastilah Sahal.
"Dari mana kamu dapat video ini, Virga?"
Virga menoleh cepat ke arah Nura. Wajah gadis itu sama pucat dengan cat dinding rumahnya."Seseorang mengirimnya kepada kami," jawab Virga.
"Mama harus serahin ini sama pol—tidak! Aryan harus tahu ini lebih dulu. Benar, Mama harus pergi menemui Aryan."
"Ma ..."
"Bagaimana bisa Aryan berpikir tidak akan mencari Sahal, sementara penculiknya menginginkan setengah dari Hadi Group?!"
Tak ada kesempatan untuk Virga mencegah Risti pergi. Selain ia pun tidak bisa berpikir banyak, Risti melesat begitu saja bersama motor miliknya yang terparkir di depan. Ponsel Nura pun turut dibawanya.
***
Lima hari Nura pergi dari rumah, dan Nuryani sadar bahwasanya itu adalah kesalahannya. Nuryani tidak mengerti kenapa ia bisa sesensitif itu saat tahu bahwasanya Sahal adalah anak dari Risti. Bukan apa-apa, hanya saat mengingat Risti, luka lamanya terbuka kembali. Rasanya begitu nyeri dan ngilu.
Memang, bukan salah Risti sepenuhnya rumah tangganya hancur. Lagi, saat ia memutuskan untuk meninggalkan Aryan kala itu, ia sudah bertekad untuk merelakan Aryan untuk siapa pun wanita yang jadi pilihan mertuanya, Titi dan Hadian. Maka, memang salahnya berkata sekasar itu kepada Nura perihal Sahal.
Pagi itu, Nuryani tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Ia tengah berusaha menghubungi Nura saat tiba-tiba saja ada dua orang berpakaian serba hitam datang ke rumahnya. Memintanya untuk ikut bersama mereka.
Nuryani sempat menolak, tetapi begitu tahu kalau kedua pria itu adalah suruhan Aryan, Nuryani akhirnya menurut.
Dan, sekarang ... Di sinilah Nuryani berada. Di ruang depan rumah mewah keluarga Hadi. Tiada disangka, ia dibawa ke tengah-tengah bara kemarahan yang tengah berkobar. Begitu tiba, Titi dan Aryan tampak tengah berdebat sengit.
Mereka membahas Sahal, tetapi entah kenapa ia turut terseret ke dalamnya.
"Kamu lebih memilih wanita miskin ini, Aryan?!" Murka Titi, menunjuk Nuryani, saat wanita itu tiba di rumah.
Nuryani tercengang di tempatnya.
"Kamu bilang, kamu tidak akan mencari Sahal karena kamu sudah menemukan wanita ini? Kamu akan melepas Hadi Group dan hidup bersamanya? Jangan konyol, Aryan. Kamu pikir, ini lucu, hah?! Sahal adalah satu-satunya hal yang bisa membuat Hadi Group tetap jadi milik kita. Selama anak itu ada di rumah ini, Ibu bahkan tidak pernah mempermasalahkan perlakuan buruk kamu terhadapnya. Kamu membenci bahkan sampai menyiksanya, Ibu tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Sekarang, dengan seenaknya kamu bilang ingin melepaskan semuanya dan membiarkan Sahal menghilang begitu saja. Dasar, bodoh!"
"Lebih baik dibilang bodoh, tapi saya bisa hidup bebas, Bu. Daripada saya harus terus membodohi diri sendiri, hidup dalam kepura-puraan sampai lupa kalau saya seperti ini karena saya tidak bahagia."
Nuryani hanya membatu bagai pahatan patung. Ada kalimat Titi yang berhasil ia garis bawahi. Membuat ia semakin merasa ditenggelamkan dalam rasa bersalah. Mendadak, kata-kata Nura yang sempat ia dengar sebelum anaknya itu pergi kembali terngiang.
"Ibu enggak tahu aja kalau selama ini Om Aryan itu bukan ayah yang baik buat Sahal. Om Aryan sangat jahat dan membuat hidup Sahal menderita."
Aryan memperlakukan Sahal dengan tidak baik, ia sering menyiksa anak itu. Sahal tidak pernah bahagia hidup di rumah ini, sebab eksistensinya hanya sebatas untuk mempertahankan warisan keluarga. Harusnya, Nuryani bersyukur sebab walaupun tanpa kemewahan, Nura bisa hidup bahagia dengannya. Tapi, Sahal ... tiba-tiba saja Nuryani merasa begitu bersalah sempat terlintas untuk membenci anak itu.
Titi semakin mengerang marah saat Aryan menarik Nuryani ke sisinya. "Kenapa setelah hampir sepuluh tahun, kamu kembali ke kehidupan anak saya, hah? Kamu ingin balas dendam dan mengambil seluruh harta kekayaan saya. Iya?!"
Tubuh Nuryani terasa bak disambar ber-volt-volt tegangan listrik saat telunjuk Titi mengacung-ngacung di depan wajahnya. Harga dirinya ditarik gravitasi paling ekstrim. Hal itu membuat amarah merayapi seluruh peredaran darahnya, ia siap melontar banyak serapah untuk melawan, sebelum pintu raksasa rumah itu terbuka dengan keras.
Risti dengan mata yang memerah dan basah, berjalan rusuh ke arah Aryan. Menatap Aryan sejenak sebelum meraih tangan pria itu untuk mengambil alih ponsel dalam genggamannya. Lantas, tiba-tiba saja tubuhnya luruh, bersimpuh di bawah kaki Aryan.
"Mas Aryan, tolong selamatkan anak kita. Tidak!" Risti menggeleng kuat, mengoreksi kalimatnya. "... Maksudku, tolong selamatkan anakku. Tolong selamatkan Sahal ..."
Sejenak kening Aryan berkerut melihat tindakan Risti. Lantas ia membuka ponsel yang Risti serahkan kepada. Matanya kontan membola. Titi mendekat, memastikan.
Sementara itu ... Nuryani lebih fokus pada ponsel dalam genggaman Aryan. Jelas sekali, ponsel dengan case lambang sekolah Hogwarts itu adalah milik Nura. Ia ingin mengajukan pertanyaan perihal itu, tetapi tangis Risti yang semakin pecah membuat Nuryani menahan niatnya.
"Mereka meminta setengah dari Hadi Group. Aku mohon ... Kuharap Sahal lebih berharga daripada itu untuk kalian. Kumohon ..." Risti mengatupkan jari-jari lancipnya, memohon dengan sangat. Berharap dengan begini, hati keras Aryan benar-benar bisa luluh.
"Mas, sebaiknya kamu selamatkan Sahal." Melihat Risti tampak rapuh dan frustasi, Nuryani tak tega. Jika Nura yang ada di posisi Sahal sekarang, Nuryani mungkin bisa melakukan hal yang lebih gila dari Risti.
Akan tetapi, Aryan hanya membeku di tempatnya. Tampak tak bisa berpikir banyak.
Titi mengambil paksa ponsel dalam genggaman Aryan. Menelaah lebih jauh rekaman itu. Meski direkam dari belakang, tetapi Titi merasa kenal dengan suara itu.
Di tengah suasana serba tidak jelas itu, ponsel Aryan yang tergeletak asal di atas meja berdering. Sebuah panggilan video dari nomor tak dikenal baru saja masuk.
Bersambung
Bandung, 22 Pebruari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top