32 | Posisi yang Tak Terelakkan


Ruang tamu keluarga Melodi itu kemudian dilanda hening yang  lama. Selepas Nura menceritakan kejadian apa yang dialaminya di rumah sakit beberapa saat lalu, baik Melodi maupun Virga, sama-sama dilahap hening. Ketidakpercayaan membuat seluruh pembendaharaan kosakata yang mereka punya mendadak lenyap tak tersisa.

“Jadi, artinya lo sama Sahal itu sodaraan? Lo sama Sahal itu adek-kakak, Nur? Oh, Tuhan ….” Ada desah kecewa yang turut mengudara bersama hela napas  Melodi. Gadis cantik itu kemudian melesakkan punggungnya di atas sandaran sofa mewah rumahnya. Ada banyak hal yang ingin dibahas, termasuk tentang Sahal yang ternyata tak juga datang ke rumahnya. Namun, topik lain yang turut  Nura bawa justru jauh lebih menarik perhatiannya.

Sebenarnya, ingin Nura bilang tidak. Namun reaksi Nuryani dan Aryan yang sempat terekam ingatan, membuat Nura sadar bahwasanya hubungannya dengan Sahal memang tengah berada dalam posisi yang tak terelakkan.  Sebabnya, hanya angguk lesu yang bisa Nura beri sebagai jawaban atas pertanyaan Melodi.

Padahal gue udah beneran jatuh cinta sama Sahal. Nura membatin sedih. Begitu ingin meratapi kisah cintanya yang tak bisa seindah kisah cinta Virga dan Melodi.

“Tapi, yang jadi masalah bukan itu, Mel.” Nura memutus pandang yang sempat ia layangkan ke arah laki-laki tampan di sisi melodi, sosok yang pernah mengisi sebagian ruang kosong dalam hatinya, Virga.  Gadis dengan tinggi tak lebih dari 160 senti itu menegakkan tubuhnya. Ingat ada yang jauh lebih penting, Nura berputus melupakan sejenak perihnya hati yang luka sebab kenyataan yang ada. Lagi, sejak awal bukan itu inti dari masalah yang hendak diceritakannya.

“Sahal hilang, Mel,” sambung Nura. Anehnya, Melodi dan Virga tak terlihat terkejut sama sekali.

“Iya, tadi Om Aryan datang ke rumah gue,” tukas Virga.

“Om Aryan ke rumah lo? Ngapain?” tanya Nura.

“Dia nyangkanya Sahal kabur ke rumah gue.”

“Gue kira Sahal kabur ke rumah gue kayak sebelumnya. Tapi, ternyata dia enggak ada.” Melodi menyapu pandang suasana di rumah mewahnya. Mendadak begitu khawatir. Jika Sahal tak kabur ke rumahnya, ke mana Sahal pergi? Melodi tak yakin Sahal punya banyak teman dekat, mengingat selama ini Sahal tidak diperbolehkan menjalin hubungan dengan siapa pun.

“Gue paham kenapa Sahal harus kabur. Tapi, enggak tahu kenapa, pas lihat situasi kamar rawat Sahal tadi …” sebuah lirikan Nura layangkan ke arah gelang tali milik Sahal yang melingkar di pergelangan tangannya. “… gue sangsi kalau Sahal kabur.”

Melodi dan Virga saling melempar tatap, sebelum kemudian menjatuhkan fokus ke arah Nura.

“Maksud Lo apa, Nur?” tanya Melodi. Perasaannya semakin tak tenang.

“Enggak mungkin kalau sebelum kabur. Sahal mengacak-acak kamar rawatnya dulu. Terus, dia sengaja jatuhin gelang tali miliknya. Gue … ingin berpikir positif. Tapi, sejak tadi gue mikir kalau Sahal …” Kalimat Nura menggantung, ia menatap Virga dan Melodi silih ganti. Terlalu takut membayangkan apa yang ada  di pikirkannya.

“Maksud Lo … Sahal diculik?” tebak Virga dan Melodi bersamaan.

