16 | Tergurat Luka
DALAM tidurnya, Sahal bermimpi. Sebuah tongkat baseball beberapa kali menghantam tubuhnya. Silih ganti dengan ujung sepatu yang menendang perut dan dadanya. Teriakan mohon ampun yang terlafal lirih tak lantas membuat aksi itu terhenti. Bahkan ketika Sahal yakin kalau keningnya berdarah sebab terantuk meja kaca, juga beberapa tulang rusuknya patah dan kemudian ia memuntahkan banyak darah, penyiksaan itu terus berlanjut.
Kali ini, peringkatnya jatuh ke angka sebelas. Kemudian hanya karena ia ketahuan bermain gitar—alih-alih membenarkan nilai-nilainya—Aryan mengamuk. Tak hanya membanting gitarnya sampai rusak, juga membuat tubuhnya babak belur. Nyaris mati seandainya tidak ada Titi yang menghentikan kegilaan si Ayah.
Mimpi itu, membangunkan Sahal dalam keadaan kacau. Sahal kehilangan udara. Napasnya tercekat di tenggorokan. Seiring ribuan jarum kecil tertancap di dalam dadanya sana.
Refleks Sahal mencengkeram dada. Menghalau nyeri, selagi mulutnya terbuka guna mengais oksigen yang entah kenapa mendadak memusuhi. Susah payah, Sahal bangkit guna mengambil obatnya di atas nakas. Namun ...
"Sial!"
... tabung kecil itu kosong. Obatnya habis.
Merasa tak ada sesuatu yang bisa dilakukan, tubuh Sahal luruh. Bersandar di kaki ranjang. Hanya membiarkan sakit mencubiti tiap senti tubuhnya. Beberapa kali bibirnya meloloskan erang tertahan. Bahkan untuk bernapas saja, rasanya terlampau sulit.
"Ya Tuhan, Sahal?" Beruntung pintu terbuka. Risti yang hendak mengajak Sahal untuk makan malam, terkejut melihat putranya terduduk di lantai dengan kondisi amat menyedihkan.
"Mama ...," parau Sahal. Ia sebenarnya tidak ingin Risti tahu keadaannya—sebab itu hanya akan membebani Risti lagi. "Aku enggak apa-apa." Namun, jarum-jarum tak kasat mata menancap semakin dalam di paru-paru sana dan merobeknya hingga berdarah. Sahal terbatuk hebat. Batuknya terdengar amat menyakitkan.
Melihat hal itu, Risti menangkupkan kedua tangannya di wajah Sahal. Panas merambat. "Enggak apa-apa apanya? Badan kamu panas gini. Kamu demam, Sahal. Ayo, kita ke rumah sakit!"
Kontan, gelengan lemah Sahal berikan. Ia pikir, itu akan jauh lebih merepotkan Risti dan juga keluarganya yang lain.
"Obat kamu mana?"
"Habis." Sahal berusaha menghimpun udara yang ada. Namun, saat melakukan itu nyeri di dadanya terasa semakin mendera. Memaksa erang kesakitan itu lolos lebih keras dari bibirnya yang tampak membiru.
"Kamu tunggu sebentar!" Risti bangkit, berjalan cepat keluar kamar Sahal guna meminta bantuan.
Sahal memejam. Menahan sesuatu yang dengan brutal memporak-porandakan sistem pernapasannya. Di sela rasa sakit yang kian menikam, ada setitik cahaya yang membuat jiwa Sahal sedikit menghangat. Kenyataan kalau Risti masih menyimpan simpati untuknya. Risti tak benar-benar mengabaikannya.
SEDARI kecil, Virga tak pernah merasakan dekap hangat sosok ibu. Sebab kata Roman, Sintia—ibunda Virga—meninggal satu hari setelah melahirkannya. Saat Roman kemudian membawa Risti ke dalam keluarganya, mengenalkan ia sebagai sosok Ibu, Virga begitu bahagia. Virga amat menghormati dan menyayangi wanita itu. Kehadiran Risti mengisi kehampaan yang teramat parah dalam sanubari. Sebabnya, Virga tak pernah ingin Risti pergi dan selalu berusaha menjaga hati wanita itu.
Kehadiran Sahal satu tahun lalu, kemudian menumbuhkan kekhawatiran dalam dada Virga. Terlebih mengingat hubungan Risti dan Sahal yang sebenarnya, Virga amat takut Risti membagi cintanya kemudian dengan mudah suatu saat Sahal membawa sosok Ibu pergi dalam hidupnya.
"Virga?" Terkesiap, gerbang lamunan Virga tertutup. Laki-laki berwajah bule itu kemudian mengalihkan tatap ke arah sumber suara dan menemukan Nura tengah berdiri di sampingnya. Lengkap dengan senyum manisnya yang selalu tersemat tulus.
"Ngapain? Lo sakit?" Kening Nura berkerut dalam. Aneh melihat Virga di depan apotek malam-malam. Di tangannya ada satu kantong plastik berisi beberapa obat.
Tak lalu menjawab, Virga justru melempar tanya balik kepada Nura. "Sendirinya ngapain?"
Nura memutar bola mata, selagi tangannya mengusap belakang kepala. "Karena jam-jam segini gue gabut, jadinya gue kerja di apotek ini." Nura nyengir. "Please, rahasiakan ini dari orang lain ya?"
Virga sedikit tak menyangka mendengar jawaban Nura. Gadis itu teramat polos. Binar cinta yang terpancar jelas untuknya terlalu eksplisit, tulus, tanpa pura-pura. Membuat Virga sedikit merasa bersalah sudah melibatkan gadis itu dalam permainannya.
