30 | Terasa Lebih Baik
“Bu, Nura mau tanya satu hal.”
Pagi itu, selagi membantu Nuryani menyiapkan dagangannya, Nura tiba-tiba bertanya.
“Nanya apa?” Fokus dengan stoples-stoples berisi beragam warna sirup dan agar-agar, Nuryani tak sempat melirik anak gadisnya.
“Kemarin aku engga sengaja nemuin buku nikah Ibu sama Ayah.” Sesaat kalimat Nuryani mengambang, ragu untuk melanjutkan. Takut seandainya pertanyaan yang akan ia suguhkan menyinggung perasaan si Ibu.
“Lah, Ibu cari-cari ternyata ada di kamu?”
Nura mengangguk. “Iya, kemarin Ibu jatuhin pas lagi nyari akta kelahiran Yara. Tapi, Bu … hm … di buku nikah, jelas tercatat kalau tahun pernikahan Ibu sama Ayah itu satu tahun setelah aku lahir. Apa itu artinya aku ini—”
“Nura ….” Kali ini fokus Nuryani benar-benar teralih. Tak sangka kenyataan yang berusaha ia tutup rapat-rapat dan hendak ia sembunyikan dari Nura hingga seumur hidupnya, terbongkar juga pada akhirnya. Tak pernah ia kira kalau akan ada momen di mana ia harus dipaksa kembali menginjak genangan masa lalu yang kelabu itu.
“Bu, aku bukan anak Ayah dan Ibu, ya?” Nada suara Nura mulai dikawani kesedihan yang mendalam.
“Tidak, Nura … kamu anak Ibu.” Nuryani memejam. Berusaha merangkai kata guna menjelaskan, tetapi rasanya terlampau sulit. Sebab itu, ia hanya bisa menghela napas panjang. “Sebentar!” Sebelum kemudian wanita yang selalu tampak sederhana itu bangkit dan memilih masuk ke dalam rumah.
Nura memilih untuk menunggu. Dengan pikiran melayang ke mana-mana. Sampai kemudian, Nuryani kembali dan duduk di sampingnya. Menghadapkan sesuatu ke arahnya. Sebuah kalung perak dengan bandul bentuk hati yang indah tampak membuat Nura terpana di sela kebingungannya. Terlebih tiba-tiba saja, Nuryani memasangkan kalung itu di lehernya.
“Ibu belum bisa menjelaskannya sama kamu saat ini. Tapi yang pasti, kalung ini adalah bukti kalau kamu ada anak kandung Ibu yang sah.”
Nura menatap kalung berdesain elegan dan indah itu dalam diam. Ia yakin, kalung dengan harga selangit itu menyimpan sebuah kisah rumit yang begitu melukai perasaan ibunya. Nura penasaran, tetapi ia ingin memberi waktu kepada Nuryani sampai ibunya itu siap memberitahunya.
Nura menggeliat pelan kala pegal terasa merambati leher hingga punggungnya. Ia tidur dengan posisi duduk, dan menjadikan ranjang di sampingnya sebagai bantal. Pantas tubunya terasa begitu pegal dan sakit saat ini.
Saat membuka mata, dan tabung oksigen yang berdiri di sisi kepala ranjang menyambut penglihatannya, memori Nura mendadak terbang ke kejadian sebelumnya. Nura ingat, selepas Aryan tiba-tiba pergi meninggalkannya sendiri di ruang kerja, beberapa pelayan datang menghampirinya memastikan ia tidak mendapatkan luka apa pun. Walaupun sedikit shock, tetapi Nura merasa kalau ia baik-baik saja.
Akan tetapi, tidak saat para pelayan mengabarkan kalau Sahal dibawa ke rumah sakit karena kondisinya memburuk. Perasaan Nura dilanda gundah. Ia memaksa Bi Susi memberitahunya di rumah sakit mana Sahal dirawat. Tak peduli dengan langit yang sudah menggelap, Nura berputus pergi menyusul Sahal ke rumah sakit yang diberitakan Bi Susi.
Saar sampai di rumah sakit, kondisi Sahal tengah kritis dan berada di ruang ICU. Nura tidak diperbolehkan masuk sebab Sahal masih berada dalam pengawasan dokter.
Nura memutuskan untuk menunggu sampai kondisi Sahal membaik kendati Titi dan Anne berulang kali membujuknya untuk pulang lantaran malam semakin larut. Menyerah dengan kekeraskepalaan Nura, akhirnya menjelang subuh ketika kondisi Sahal berangsur membaik dan mulai dipindahkan ke ruang rawat, Titi memberi kesempatan untuk Nura menjaga cucunya itu di dalam ruangan.
Akan tetapi, alih-alih menjaga pasien, Nura justru jatuh dalam lautan bunga tidur.
Nura bangkit perlahan begitu ingat sesuatu. Ia hendak memastikan kondisi si pemilik ranjang rawat, saat netranya bertubrukan dengan tatap teduh Sahal. Laki-laki itu sudah sadar dengan posisi setengah duduk di balik kepala ranjang yang sedikit dinaikkan. Masker oksigen yang sempat menghalangi wajah tampannya sudah diganti dengan nasal kanul, pertanda kalau kondisi Sahal sudah membaik.
“Lo udah baikkan?” Nura memekik gembira.
“Baikan sama siapa?” Sahal mendengkus pendek.
