15 | Cara Cowok Mengatasi Masalah?
SAHAL sedikit kecewa saat Nura masih saja mendiamkannya. Hampir satu minggu berlalu, dan gadis itu masih tak ingin menyuarakan sepatah kata pun kepadanya. Parahnya, setelah hari itu, Melodi pun tampak menjaga jarak dengannya. Sahal dilanda bingung, tentu saja. Ia ingin bersikap apatis, berpura-pura tak peduli. Namun, Sahal pikir, apa yang ia dapatkan adalah sebuah ketidakadilan. Toh, ia tak sepenuhnya salah di sini.
"Gue mau bicara!" Sebelum Nura menghampiri Virga di parkiran sana, Sahal menarik tangan gadis itu. Menyeretnya ke tempat yang lebih sepi. Tanpa mereka sadari, seorang gadis melihat hal itu dan kemudian mengikuti mereka. Bersembunyi di antara jajaran loker dan memerhatikan keduanya.
"Apaan lagi, sih?!" Sebenarnya, Nura tidak ingin mendiamkan Sahal. Ia bukan tipe orang yang suka memendam marah berlama-lama. Hanya saja, setelah tahu perasaan Melodi kepada Sahal, Nura pikir itu cara terbaik untuk menjaga perasaan sahabat baiknya.
"Gue gak keberatan lo jauhi gue. Tapi, please ... jangan berangkat dan pulang bareng lagi sama Virga." Sungguh, Sahal hanya tidak ingin Nura terluka.
"Lo enggak usah atur-atur gue!" Nura menepis tangan Sahal. Menatap laki-laki berjaket hitam di hadapannya itu dengan cukup tajam. "Gue yang paling tahu bagaimana perasaan Virga ke gue." Tidak mungkin Virga melakukan banyak hal untuknya jika laki-laki itu tak menyimpan rasa padanya. Nura tahu kalau apa yang Sahal lakukan semata-mata hanya karena rasa cemburu.
"Lo enggak tahu, Nura! Virga itu sukanya sama orang lain. Lo cuma dimanfaatin tahu enggak? Lo eng—"
"Kenapa lo bersikap sok tahu padahal lo bahkan enggak kenal siapa Virga?!" Cepat, Nura memutus kata-kata Sahal. Seingatnya, Sahal dan Virga bahkan tak saling kenal, tetapi Nura heran kenapa Sahal bersikap seolah tahu banyak tentang laki-laki itu.
Sebanyak mungkin Sahal menghirup udara di sekitarnya. Menghimpunnya dalam paru-paru dan melepasnya dalam sekali hela. Benar, selain Melodi tidak ada yang tahu hubungannya dengan Virga. Wajar jika Nura berkata demikian. Lelah, Sahal akhirnya hanya bisa berujar, "Yaudah, terserah lo!"
Tanpa ingin mendengar apa pun lagi, Nura berjalan meninggalkan Sahal. Nura tak ingin bersikap kasar, tetapi hanya itu cara agar Sahal berhenti menyukainya. Hanya itu cara ia menghargai perasaan Melodi. Air mata Nura menetes. Sesungguhnya, raut terluka yang tergurat di balik wajah Sahal, turut membuat hatinya terluka juga.
"WAH, cukup rumit juga ya?"
Saat Sahal hendak meninggalkan tempatnya, seorang gadis muncul dari balik loker. Begitu tahu siapa sosok itu, Sahal tak ingin terlalu peduli. Ia memilih kembali melanjutkan langkahnya.
"Gue seneng denger kalau Virga cuma manfaatin si cewek miskin itu!" Andini mengikuti langkah Sahal.
"Berhenti ngikutin gue!" titah Sahal. Ia berbalik dan menatap runcing mata si sepupu.
"Gak bisa. Itu tugas gue," tukas Andini dengan tenang. Selagi senyum penuh maksudnya tersungging.
Sahal tidak tahu kenapa mendadak, emosinya jadi meledak-ledak seperti ini. Sehingga merasa zona amannya terancam, Sahal mendorong Andini hingga kini tersudut di balik dinding. "Lo bisa bilang langsung ke bokap kalau gue ada di sini. Jadi, berhenti ngikutin gue, Sialan!"
