23 | Menjemput Penderitaan
"KAMU pikir, caramu ini bisa bikin saya berhenti?"
Sore itu, saat Sahal memutuskan untuk pergi meninggalkan festival Sekolah. Selangkah ia melewati gerbang SMA Hansa, suara bariton menghentikan gerakannya. Suasana hatinya yang buruk semakin berantakan kala iris sewarna onyx itu menangkap keberadaan Fedrik di hadapannya.
"Selama Hadi Group belum jatuh ke tangan saya, saya tidak akan berhenti." Fedrik maju selangkah lebih dekat ke arah Sahal. "Walaupun itu harus melenyapkan nyawamu sekalipun," gertak si Om seraya mendorong bahu Sahal.
Sesaat Sahal biarkan udara yang bergerak merespons gertak yang Fedrik tunjukkan. Selagi matanya menatap si Om dengan tatap datar andalannya. Ia tahu, keputusannya untuk memberi tahu Aryan perihal keberadaanya sudah membuat Fedrik kalah satu langkah darinya. Maka dari itu ...
"Lenyapkan saja! Itu mungkin jauh lebih baik."
... setelah berujar demikian, Sahal mendorong tubuh Fedrik ke samping. Lantas melanjutkan langkahnya yang tertunda. Perasaannya kacau karena Nura, dan sekarang ia tidak ingin memikirkan apa pun lagi. Ia hanya ingin beristirahat dengan tenang untuk terakhir kalinya. Sebelum besok penderitaan panjang akan kembali menyambutnya.
Sebelum benar-benar meninggalkan Fedrik, samar, Sahal bisa mendengar pria itu berseru, "Bagaimanapun juga, Hadi Group tidak boleh jatuh kepada yang bukan haknya, Sahal!"
"SAHAL ...." Lagi, air mata Risti mengalir saat Sahal melepas pelukannya.
"Nanti aku bakal sering ngunjungin Mama, kok." Sahal menyeka air mata yang mengalir di balik pipi Risti.
"Bohong!" lirih Risti. Tentu saja, bagaimana bisa Sahal sering-sering mengunjunginya jika tempat yang akan anaknya itu tinggali nanti adalah sebuah penjara. Atau mungkin lebih buruk dari itu.
Senyum singkat Sahal tersuguh. Kembali, ia memeluk Risti. Lantas, tatapnya beralih ke arah Roman dan Virga yang berdiri mematung di sisi Risti. "Mama punya dua pria yang lebih istimewa dari Sahal di sisi Mama. Mereka bakal selalu jagain Mama."
"Tapi, siapa yang bakal jagain kamu nanti, Sayang?" Kuat, Risti menggenggam pergelangan tangan Sahal, menahan putranya itu untuk pergi.
"Doa Mama," jawab Sahal. Ia berusaha melepas cengkeraman tangan Risti saat Heru menarik lengannya yang lain dengan tak sabar. Tanpa sadar, itu membuat gelang tali, jimat pemberian dari Yara, yang melingkar di pergelangan tangannya terlepas. Jatuh begitu saja di atas lantai. Terseok Sahal mengikuti langkah cepat Heru.
Tubuh Sahal menegang saat Heru membuka pintu mobil untuknya. Aryan—ayahnya—sudah duduk di salah satu jok, tepat di samping jok yang hendak ia duduki. Saat itu, Sahal merasa jantungnya menghisap seluruh darah yang ada dalam tubuh. Wajah Sahal pucat pasi. Selain itu, perutnya mendadak terasa melilit. Tegang. Gamang. Sahal kesulitan bernapas. Ia tidak menyangka si Ayah turut serta menjemput dirinya.
"Kamu kelihatannya lebih bahagia tinggal bersama mamamu. Tapi, sayang sekali. Wanita itu tidak berhak memiliki apa pun yang sudah jadi milikku. Termasuk kamu, Sahal."
Tak berkata apa pun, Sahal mendudukkan diri di samping Aryan. Tertunduk dalam. Urung mengatakan apa pun, sebab salah kata sedikit saja itu bisa membangunkan jiwa psikopat dalam diri Aryan. Lagipula, Aryan pun tampaknya tak ingin menyuarakan apa pun lagi. Hanya saja, Sahal yakin tatap si Ayah tak lepas dari dirinya saat ini.
Dalam perjalanan yang terasa amat lambat untuk Sahal, hanya hening yang melingkupi. Sampai suara bunyi ponsel Sahal mengalihkan atensi. Dengan tangan bergetar, Sahal meraih ponsel di saku jaket track top-nya. Sekadar mengintip nama siapa yang masuk ke room chat-nya.
My Nura Komala
| Sahal?
Sahal tidak tahu harus berekspresi seperti apa kali ini. Ia bahagia sebab untuk pertama kalinya selama Nura menjadi kekasihnya, gadis itu mengirim pesan duluan kepadanya. Namun, keberadaan Aryan di sisinya seperti Dementor yang menghisap habis semua kebahagiaan dalam hatinya.
Ketika Sahal hendak membalas pesan Nura, memberi tahu gadis itu kalau ia dalam perjalanan pulang ke rumah si Ayah, tiba-tiba saja Aryan merebut ponselnya. Sejurus kemudian menjatuhkan benda pipih itu ke luar mobil.
