3 | Cinta Saling Silang
BEBERAPA hari yang lalu Sahal baru saja selesai membaca sebuah buku. Katanya, selalu ada hal-hal gila dalam cinta. Dan selalu saja ada orang-orang gila.
Sekarang, Sahal benar-benar menemukan orang gila itu.
Sebulan bersama, sudah cukup untuk Sahal mengenal Nura itu pribadi seperti apa. Jiwa gadis itu terlalu bebas. Liar. Menari-nari ceria. Ada begitu banyak warna di dalam dunianya.
Ditilik dari luar, Nura itu terlalu biasa. Namun, jika menyelami jiwanya lebih dalam, maka akan ada banyak keajaiban yang terlihat. Penuh pesona. Indah menawan. Sahal menemukan hal lain dalam diri gadis penyuka puisi itu.
Iiisshh! Sahal menjatuhkan kepalanya di atas buku yang masih terbuka di atas meja. Berusaha memutus ingatannya tentang gadis itu. Untuk pertama kalinya di tujuh belas tahun hidupnya, ia memikirkan seseorang hingga seperti kehilangan akal.
Gila. Ia seperti orang gila. Terkadang kala sendiri, ketika ingatannya dipaksa mengingat wajah itu, senyum itu, dan semua hal sederhana yang si gadis lakukan, maka senyumnya tak pernah mampu ditahan.
"Kenapa? Lo sakit?"
Sahal sontak mengangkat kepalanya begitu tanya itu menyapa telinga. Gelengan singkat ia layangkan kala netranya menangkap sosok Melodi, si sekretaris OSIS, berdiri di hadapannya.
Melodi mengangkat bahu, berusaha tak acuh. "Klub Hansa Journalism ngajuin proposal." Gadis cantik itu kemudian mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Menyodorkan satu berkas dengan map biru ke hadapan Sahal.
"Koordinator Ekskul gimana?" Tanya Sahal selagi tangannya membuka berkas di hadapannya. Mempelajarinya dengan saksama.
"Setuju. Gue juga udah baca tadi, idenya lumayan oke. Lo tinggal tanda tangan aja."
Sahal tak lagi bersuara. Sementara Melodi hanya memperhatikan sosok itu dalam hening. Selalu, wajah itu tak pernah membosankan untuk ditatap. Menyenangkan. Mendamaikan. Membuatnya lagi dan lagi merasa jatuh cinta kepadanya.
"Semenjak Nura gabung sama mereka, anak-anak jurnalistik jadi lebih berkembang ya?" Melodi kembali memulai pembicaraan saat hening yang menguasai dirasa cukup.
"Pesat malah." Sahal menimpali seraya tangannya mulai mencoretkan tanda tangan di lembar persetujuan.
Memang, sebelum Nura mendaftarkan diri jadi anggota, Klub Jurnalistik terkesan monoton. Kegiatannya hanya mengisi mading dengan konten-konten yang kurang menarik minat. Tapi, sebulan setelah Nura masuk, mading sekolah jadi penuh warna. Setiap hari selalu ada konten yang mengandung magnet, menarik perhatian anak-anak sesekolahan. Blog sekolah pun tidak sesepi biasanya, sekarang begitu ramai pengunjung. Sahal juga kadang mengunjungi, sekadar membaca beberapa cerpen atau informasi menarik lainnya.
Awalnya Sahal tidak tahu alasan Nura ingin menjadi bagian Klub Jurnalistik, sebab ia berharap Nura masuk OSIS, tapi ternyata gadis itu memang punya bakat luar biasa yang mesti di tempatkan di sana.
Selalu, mengingat Nura rasanya ia ingin tersenyum sendiri. Hanya saja keberadaan Melodi di dekatnya membuat senyum itu terkulum, tertahan di dalam hati.
"KALAU seandainya proposal kita beneran disetujui, hal inti yang pertama kali bakal kita liput di majalah nanti apaan?"
Nura tersenyum kecil. Bukan memerhatikan Banu, si ketua Hansa Journalism yang tengah mengoceh, tapi iris kelamnya justru lebih terfokus pada sosok di samping si ketua. Sama seperti dulu, bahkan setelah empat tahun jarak memisahkan sebab ia dan keluarga terpaksa pindah ke Bandung, pesonanya tidak pernah berubah.
Virga Yudistira.
Satu-satunya alasan kenapa Nura berada di sini. Bergabung dengan anak-anak Hansa Journalism, ekskul jurnalistik di SMA Hansa.
"Tentang SMA Hansa sudah kita kupas tuntas di website sekolah. Gimana kalau kita liput kisah inspiratif salah satu orang penting di sekolah kita ini? Seseorang yang bisa bikin majalah pertama kita ini langsung boooom!"
Nura melirik sekilas ke arah Zulfa yang baru saja melempar ide. Kemudian kembali memerhatikan Virga yang tampak asik dengan laptopnya. Skill digital art yang dimilikinya, membuat Banu menempatkan Virga di bagian Desain Grafis.
Duh, ganteng banget sih. Dalam hati Nura berceloteh-ria. Setelah nyaris 7 tahun diam-diam menyukai sosok itu, baru kali ini Nura bisa melihatnya dalam jarak yang dekat seperti sekarang.
"Kepala Sekolah tercinta, gimana?" usul Banu.
Zulfa dan beberapa anggota perempuan lain kompak bersorak tak setuju.