Nura mendelik, ia yang sempat bangkit karena refleks, kembali duduk dan menatap Sahal dengan intens. “ Gue seneng kondisi lo udah membaik. Dokter Anne bilang, kalau sampai pagi lo enggak juga sadar, lo harus menjalani operasi. Semalam gue khawatir banget sampai enggak bisa tidur.”
“Khawatir enggak bisa tidur, tapi barusan baru bangun dari apa, ya?” cibir Sahal. Melihat Nura berada di sisinya saat ia terbangung, rasanya membuat Sahal begitu bahagia. Benar-benar bahagia sampai ia merasa segala sakit yang kini menemani tiap jengkal tubuhnya menguap entah ke mana.
Setiap kali mengingat apa yang Nura lakukan untuknya kemarin, dari mulai datang menemuinya dan melindunginya dari kebengisan Aryan, membuat perasaan Sahal ditumbuhi taman bunga paling indah. Sekarang, entah kenapa mendadak Sahal merasa senang bisa menggoda gadisnya itu.
Mendengar kata-kata Sahal, bibir Nura langsung saja mengerucut. “Ish ….” Kesalnya. Heran kenapa Sahal mendadak menyebalkan seperti ini. Walaupun sebenarnya dingin, ketus, dan bicara asal jeplak itu memang bawaannya, tetapi melempar cibir dan sindir itu bukan gaya si pacar.
“Becanda.” Sebelah tangan Sahal yang bebas infus mengusak gemas rambut Nura. “Gue bangun pas Dokter Anne mau periksa kondisi gue. Dia sempet mau bangunin lo, tapi gue larang pas lihat wajah lo kayak Dobby banget pas tidur. Enggak tega gue.”
“DOBBY?” Nura refleks bangkit lagi. “Lo samain gue sama Dobby?”
Sahal tersenyum kecil. Ia meraih tangan Nura dan menggenggamnya dengan erat. Hal itu membuat Nura kembali mendudukkan dirinya, sadar kalau Sahal tengah mengisenginya saat ini. “Makasih udah baik-baik aja. Maaf udah nyeret lo ke dalam dunia gue yang kacau dan berantakan,” tutur Sahal, wajahnya kembali berubah sendu.
Nura menggeleng kuat-kuat. Beralih, ia yang membawa tangan Sahal ke dalam genggamannya. Sedikit meremasnya guna menguatkan. “Gue yang sengaja nekat masuk ke dalam dunia ini. Dan, gue enggak menyesali apa pun. Apa pun yang terjadi, gue enggak akan biarin lo melewatinya sendirian lagi.”
“Lo tahu alasan kenapa gue bisa pulih dengan cepat padahal kemarin gue benar-benar nyaris mati?”
“Apa?”
“Lo, Nura. Gue pengen pastiin lo baik-baik aja. Jadi jangan berpikir untuk melakukan apa pun yang bisa bikin lo terluka. Gue enggak suka lo kenapa-napa.”
Panjang, Nura menghela napas. Tangannya beralih memainkan poni Sahal yang sedikit berantakan. Saat melakukan hal itu, netra Nura menangkap bekas luka memanjang di sana. Kendati sudah kering, tetapi kenangan di baliknya masih terasa menyakitkan. “Lo tahu, kan, gue suka banget sama Harry Potter?” bekas luka di kening Sahal mengingatkan Nura akan tokoh fiksi favoritnya itu.
Mendengar tanya Nura, sebelah alis Sahal kontan terangkat.
“Lo tahu apa yang lebih gue suka dari Harry Potter?”
“Apa?”
“Harry Harry bersama lo.”
Sahal mendengkus. Ekspresinya tampak datar, tetapi rona merah yang menyebar luas di pipi pucatnya menandakan kalau laki-laki bernama lengkap Sahal Hadi itu tengah tersipu saat ini.
“Gue suka banget berdiri bersampingan sama lo di sisi jalan setiap pagi. Gue suka banget naik angkot bareng lo. Gue suka duduk di bangku yang sama dengan lo di kelas. Gue suka ganggu lo pas lagi serius banget merhatiin penjelasan guru. Walaupun sempat suka sama Virga, tetapi hari-hari yang gue lewati bareng lo itu jauh lebih banyak, dan gue suka itu.”
Sahal tidak tahan untuk tak mengguratkan senyum.
“Jadi, mulai sekarang, apa pun yang terjadi, gue bakal berusaha bikin Om Aryan balikkin semua hal yang gue suka.”
Walaupun sebenarnya ia tidak ingin Nura terluka, tetapi semua kata yang Nura paparkan membuat jiwanya menghangat. Bersama Nura, membuat daya keberanian dalam dirinya pun mendadak terisi penuh.”
“Dan sampai hari itu …” Teringat akan sesuatu, Nura merogoh tas selempang kecilnya dan mengambil sesuatu di dalamnya. Gelang tali pemberian Yara yang Virga titipkan kepadanya, ia lingkarkan di pergelangan tangan Sahal. “Lo harus janji buat bertahan. Gue yakin, Tuhan bakal selalu lindungi lo.” Sejurus kemudian, Nura bangkit guna mendaratkan sebuah kecup ringan di kening kekasihnya itu.
“Gue, beneran udah jatuh cinta sama lo, pacar.”
Saat itu juga, Sahal merasa kondisinya tidak pernah sebaik saat ini.
Bersambung.
Bandung, 29 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top