"Terus lo ngapain di sini?" Melihat Virga kembali diam, tanya Nura lepas lagi. "Ini kayaknya mau ujan. Lo harus pul—"
"Ada dua hal penting yang harus gue sampein sama lo. Lo mau dengar yang mana dulu? Yang pertama, atau yang kedua?" Kenaifan yang Nura tunjukkan mengingatkan Virga kepada Sahal. Sebenarnya, pergi ke apotek malam-malam seperti ini, di samping karena permintaan Risti, pun rasa bersalahnya kepada Sahal. Kondisi buruk Sahal yang sempat terekam lensa matanya membuat Virga berpikir kalau Sahal sakit sebab pukulan yang ia berikan dua hari lalu. Karenanya Virga pikir akan sangat bagus seandainya ia mulai mengakui segala sesuatunya kepada Nura.
Nura tak paham apa maksud Virga. Namun, tatap menuntut jawab yang Virga tunjukkan membuat Nura akhirnya menjawab, "Yang pertama."
Panjang, Virga menarik napas. Ia kemudian menarik Nura guna duduk di salah satu bangku tak jauh dari posisi mereka berada. "Selama ini, gue sebenarnya tinggal bareng sama Sahal. Gue kenal Sahal udah dari lama karena dia saudara tiri gue."
Mendengar hal itu, Nura terkejut tentu saja. Sedikit kecewa, karena Virga menyembunyikan hal sepenting itu. Seharusnya, ia tidak perlu repot-repot menjalankan tugas dari Hansa Journalism jika hubungan Virga jauh lebih dekat dengan Sahal.
"Sekarang, Sahal lagi sakit. Ini obat buat dia."
"Sahal sakit?" tanya Nura. Sebenarnya, ia sempat berpikir demikian saat melihat bangku Sahal kosong dua hari ini. Hanya saja, setiap kali mengingat hubungan mereka sedang tak baik, juga saat ingat isi pesan yang Sahal kirim dua hari sebelum laki-laki itu tak masuk, membuat Nura berusaha untuk tak menyimpan peduli lagi terhadap chairmate-nya itu.
Lesu, Virga mengangguk. "Yang kedua ..." Virga menggantungkan kalimatnya. Tertunduk dalam. Entah kenapa, mendadak ia takut melukai hati gadis di sampingnya.
"Yang kedua apa?" tanya Nura penasaran.
"Gue suka sama Melodi."
Kala kalimat itu menembus telinganya, Nura berpikir bahwa baru saja sebuah ribuan panah beracun menembus tepat di jantungnya. Seketika, Nura kehilangan udara. Dadanya mendadak terasa amat penat. Selagi, cairan bening tanpa aba-aba meluncur deras dari kelopak mata indahnya. Harusnya ia mendengarkan Sahal. Seandainya ia percaya dengan semua hal yang Sahal katakan, mungkin hatinya tidak akan seperih saat ini.
Tapi, Virga. Gue udah suka lo dari lama. Dan harapan yang lo kasih, bener-bener bikin gue kayak dilempar ke dasar jurang kali ini.
TIBA-TIBA saja hati Risti berdenyut nyeri. Ia hendak mengompres kening Sahal saat matanya melihat sebuah bekas luka memanjang di area sana. Sebab selalu menjatuhkan poni rambutnya ke depan, Risti tidak pernah tahu ada luka sedalam itu di kening Sahal.
Virga belum juga kembali, sampai Sahal akhirnya jatuh tertidur. Dalam tidurnya, Sahal terlihat gelisah. Bahkan ketika sadarnya terenggut, sakit di tubuhnya itu masih saja tampak menyiksa. Tak hanya membasahi kening dan rambutnya, keringat yang berlomba keluar pun membuat pakaian yang Sahal kenakan basah.
"Baju Sahal kayaknya perlu diganti, Ris," usul Roman menarik sadar Risti yang hanya terpaku. Berusaha mengalihkan atensi istrinya itu. Ia pun melihat bekas luka itu, dan sama seperti Risti, perasaannya mencelos seketika.
Risti mengangguk singkat. Sementara ia melepas kaos yang Sahal kenakan, Roman mengambil baju ganti di lemari.
"Apa ini?" Sempurna baju Sahal terlepas, Risti mendesis. Air matanya tumpah seketika. Ia melirik Roman yang juga membatu di tempatnya. Bekas luka itu, tak hanya ada di kening Sahal, pun juga di beberapa anggota tubuhnya yang lain. "Sebanyak apa penderitaan yang dia sembunyikan selama ini?" lirih Risti. Saat itu juga penyesalan menggempurnya. Meluluh lantakkan jiwanya.
Seapatis apa dirinya selama ini. Selama satu tahun setelah Yosa mengantarkan Sahal kepadanya, kenapa ia tak pernah ingin bertanya apa pun?
Kenapa ia bahkan tak penasaran alasan apa yang membuat Sahal harus disembunyikan dari Aryan?
Kenapa ia tidak pernah bertanya kenapa Sahal begitu enggan kembali tinggal bersama ayahnya?
Kenapa Sahal memilih bertahan di rumah ini, bahkan ketika Virga membenci dan tak menganggap keberadaannya?
Ibu macam apa aku ini? Kenapa putra yang ia pikir bahagia setelah ia tinggal pergi, ternyata menyimpan penderitaan yang begitu mengilukan hati.
"Papa kayaknya perlu menyusul Virga." Tak tahan dengan apa yang ia lihat, Roman berniat untuk beranjak dari tempatnya. Namun, suara berat Virga menahan pergerakannya di sana.
"Aku udah di sini." Saat berkata demikian, mata Virga terfokus ke arah tubuh yang terbaring di atas tempat tidur sana. Seperti halnya kedua orang tuanya, tatap miris dan penuh ketidakpercayaan tersorot di balik mata laki-laki itu.
Bandung, 31 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top