***

Sahal membuka mata tatkala dingin terasa merambat tiap senti tubuhnya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata guna mengusir halimun tipis yang menghalangi pandangannya. Tubuhnya terasa begitu lelah, seolah ia baru saja melakukan perjalanan yang sangat panjang. Perlahan, Sahal mengangkat tubuhnya, mengambil posisi duduk. Kepalanya terlalu pusing sehingga ia tidak bisa mengingat kejadian apa yang membuat ia harus terdampar di ruangan ini.

Susah payah, Sahal menggeser tubuhnya guna bersandar penuh pada dinding kusam ruangan—yang Sahal kira adalah sebuah gudang. Banyak barang-barang usang di sekelilingnya. Bau apek barang-barang tak terpakai dan debu tebal yang ada membuat dadanya diserang sesak. Udara dingin yang berhembus dari jendela kecil di atas ruangan turut memperparah kondisinya. Sahal terbatuk-batuk.

Dua orang pria berpakaian serba hitam masuk. Berdiri tepat di hadapan Sahal. Kedua pria itu kemudian menarik kembali ingatan Sahal sebelumnya.

Benar, Sahal penasaran ada hubungan apa antara Nuryani dan Aryan, sehingga si ayah tiba-tiba saja meminta Nuryani berbicara dengannya. Sahal hendak membuntuti kedua orang dewasa itu saat  sekawanan pria berbaju serba hitam tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Menahan pergerakannya.

Sahal sempat melakukan pemberontakan. Dia melempar apa pun yang bisa dilemparnya untuk melindungi diri. Malah sempat terjadi aksi saling kejar di ruangan yang cukup luas itu. Sampai pada akhirnya, salah satu dari mereka berhasil menyuntikan sesuatu di lehernya. Setelah itu, tubuhnya tiba-tiba melemas. Hal terakhir yang diingatnya adalah seseorang mencabut paksa jarum infus di tangannya, mendudukkan dirinya di kursi roda dan membawanya pergi dari ruangan itu.

“Di mana ini?” tanya Sahal. Kembali, ia terbatuk. Sahal tidak begitu suka udara dingin karena itu membuat kondisinya memburuk. Debu-debu yang berterbangan juga tidak membuat semuanya lebih baik.

Salah satu pria dengan rokok yang menyala di tangannya berjongkok, mensejajarkan diri dengan posisi Sahal. “Kamu ada di tempat yang seorang pun tidak akan bisa menemukanmu,” pria itu terkekeh.

“Apa mau kalian?!” Batuk Sahal bersambung, terdengar semakin menyakitkan saat pria itu menyemburkan asap rokok yang dihirupnya tepat di muka Sahal.

“Apa lagi? Kami mau uang yang banyak.”

Sudah Sahal duga. Memang alasan ia selalu menjadi korban penculikan adalah karena si penculik tahu ia putra dari seorang konglomerat. Sebelumnya, ia pernah menjadi korban penculikan juga. Alasan serupa si penculik sama, meminta uang tebusan.

“Gue enggak punya banyak uang.” Sejujurnya gentar bergejolak dalam dada Sahal. Namun, belajar dari kejadian yang pernah dialaminya saat usia tujuh  tahun dulu, Sahal berusaha untuk lebih menguasai diri. Bersikap  tenang seperti Sahal biasanya. Pasalnya, melakukan pemberontakan, semisal berteriak-teriak, menjerit, dan hal-hal lainnya itu hanya akan memperburuk keadaan. Dulu, karena takut, ia bersikap seperti itu, dan itu membuatnya dihadiahi pukul dan tendang berulang kali oleh si penculik.

Sekarang, Sahal menolak untuk itu. Hanya Aryan yang boleh memukulnya, orang lain tidak diperbolehkan.

Saat pertama kali menjadi korban penculikan, Hadian— kakeknya yang juga pemilik utama Hadi's Groups—masih hidup dan berusaha memperjuangkan keselamatan dirinya. Bahkan, kakeknya itu tak merasa keberatan saat harus kehilangan miliaran uang untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, untuk kasus penculikan kali ini, Sahal sangsi ada yang mau berusaha mati-matian menyelamatkan dirinya.