"Enggak dulu, Sahal." Andini cukup tangguh. Bahkan ketika lengan Sahal menahan pergerakannya, gadis itu masih terlihat tenang. "Enggak sebelum bokap mastiin hal berharga apa yang ada dalam diri lo, sampai Om Aryan pengen banget lo balik."
"Tentu saja karena gue anaknya."
"Tapi, gue sama bokap enggak percaya. Gue justru lebih curiga kalau Om Aryan nyimpen sesuatu yang lebih berharga dari Hadi's Mall di tubuh lo ini." Andini menunjuk dada Sahal, tertawa singkat kemudian.
Mendengar hal itu, Sahal berdecak. "Kepala lo, isinya drama aja emang ya?!" Tak ingin buang-buang tenaga dengan menghadapi ketidaknormalan Andini, Sahal segera berlalu. Saat ini ada hal yang lebih penting ketimbang memikirkan masalah ia dan juga ayahnya.
"GUE nembak Melodi." Sahal pikir, jika tidak bisa memberi tahu Nura, jalan terakhir adalah menghentikan Virga. "Kalau lo fokus terus sama Nura, jangan salahin gue kalau Melodi jatuh lebih dulu ke pelukan gue."
Melupakan sesuatu yang tengah digambarnya, Virga kontan bangkit. Berdiri tepat di hadapan Sahal.
"Jangan lupa, Virga. Melodi suka sama gue. Jadi, bukan hal sulit buat gue dapetin dia!"
"Brengsek!" Dalam satu gerakan, Virga mendorong kasar tubuh Sahal. Jika tidak sigap, Sahal mungkin sudah terjerembab di bawah kaki sofa ruang tengah. Namun, sadar dengan serangan Virga, Sahal sigap menahan keseimbangan sehingga tubuhnya hanya terdorong ke belakang.
"Kalau lo pikir gue terluka karena lo php-in Nura, itu salah. Gue gak pernah bilang ke lo, kalau gue suka Nura, kan? Apa pun yang lo lakuin sama Nura, gue enggak peduli. Tapi, mulai sekarang jangan pernah berharap apa-apa lagi sama Melodi."
Tangan Virga terkepal. Refleks ia mencengkeram kerah baju Sahal. Mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya itu kemudian menyudutkannya di balik dinding. "Gue tahu lo enggak suka sama Melodi. Jadi, gue enggak akan biarin lo nyakitin Melodi, Sahal!"
Tentu saja, Melodi adalah orang yang sudah melindunginya selama ini. Sahal cukup tahu diri, ia tidak mungkin menyakiti gadis itu. Lagi, ia nembak Melodi itu adalah bohong. "Tujuan gue bukan nyakitin Melodi. Tapi lo, Virga. Kalaupun Melodi tersakiti, itu bonus!"
"ANJ&%G!" Sadar Sahal tengah mengolok-oloknya, tinju Virga sontak melayang. Menghantam tepat wajah Sahal.
Awalnya, Sahal tak ingin membalas. Hanya saja, pukulan Virga yang bertubi-tubi selanjutnya, membuat Sahal tak punya pilihan lain. Laki-laki bertubuh jangkung itu bangkit, lantas menerjang Virga. Memberi pukulan balasan tepat di rahang saudara tirinya.
Tak ada yang ingin mengalah ataupun menyerah. Keduanya terus saling baku hantam. Saling memberi serangan balasan. Bahkan ketika Risti datang, memekik panik dan berusaha menghentikan perkelahian, kedua anak SMA itu tak juga menghentikan aksinya.
Baru ketika Virga menendang dada Sahal dengan cukup keras, dan berhasil melumpuhkan sahal, semuanya terhenti. Sahal tak lagi mampu melawan sebab mendadak napasnya terasa berhenti. Sesuatu seperti baru saja mencekik lehernya. Seraya mencengkeram bagian dadanya dengan kuat, tubuh Sahal perlahan luruh ke bawah dan meringkuk di atas lantai.
Napas cepat dan erangan Sahal kemudian membuat Virga terpaku di tempatnya. Ia benar-benar terkejut, tak menyangka serangan terakhirnya akan berakibat fatal. Untuk beberapa sekon Virga larut dalam bungkam dengan seluruh tubuh bergetar. Sampai kemudian ...
"Ikut Papa, Virga!"
... sebuah tangan yang menarik tubuhnya, mengembalikan seluruh sadarnya.
