2 | Keadaan yang Menghubungkan
DERIT suara kursi yang bergeser sesaat menarik atensi seluruh mata yang ada. Sebelum pada akhirnya mereka kembali menyibukkan diri dengan sarapan masing-masing. Membiarkan suara sendok yang sesekali beradu dengan piring melahap kesunyian yang tercipta.
"Bangun terlambat, hm?"
Anggukan kecil Sahal layangkan sebagai jawaban atas pertanyaan si kepala keluarga. Niatnya memang tidur lebih awal, tetapi tugas sekolahnya yang menggunung membuat rencana awalnya ambyar. Ditambah serangan pleuritis-nya yang mendadak, membuat semuanya tambah kacau balau. Ia tidur menjelang subuh hingga berakhir bangun kesiangan.
"Jangan keseringan begadang."
"Iya, Papa." Dengan enggan, Sahal memakan roti telur yang tersuguh manis di hadapannya. Selalu, ia tidak pernah terbiasa dengan menu sarapan yang satu ini. Telur setengah matang di atas roti tawar itu selalu berhasil mengaduk isi lambungnya. Mengundang mual.
Akan tetapi, Sahal enggan bernegosiasi. Protes pun hanya akan menambah cercaan tak kasat mata menghujam dada. Alhasil, memakan bulat-bulat tanpa mengunyahnya adalah pilihan yang tepat.
Memang, jika dipikir lagi, kehidupannya tidak pernah berjalan di alur yang indah. Satu tahun setelah ia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya, tak lantas membuat ia bisa menyicip bahagia yang nyata itu seperti apa. Namun, kehidupan lamanya bersama ayah dan neneknya pun tak jauh lebih buruk dari saat ini.
Setidaknya, bersama ibunya ia tidak mesti merasakan sakitnya pukul dan tendang. Meski kerap aturan dan tekanan yang datang membuat jiwanya lebih terkoyak.
"Papa libur hari ini. Jadi jangan pulang telat."
Sahal baru mengenakan sebelah sepatunya saat Risti—mamanya—memberi pesan. Singkat, laki-laki bertubuh jangkung itu mengangguk.
"Ma, aku berangkat!"
Risti agak terkejut saat tangannya tiba-tiba ditarik untuk kemudian dikecup. Tanpa sempat mengatakan kalimat apa-apa, ia melihat Virga—-anaknya yang lain—-berlalu cepat dari hadapannya.
Setelah Virga dan motornya tak lagi terjamah mata, baru Risti kembali menatap Sahal yang kini sudah berdiri sempurna di hadapannya. Ditatapnya sosok itu dengan agak sendu. "Kamu yang akur dong sama Virga. Biar kalo ke sekolah bisa berangkat bareng."
Sahal meraih tangan Risti dan menciumnya. Lantas tanpa mengatakan sepatah kata pun ia segera berlalu. Bukan tak akur, toh hubungan antara keduanya pun damai-damai saja. Benar, damai sebab sejak awal Sahal masuk ke tengah-tengah keluarga ini, Virga tidak pernah benar-benar menganggapnya ada.
SEPERTI biasa, senyum Nura merekah kontan kala netranya menangkap sosok itu berdiri di sana. Dengan ceria, diayunkan langkahnya lebih cepat guna menghampiri laki-laki itu.
"Hai, Sahal!" sapa Nura, mengambil posisi di samping laki-laki itu. Berdua, seperti biasa, mereka akan berdiri bersampingan, menunggu angkutan umum melintas untuk kemudian berangkat bersama ke sekolah.
Ini sudah sebulan sejak pertemuan pertama mereka di tengah hujan kala itu. Nura tidak pernah benar-benar berharap bisa bertemu lagi atau bahkan menjadi dekat dengan laki-laki bernama Sahal Hadi itu. Namun, rencana Tuhan tidak begitu.
Saat pertama kali masuk SMA Hansa sebagai murid pindahan, Nura tidak berharap masuk ke kelas di mana Sahal berada. Ia juga tidak berharap satu-satunya bangku kosong itu berada di samping Sahal. Hanya saja kenyataannya memang demikian. Ditambah, rutinitas pagi mereka di persimpangan jalan ini seperti garis yang memang menghubungkan keduanya.
"Cuaca lagi cerah, tapi wajah lo mendung mulu perasaan," celetuk Nura, disikutnya pelan pinggang Sahal.
Sahal hanya menggumam tak jelas. Ia menyetop angkot yang melintas lantas memberi kode kepada Nura agar naik lebih dulu.
Nura mengangguk semangat, lantas naik dan mengambil posisi paling pojok. Senyumnya kemudian terbit ketika Sahal mengambil posisi kosong di sampingnya.
Seperti hujan. Sahal itu dingin, tapi menenangkan.
"Lo bawa payung kan?" Tanya itu lolos, bersamaan saat angkot melaju, membawa mereka pergi.
"Cuaca cerah gini, tapi lo bawa-bawa payung mulu perasaan."
Mendengar jawaban Sahal, refleks Nura mencebik. Serangan balasan, huh?! Gerutunya dalam hati. "Tau sendiri kan sekarang tuh cuaca lagi moodian, bentar panas. Bentar hujan. Bentar cerah. Bentar mendung. Lo tuh harus nyiapin segala sesuatu untuk kemungkinan terburuk."
"Hm." Singkat Sahal merespon. Meski dalam hati, ia senang mendengar cerocosan gadis bertubuh mungil itu.
Seperti payung warna-warni yang selalu dibawanya, Nura itu indah dan penuh warna.
Bandung, 31 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top