“Benar, yang punya banyak uang itu keluargamu. Saya tahu itu. Tapi, saya rasa ...” Pria itu tersenyum miring. Menilik setiap inci tubuh Sahal. “Organ-organ di dalam tubuhmu ini pasti bisa dijual dengan harga yang lebih fantastis dari sekadar uang tebusan dari keluargamu.”

Dari remang cahaya bohlam lima watt di dalam ruangan itu, Sahal menilik pria di hadapannya. Kendati kurus kering, tapi wajah pria itu begitu mengerikan. Matanya bulat menonjol, seperti nyaris meloncat dari rongganya. Kulitnya hitam dan kering. Giginya runcing, dan mulutnya menguarkan bau tembakau campur alkohol yang menyengat. Lagi, mendengar apa yang pria itu katakan, Sahal yakin kalau pria itu pasti seorang psikopat.

“Bagaimana kalau kita jual ginjalnya dulu?” Pria itu melirik temannya yang masih berdiri di sampingnya, meminta persetujuan.

Pria bertubuh gempal itu mengangkat bahu tak acuh, terlihat tidak terlalu peduli.

Sahal kembali terbatuk, sedikit ngeri membayangkan seluruh organ tubuhnya dipreteli. Namun, Sahal terus berusaha menekan rasa takutnya. Ditatapnya wajah pria itu dengan datar. “Tak masalah, kalian coba aja. Gue harap kalian beruntung. Bukan apa-apa. Gue sendiri enggak yakin kalau organ-organ tubuh gue ini masih berfungsi dengan baik.”

“Benar juga. Kudengar kamu itu lemah dan mudah sekali sakit. Tapi ….” Si Kurus mengangkat dagu Sahal, memaksa Sahal menatapnya. “Bola matamu sepertinya cukup bagus,” seringainya.

Bola mata Sahal seketika bergulir ke arah lain. Berusaha menghindari tatap kejam yang menusuk penglihatannya.

“Duh, kamu mendelik seperti itu membuatku tak tahan ingin mencongkel kedua bola matamu itu.”

Tawa setan pria itu membuat perut Sahal melilit. Sahal sadar kalau ia mulai berkeringat, padahal suhu yang ada di ruangan itu begitu dingin.

“Berhenti main-main dan membuatnya takut, Bodoh!”

Seseorang membuka pintu. Berjalan angkuh memasuki ruangan. Pria bertubuh kurus langsung bangkit, bergabung bersama si gempal untuk menyambut bos mereka. Sahal menegakkan punggungnya yang mulai dibanjiri keringat. Pria itu menggunakan mantel tebal. Masker di wajahnya membuat Sahal tak langsung bisa mengenalinya. Hanya saja, suara pria itu terasa begitu familiar untuk Sahal.

Sebelum berjalan mendekat ke arahnya, pria itu menyuruh kedua anak buahnya untuk keluar, meninggalkannya berdua saja dengan Sahal. Lantas selepas anak buahnya pergi dan menutup pintu, pria bermasker itu menghampiri Sahal, berjongkok di hadapan laki-laki bertubuh tinggi itu.

“Sahal Hadi,” panggil pria itu. Ia membuka maskernya. Ada senyum licik tatkala melihat ekspresi terkejut yang Sahal tunjukkan.

“Om Fedrik?”

Seringai Fedrik terulas. Ia mengelus lembut pipi Sahal. “Kamu pasti kedinginan, ya? Tubuhmu dingin sekali. Tapi, kenapa kamu berkeringat seperti ini? Kamu sakit, ya?”

Sahal mencebik.

“Ahiya, saya lupa. Kudengar kamu sedang menjalani perawatan di rumah sakit saat orang-orangku membawamu. Berarti benar kamu ini sedang sakit.” Sapuan halus tangan Fedrik di pipi Sahal berubah menjadi cengkeraman. “Harusnya, aku memberi ruang rawat yang lebih baik untukmu. Tapi, apa daya … cuma ruangan ini yang pantas untukmu saat ini, Sahal. Nanti, kalau Aryan Hadi sudah memutuskan memberikan salah satu aset perusahaannya untuk saya, baru saya akan menempatkanmu di tempat yang lebih baik.”