"Please deh, Nu. Rasanya kurang oke kalau cover majalah sekolah kita gambar Pak Juned. Gue sih liat cover-nya aja ogah, apalagi buka isinya?" Naura bersungut-sungut, seolah punya dendam pribadi dengan kepala sekolah.
Banu terkekeh. "Nur, lo kan pencetus ide bikin majalah sekolah, menurut lo kisah inspiratif siapa yang pas buat ngisi majalah edisi perdana kita?"
Melupakan Virga sejenak, Nura menatap Banu seraya memasang raut berpikir. Mengingat kira-kira siapa yang bisa menarik penasaran seluruh siswa SMA Hansa.
Sebenarnya, ingin rasanya Nura menyebutkan nama Virga. Sebab selama ini sosok itulah yang selalu menjadi inspirasi terbesarnya. Akan tetapi, Nura terlalu pecundang. Takut seandainya hal itu mengundang curiga orang-orang di sekitarnya. Sebab, jauh di dalam hatinya Virga adalah satu-satunya hal yang Nura simpan rapat, aman, dan tak boleh seorang pun tahu.
"Hm, Ketua OSIS? Sahal Hadi?" Jujur Nura sendiri agak terkejut saat nama itu tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Entah mengandung magic apa, nama itu pun sesaat mengundang tatap semua orang terfokus padanya. Termasuk Virga.
"Kenapa harus ketua OSIS?" Virga melempar tanya. Nada suaranya terdengar agak ketus, membuat Nura merasa kalau usulnya kurang pas.
"Gue sih setuju banget. Sahal kan termasuk jajaran cogan SMA Hansa. Prestasi gemilang. Dikagumi banyak cewek. Terlebih dia itu misterius banget orangnya. Pasti banyak banget yang penasaran soal Kehidupanya dia." Mengabaikan pertanyaan Virga, Zulfa berkobar-kobar penuh semangat.
Sekilas Nura melihat Virga menghela napas sebelum kembali fokus dengan laptopnya. Kenapa Virga kayaknya gak suka ya tiap kali gue nyinggung nama Sahal? Jangan-jangan dia cemburu lagi. Batin Nura terkikik kecil. Ge-er sendiri.
"Nur, lo kan lumayan deket tuh sama Sahal, bujuk dia. Oke?" Perintah Banu.
" Kok gue sih?" Nura menunjuk dirinya sendiri. Itu akan menjadi tugas tersulit yang pernah ada. "Tugas gue kan bu-"
"Assalamualaikum."
Kalimat Nura seketika terjeda. Salam disertai suara derit pintu menginterupsi percakapan yang ada. Seluruh mata seketika beralih ke arah sumber suara. Begitu melihat kepala Melodi menyembul di balik pintu, tangan Nura seketika melambai ke arah sahabat sejak kecilnya itu. Senyum lebarnya menyambut langkah Melodi.
Virga yang melihat adegan itu memandang kedua gadis itu silih ganti. Sebelum tatapnya terfokus sepenuhnya ke arah Melodi. Gadis cantik yang jadi pujaan hatinya selama ini.
"Ini. Udah disetujui sama OSIS dan Kepala Sekolah." Ia menghadapkan berkas dalam genggamannya ke hadapan Banu. Lantas menyenggol bahu Nura yang berada tepat di sampingnya seraya berbisik, "Ayo pulang bareng. Gue ada koleksi film terbaru. Cowoknya mati."
Mendengar hal itu, Nura sontak berdiri. "Paketu, gue balik duluan ya!" Tanpa menunggu persetujuan Banu, Nura buru-buru mengambil tasnya. Lantas merangkul Melodi dan berjalan beriringan keluar ruangan. Virga memerhatikan kedua gadis itu sampai kemudian badan pintu memutus tatapnya.
Melodi. Gadis bertubuh tinggi itu, selalu berhasil membuatnya terpukau.
SAAT keluar dari perpustakaan, pandang Sahal disuguhi awan hitam yang tebal di horizon sana. Terlihat berat dan tak tahan untuk menampung air lagi. Bahkan sebelum kakinya tiba di tangga paling bawah, hujan sudah mulai bercucuran, lebat seketika.
Sekolah sudah sepi sebab jam di pergelangan tangannya pun sudah menunjukkan pukul 17:10. Terlalu asyik membaca membuatnya lupa waktu. Seharusnya setelah dari ruang OSIS tadi ia langsung pulang dan bukan malah mampir ke perpustakaan.
Sahal mendesah. Kata-kata Nura kemudian ter-replay dalam benaknya. Gadis itu benar, cuaca sedang tidak bersahabat. Bisa berubah-ubah seenaknya. Harusnya ia membawa payung, mempersiapkan segala sesuatu untuk kemungkinan terburuk.
Dingin mulai menelusup kulit. Angin yang lumayan kencang juga membuat Sahal agak menggigil. Ia tidak membawa payung, tidak membawa jaket pula.
Sahal tidak ingin berlari menembus hujan. Dingin bisa saja membuat penyakitnya kambuh. Tapi, pesan ibunya agar tidak pulang terlambat mendadak menampar ingatan laki-laki berlesung pipi itu. Membuat Sahal akhirnya tak punya pilihan lain.
Laki-laki itu akhirnya berlari, bergabung dengan tetesan ramai dari langit itu.
Bandung, 05 April 2020
Virga Yudistira
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top