19 | Persimpangan Masa Silam

SEJAK awal, Sahal tahu kalau Nura terpaksa menerima pengakuan cintanya. Berpikir akan sangat mudah melupakan Virga dan membuka hati untuknya.

Mungkin, itu mudah untuk Melodi karena tidak sulit bagi Melodi menambatkan hati, dan Virga juga tipe laki-laki yang pandai membuat nyaman perempuan. Seminggu setelah jadian, hubungan mereka bahkan sudah menjadi buah bibir di seluruh penjuru SMA Hansa. Kendati beberapa ada yang tak setuju dengan hubungan itu, tetapi banyak juga yang mendukung. Mereka menilai kalau Melodi dan Virga sangat cocok sebab sama-sama memiliki paras rupawan.

Sementara hubungannya dengan Nura, mungkin sama halnya seperti tokoh fiksi Harry Potter dan Harmione Ganger, yang sampai akhir cerita hanya bisa menjadi sahabat. Ya, kendati status mereka berpacaran, tetap dalam sorot mata Nura, Sahal tak lebih dari sahabat.

Desah lelah Sahal mengudara. Sejenak ia menatap kumulus yang berarak di kaki langit sana. Cuaca cerah hari ini, tak sinkron dengan atmosfer di hatinya. Kesunyian yang ada di halaman belakang rumah tempatnya berada saat ini, malah membuat kegalauan semakin menusuk rongga hati.

Aish! Tubuh Sahal terempas di atas rumput sintetis halaman belakang rumah. Selagi memasang kembali headseat di telinga, Sahal menatap layar ponselnya. Memastikan Nura membalas pesan yang ia kirim sejak semalam. Kecewa merambat seketika saat sadar tak ada notifikasi apa pun di sana.


"Lagi apa?"

Sahal terkesiap. Portal lamunannya tentang Nura tertutup seketika kala suara Risti menyapa halus gendang telinga. Cepat, ia bangkit dan mengambil posisi duduk kembali. "Enggak lagi ngapa-ngapain kok, Ma." Senyum Sahal yang mengembang sempurna, membuat kedua lesung pipinya yang dalam timbul. Sungguh manis dalam pandangan Risti, dan juga siapa pun yang melihatnya.

"Kalau mau tiduran di dalem aja. Panas loh ini," komentar Risti. Ia mengambil posisi di sisi Sahal.

I Can't Make You Love Me yang dibawakan Dave Thomas, terhenti sebab Sahal melepas headseat di telinganya. "Matahari pagi bagus kan, Ma." Sungguh! Setiap kali menyadari kalau Risti mulai menaruh perhatian padanya, Sahal selalu merasa begitu bahagia. Kenyataan itu sedikit mengobati kekecewaan yang ia rasakan sebelumnya.

"Virga sama Melodi kayaknya mau pergi. Kamu enggak ikut?"

"Enggaklah, Ma. Nanti aku jadi obat nyamuk lagi." Sahal terkekeh kecil. Semalam, Sahal juga mengirim pesan kepada Nura. Mengajak gadisnya itu pergi jalan-jalan minggu ini. Tapi, ya begitulah ....

"Sahal, Mama mau tanya sesuatu, deh." Risti mengubah posisinya, duduk menghadap ke arah Sahal. Lembut, ia meraih tangan anaknya itu dan menggenggamnya dengan erat.

Sebelah alis Sahal terangkat. "Nanya apa?"

"Sebenarnya, Mama penasaran loh, kenapa kamu enggak mau kembali ke rumah papa kamu. Apa benar karena dia jahat?"

Tak lalu menjawab, Sahal menatap lama mata Risti. Ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya. Mungkin di beberapa kesempatan, Aryan selalu tampak seperti penjahat untuknya. Namun, kadang ada momen-momen tertentu yang membuat pria itu terlihat begitu menyayanginya.

"Sahal ...." Melihat Sahal diam saja, Risti berusaha kembali menarik sadar Sahal.

"Sebenarnya, aku cuma pengen aja ngabisin waktu sama Mama. Tapi, kalau Mama keberatan aku di sini, aku ak—"

"Enggak Sahal!" Risti memangkas cepat kata-kata Sahal. "Sebenarnya gini ... waktu kamu sakit, Mama lihat ada banyak bekas luka di tubuh kamu. Apa itu ... benar-benar ulah papa kamu?"

Ah, Sahal paham sekarang. Alasan kenapa Risti jadi lebih peduli padanya. "Iya," jawab Sahal sejujur mungkin.

"Termasuk di sini?" Telunjuk Risti parkir di dada Sahal. Di mana ia melihat gurat memanjang yang cukup parah.

Sejemang, Sahal biarkan udara pagi berembus, mengibarkan sedikit anak rambutnya yang berantakan. Lantas, ia tertunduk. Pertanyaan Risti menarik ia ke dalam sebuah lubang yang membawanya kembali berdiri di persimpangan masa silam. Masa yang sesungguhnya begitu ingin Sahal lupakan.

SAHAL tidak ingat berapa lama ia ditelan ketidaksadaran. Berjalan terlunta-lunta di sebuah tempat asing, sebelum kemudian sesuatu kembali menarik dirinya dalam sadar. Kelopak matanya yang terbuka, turut membawa sakit dan perih di sekujur tubuh kala itu. Sahal merasa sesuatu membungkus dadanya. Membuatnya sulit bergerak.

"Jangan banyak bergerak dulu, ya. Kamu baru aja menjalani operasi."

Wanita itu bersnelli dengan stetoskop menggantung di lehernya. Tersenyum ramah, selagi tangannya sibuk melakukan beberapa pemeriksaan terhadapnya. Dua orang perawat tampak mendampinginya, mencatat apa yang si dokter katakan perihal kondisinya.