Sahal tak menyuarakan apa pun. Mendadak kepalanya terasa begitu pening. Lemah, ia menepis tangan Fedrik dari wajahnya. Merasa begitu jijik, tak rela wajahnya disentuh oleh orang macam Fedrik.

Alih-alih tersinggung dengan perlakuan Sahal, Fedrik justru tertawa. “Sekarang, tidurlah! Besok pagi,  permainan sebenarnya baru akan dimulai, keponakanku sayang.”

***

Nura biarkan kepalanya tenggelam di balik tangannya yang terlipat di atas meja ruang jurnalistik. Sejak kemarin hingga sore ini ia berusaha menahan air mata. Namun, saat Banu kembali menyinggung perihal materi pertama majalah sekolah yang gagal ia dapat, air matanya tak kuasa lagi dibendung.

Diam-diam, ketika para anggota klub sudah pergi, Nura menangis sesenggukan. Meratapi nasibnya yang tidak bisa seberuntung orang lain. Bahkan ketika ia merasa menjadi gadis paling beruntung sebab memiliki Sahal dalam hidupnya, kenyataan menghempasnya dengan begitu kasar hingga untuk bernapas saja rasanya sangat sulit.

Sekarang, kabar menghilangnya Sahal menambah baret dalam sanubari. Nura merasa begitu tercekik sebab tak tahu apa yang mesti dilakukannya. Katanya, doa adalah senjata terampuh. Hanya itu yang bisa Nura lakukan saat ini. Ia berdoa semoga Tuhan bersedia mengutus para penjaganya untuk melindungi Sahal dari bahaya apa pun.

“Papi bilang, Om Aryan memutuskan untuk tidak mencari Sahal.”

Pagi tadi, Melodi mengabarkan hal itu. Membuat dada Nura terasa begitu nyeri mendengarnya. “Kenapa?” tanya Nura sedih.

Melodi pun tak tahu. Padahal sebelumnya, Aryan menghadiahkan Hadi's Mall untuk mereka yang menemukan Sahal. Namun, dari kabar yang Yosa dengar, untuk kasus kali ini, Aryan tampak tak terlalu peduli. Pria itu berpikir kalau saatnya nanti Sahal akan kembali dengan sendirinya.

“Nura ….” seseorang menepuk pundak Nura, Virga. Ia mengambil posisi di samping Nura. “Gue udah bilang sama Banu kalau lo enggak gagal dapatin informasi tentang Sahal, cuma lo enggak bisa kasih materi itu ke Hansa Journalism karena kehidupan Sahal memang enggak bisa dipublikasikan begitu saja. Banu paham, dia bilang dia bakal minta maaf sama lo dan setuju ganti materi buat majalah kita.”

“Makasih karena lo selalu belain gue di depan Banu. Tapi, bukan itu yang bikin gue sedih …” Nura mengangkat kepalanya, berulang kali menyeka air mata yang lagi-lagi meluncur membasahi pipinya. “Tadi pagi Melodi bilang kalau Om Aryan mutusin buat enggak mencari Sahal. Dia bilang nanti Sahal bakal balik dengan sendirinya. Tapi, Virga … gimana kalau sebenarnya Sahal itu bukan kabur, tapi diculik? Bagaimana kalau para penculik itu ngapa-ngapain Sahal? Bagaimana kalau Sahal di—"

“Ssst, jangan mikir yang enggak-enggak dulu.” Dekap hangat Virga membungkam Nura. Tiba-tiba saja, laki-laki itu membenamkan seluruh wajah Nura di dada bidangnya.

Mendapat perlakuan sehangat itu dari Virga, bukan mereda, tangis Nura justru semakin pecah. Ia menangis dengan keras seperti anak kecil.

“Kita akan cari cara buat menemukan Sahal. Gue janji bakal temenin lo sampai akhir. Lo jangan khawatir!” Lembut, Virga mengelus rambut Nura. Berusaha menenangkan. Tiada maksud tersembunyi. Hanya Virga pikir, ini satu-satunya cara untuk menebus segala salah yang dilakukannya terhadap Sahal dulu. Juga sebagai ucapan terima kasih karena kebaikan hati Nura yang membuat hubungannya dengan Melodi bisa berjalan harmonis sampai sekarang.