Sesaat Sahal terpaku. Bahkan untuk menelan ludah saja terasa begitu sulit.
"Kamu enggak pantes memakai handphone jelek seperti itu. Papa akan membelikan yang baru dan yang lebih canggih nanti."
Tentu saja, Sahal paham bukan itu maksud Aryan membuang ponselnya. Namun, tak ingin melawan, Sahal hanya mengangguk. Percuma sekali Virga menginput nomor ponselnya. Saat ia menjadi korban kekerasan lagi, ia tetap tidak bisa menghubungi siapa pun.
| SAHAL?
| Read
Nura cemberut. Sahal tak membalas pesannya padahal jelas-jelas centang dua di sisi pesannya berwarna biru. Ia pikir, Sahal sengaja membuat mood-nya pagi ini berantakan. Pasalnya, biasanya setiap kali mereka berkirim pesan, Sahal selalu membalas pesannya dengan cepat.
Apa Sahal balas dendam? Gue sering banget cuekin pesannya dia. Batin Nura. Ia ingin tidak peduli, tetapi hati kecilnya berkata ia gelisah. Takut kalau Sahal benar-benar pergi darinya.
"Adek kenapa?"
Suara Nuryani mengalihkan atensi Nura. Gadis itu melempar tatap ke arah Yara di depan televisi sana. Seperti dirinya, Yara tampak murung. Dengan alasan yang menurut Nura begitu konyol.
"Teh Nura bilang, dia pacaran sama Kak Sahal. Teh Nura jahat. Teteh tahu Yara suka Kak Sahal, tapi Teteh malah pacaran sama Kak Sahal."
Nura mengangkat bahu kontan saat Nuryani menoleh cepat ke arahnya.
"Euleuh-euleuh ... Yara teh udah gede ya sekarang. Udah cinta-cintaan aja." Nuryani mengambil posisi di sisi Yara. Di tangannya ada beberapa pil obat untuk ia konsumsi. Beberapa hari terakhir ini kondisi kesehatannya memang sedang tak baik. "Emangnya, kenapa sih Yara suka sama pacarnya Teh Nura?"
"Kak Sahal kan ganteng, baik, pinter, cuma cewek bodoh yang enggak jatuh cinta sama Kak Sahal."
Penuturan polos Yara seperti ujung tombak yang baru saja menohok sadis hati Nura. Benar, ia memang gadis terbodoh yang pernah ada. Nura menyadari hal itu sejak detik ini, ketika ia benar-benar tak mendapat kabar apa pun dari Sahal, jiwanya terasa begitu hampa.
Padahal, jelas sekali kemarin sore ....
"ENGGAK bakal ada angkot lewat, jadi bareng gue aja. Buruan!"
Nura tetap bergeming di tempatnya. Selain karena tugasnya sebagai seksi dokumentasi yang mengharuskan ia mengikuti acara sampai selesai dan harus pulang malam, Sahal yang pulang tanpa pamit juga membuatnya begitu kesal. Laki-laki itu bahkan tak menemuinya sama sekali selama acara berlangsung.
"Gue pesen ojol aja." Nura mengambil ponsel di tas kecilnya. Hendak mengoperasikan benda mungil itu sebelum tangan Virga menghentikan pergerakannya.
"Melodi juga enggak bakal setuju kalau gue ninggalin lo di sini." Melodi sudah pulang lebih dulu sebab dijemput Yosa. Sepertinya ada hal penting yang harus mereka bicarakan, sehingga gadis itu tidak bisa pulang bersama Virga.
Panjang, Nura menarik napas. Lantas mengempaskannya dalam sekali hela. "Sekali aja lo bisa kan lakuin sesuatu yang bisa bikin gue ilfeel sama lo? Tolong, berhenti narik gue dalam pesona lo. Jangan bikin gue jatuh hati terus sama lo, Virga!" jerit Nura selagi tangannya menepis kasar tangan Virga.
Virga mematung. Menatap ponsel Nura yang terlempar begitu saja.
"Semudah itu lo bikin dia jatuh hati sama lo. Tapi, sesulit ini gue berhenti mencintai lo." Dalam satu gerakan Nura mengambil ponselnya. "Menurut lo, apa itu enggak menyebalkan? Gue bahkan benci diri gue sendiri!" Sejurus kemudian gadis bernama lengkap Nura Komala itu berjalan meninggalkan Virga.
Ditemani hujan di balik matanya, Nura melangkah membelah malam. Berharap angin dingin yang berembus membawa terbang perasaannya untuk Virga. Bukan ia tidak berusaha, tetapi Virga yang selalu lagi-lagi menarik dirinya.
Kembali, Nura membuka ponselnya. Mengganti nama kontak Sahal sebelum mencari kontak Virga di sana.
💕IfOnlyYouWouldTrulyBeMine💕 delete....
Sahal ... Nura memanggil nama itu dalam hatinya. Please, jangan menyerah! Karena di sini gue pun sedang berjuang keras membuka hati buat lo.
Bandung, 15 Pebruari 2021
Katanya, lesung pipi adalah cacat yang menawan 😆
....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top