"Aku kenapa?" Lemah, Sahal bertanya. Suaranya nyaris tidak terdengar sehingga Wanita dengan name tag Dr. Anne itu terpaksa mendekatkan telinganya ke mulut Sahal. Masker oksigen yang menghalangi, juga membuat kalimat yang Sahal utaran terdengar tak jelas.

"Fraktur tulang rusuk yang kamu alami merobek paru-paru. Juga merusak jaringan pleura di sana. Selain mengalami flail chest, kamu juga mengalami komplikasi serius. Itu sebabnya tindakan bedah adalah satu-satunya jalan." Dr. Anne menjelaskan beberapa detik setelah paham apa yang Sahal katakan.

Sahal mengerang kecil. Pantas saja jika kini bagian dadanya harus dililit perban cukup banyak. Penjelasan yang Dr. Anne berikan, mengingatkan Sahal pada kejadian sebelum akhirnya ia terdampar di rumah sakit ini.

Benar, ia mendapat eksekusi dari si Ayah lantaran rangkingnya turun drastis. Bagian dadanya beberapa kali mendapat hantaman tongkat baseball. Sangat wajar jika tulang-tulang di area sana patah.

"Ayahmu bilang, besok kamu akan dipindahkan ke rumah sakit yang fasilitasnya lebih memadai. Jadi, istirahat yang banyak." Itu adalah hal terakhir yang Dokter Anne katakan sebelum  berlalu meninggalkan Sahal, diikuti oleh dua perawat di belakangnya kemudian.

Lama, Sahal terdiam. Menikmati sakit yang menikam  di tiap senti tubuhnya. Kata-kata terakhir yang Dokter Anne katakan, membuat Sahal berpikir keras. Kesunyian yang merambati ruangan serba putih itu, membuat Sahal berpikir bahwa saat itu adalah kesempatan emas yang Tuhan beri untuk ia melarikan diri dari kebengisan yang ayahnya lakukan.

Maka saat itu juga, sebelum Aryan atau omanya datang, susah payah Sahal turun dari ranjang rawat. Melepas paksa seluruh alat medis yang menempel dan terseok-seok meninggalkan ruangan, meninggalkan rumah sakit.

SEBAB berhasil meraih peringkat pertama dan mengalahkan Sahal, Yosa menghadiahi Melodi iPhone keluaran terbaru. Saat tengah asyik memainkan ponsel itu, Melodi mendengar bel rumahnya berbunyi berulang kali. Ia sudah memanggil-manggil pembantu, tetapi tidak ada satu pun yang datang dan membukakan pintu.

Bunyi nyaring bel yang ditekan dengan tak sabar, membuat Melodi risih dan kesal. Melupakan iPhone-nya, gadis bergigi kelinci itu kemudian bangkit. Berjalan menuju pintu utama. Dalam satu gerakan, ia membuka pintu dengan cukup kasar. Hendak memaki siapa pun yang bertamu malam-malam. Sebelum ....

"Ya, Tuhan!"

... tubuh jangkung Sahal luruh menimpa tubuhnya. Tak tahan menahan berat badan laki-laki itu, tubuh Melodi turut jatuh menghantam lantai.

"Sahal?!" Melodi memekik panik. Wajah Sahal tampak begitu pucat. Napasnya berembus tak teratur. Sementara itu darah mengucur cukup banyak dari punggung tangannya, bekas jarum infus yang Sahal cabut secara paksa.

"Apa yang terjadi? Sahal bangun, Sahal!" Air mata Melodi meluncur. Beberapa kali ia menepuk-nepuk pipi Sahal. Berusaha membuat Sahal tetap tersadar.

"Mel ...." Lemah, Sahal memanggil nama itu. Bagaimanapun juga, ia harus menyampaikan maksudnya sebelum sadarnya kian terkikis habis. Susah payah ia membuka mata, menatap samar wajah Melodi yang sudah dibanjiri air mata.

"Kita ke rumah sakit! Gue ... hubungi Papi dulu. Lo tu—"

"Jangan!" Sahal meraih tangan Melodi yang hendak bangkit meninggalkannya. "Tolong, lindungi gue dari bokap gue!" Sedetik setelah kalimat itu terlafal, mata Sahal perlahan tertutup. Kembali, sadarnya ditelan dalam gelap.

HELA napas panjang Melodi menjadi penutup cerita. Di sampingnya, Virga yang merupakan pendengar, terpaku dalam diam. Tidak menyangka kalau kehidupan Sahal yang ia pikir begitu sempurna--—sebab setahu Virga, mantan suami Risti adalah seorang konglomerat—-ternyata begitu miris dan memprihatinkan. Sedikitnya, Virga merasa bersalah karena selama ini selalu bersikap kurang baik kepada Sahal.

"Itu alasan kenapa bokap lo minta keluarga gue nyembunyiin Sahal, hm?"

Melodi mengangguk. Kesedihan jelas tergurat di balik wajah cantik gadis itu. "Sejak saat itu, hal terpenting dalam hidup gue, cuma lindungi Sahal. Sekalipun, gue enggak pernah ingin lihat dia terluka. Sekarang, gue berharap Nura benar-benar bisa menjaganya."

Virga tahu, kendati sekarang Melodi resmi menjadi miliknya, sebagian hati gadis itu masih tertinggal untuk Sahal. Dari pertama hubungan mereka terjalin, yang Melodi bahas hanya hal tentang Sahal. Meskipun tak keberatan, tetap saja, Virga sedikit cemburu mendengar semuanya.

Bandung, 07 Pebruari 2021

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top