Tanpa keduanya sadari, di balik jendela sana, seorang gadis memperhatikan mereka. Amarah dan cemburu yang mendadak berkobar, membuat kedua tangannya terkepal kuat. Tiba-tiba saja sebuah rencana terlintas dalam benaknya.

***

Nura pulang diantar Virga. Begitu tiba, Nura melihat sebuah mobil mewah terparkir di depan halaman rumahnya yang sempit. Virga sempat melempar tatap bertanya, tetapi Nura hanya mengangkat bahu lantaran ia pun tidak tahu milik siapa mobil berwarna putih itu.

“Di sanggar, gue punya beberapa kenalan. Ada beberapa yang orang tuanya berprofesi sebagai polisi.
kalau Om Aryan benar-benar bulat tidak mau mencari Sahal, nanti gue nyoba ngomong sama mereka buat minta bantuan.  Jadi lo tenang, jangan nangis terus. Yang bisa lindungi Sahal saat ini hanya doa kita. Jadi, kita terus berdoa saja buat kebaikan Sahal.”

“Makasih, Vir. Buat semuanya.”

Virga tersenyum. Mengelus singkat poni rambut Nura. “Gue pulang.” Anggukan Nura melepas kepergian Virga kemudian.

Nura dibuat terkejut saat melihat Aryan berada di rumahnya. Mobil itu milik pria itu ternyata. Namun, kekecewaan akan pria itu terlanjur tumbuh dalam hati Nura. Sebabnya, hanya tatap datar yang bisa Nura tunjukkan. Bahkan ketika Aryan tiba-tiba memeluk tubuhnya, Nura hanya memberi reaksi dingin.

“Pas lihat kalung yang kamu pakai, saya sudah curiga kalau kamu itu anak saya, Nura. Maafin sikap saya sebelumnya.”

Nura masih tidak bereaksi, hanya menatap hampa Nuryani dan beberapa kantong belanjaan di atas meja yang tampaknya dibawa oleh Aryan.

“Maaf. Tapi, ayah saya sudah meninggal. Dia ayah yang baik, yang tidak akan membuat anaknya menderita dan ….” Lesu, Nura melepaskan diri dari dekapan Aryan. “… membiarkan anaknya menghilang begitu saja.”

Lantas setelah berkata demikian, Nura mencabut kalung di lehernya. Memberikannya kembali kepada Nuryani  dan melenggang pergi, meninggalkan Nuryani dan juga Aryan di ruangan depan sana. Hatinya begitu terluka dan kecewa saat tahu kalau Aryan memilih untuk membiarkan Sahal menghilang begitu saja. Keputusan yang Aryan ambil itu jauh lebih menyakitkan ketimbang kenyataan bahwasannya benang hubungan antara ia dan Sahal tidak akan pernah bisa bersatu sampai kapan pun.

“Sahal ….” Lirih, Nura memanggil nama itu. Seiring tubuhnya terempas di atas tempat tidurnya. Lagi-lagi begitu wajah itu membingkai, Nura tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis lagi. Meluapkan air  matanya di balik bantal. “Lo enggak suka dingin. Gue harap … lo enggak kedinginan malam ini. Enggak tahu kenapa, malam ini kangen gue beribu-ribu lebih banyak dari sebelumnya. Rasanya … gue pengen meluk lo, Sahal.”

Bersambung
Bandung, 03 Pebruari 2022

....

Akhirnya, setelah dipikir-pikir ulang, emang baiknya cerita ini ditamatin dulu di sini. Selain nanggung udah banyak juga (Enggak nyangka udah sampai 30 part lebih), request kalian juga kayaknya bikin aku labil, dan milih bertahan di sini.

Ke depannya, enggak peduli seberapa banyak yang baca, vote  dan komen, insya Allah aku fokus dulu di sini sebelum nyelesain cerita yang lain.

Makasih buat yang masih stay di sini. Semoga bahagia dan sehat selalu.

...

Btw, aku belum kenalin melodi.

....

Follow Instagram @queenofsadending_

Akhirul Kalam
Wassalam

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top