"KAMU pulang aja gih sama Papa kamu."
Sahal meringis kecil. Menahan erangan agar tak lolos dari mulutnya yang sedikit sobek lantaran sempat beberapa kali jadi sasaran pukulan Virga beberapa saat lalu. Nyeri di area dadanya pun masih tertinggal, kendati obat pereda nyeri sudah ia konsumsi. Sekarang, kata-kata yang Risti paparkan tak hanya menembus gendang telinganya, juga menancap tepat di jantungnya hingga Sahal rasa sesak semakin mencengkeram di dalam sana.
"Ma ...." Sahal meraih tangan Risti.
"Pokoknya, Mama mau telepon Oma. Mama bakal kasih tahu nenek kamu, kalau kamu ada di sini. Apa pun tujuan Yosa nyuruh Mama nyembunyiin kamu, Mama enggak mau peduli lagi," gerutu Risti. Wanita itu menepis pelan tangan Sahal. Apa yang Sahal lakukan terhadap Virga, membuatnya malu pada Roman. Setelah semua hal yang Roman beri untuk Sahal, sangat tidak pantas Sahal membalasnya dengan hal yang benar-benar memalukan.
"Ma, tolong maafin aku." Sahal tertunduk. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tahu kalau perilakunya sungguh di luar batas.
"Maaf doang enggak bisa nyelesain semuanya, Sahal! Mau ditaruh di mana muka Mama ini? Kamu enggak malu apa sama Papa Roman?!" Risti berapi-api. Ia mengguncang tubuh Sahal dengan keras.
Sahal meringis. Apa yang Risti lakukan membuat sakit di area dadanya semakin terasa. Air matanya menetes. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya lagi Sahal merasa begitu sedih hingga ia benar-benar menangis.
"Kamu beresin semua barang-barang kamu. Besok ka——"
"Papa tuh jahat!" Cepat Sahal memutus kalimat Risti. Berharap dengan jujur atas apa yang ia terima selama ini dari Aryan, bisa membuat Risti sedikit bersimpati dan menarik kembali keputusannya.
"Setelah cerai sama Mama, Papa sering banget menyiksaku. Aku bahkan pernah dikurung dua hari penuh di dalam kamar mandi hanya karena nilai bahasa Inggrisku tidak mencapai angka seratus. Saat aku hanya dapat rangking dua di sekolah, Papa nyuruh aku berendam semalaman di dalam kolam renang. Papa bahkan tak segan memukuliku de—" Tarikan napas Sahal jadi jeda. Kenangan itu adalah kenangan paling buruk yang pernah ia alami, sehingga untuk mengatakannya saja Sahal seperti merasakan sakitnya kembali. "Sudahlah ...."
Sahal tak melanjutkan kalimatnya. Akan sangat percuma memberi tahu orang lain tentang kondisinya. Siapa pun, Sahal pikir tidak akan ada yang bisa memahami posisinya. Bahkan jika ia harus menunjukkan banyak bekas luka di tubuhnya, Risti tidak akan pernah memercayainya.
Sahal tidak berkata apa-apa lagi. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya tumpah—yang langsung ia hapus dengan cepat. Tertatih, laki-laki itu bangkit. Berjalan menuju lemari bajunya. Baginya, memang tidak ada lagi tempatnya di rumah itu, juga—barangkali—di hati Risti, ibunya.
Di tempatnya, Risti membisu. Antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang Sahal paparkan. Namun, jika mengingat alasan kenapa ia berpisah dengan Aryan, hati Risti sedikitnya membenarkan.
Akan tetapi, tak ada yang bisa Risti lakukan. Wanita itu hanya mematung di tempatnya. Memperhatikan Sahal yang kini mulai memasukkan satu per satu pakaiannya ke dalam koper.
"Aku lupa." Sahal menghentikan pergerakannya. Ia kembali berbalik, menatap Risti dengan air mata yang lagi-lagi meluncur dari matanya. "Aku datang ke sini tanpa membawa apa pun. Harusnya semua pakaianku adalah milik Virga. Jadi, aku akan pergi tanpa membawa apa pun juga."
"Siapa yang akan pergi?"
Suara berat di ambang pintu sana, mengalihkan seluruh tatap. Roman berjalan menghampiri Sahal. Memberi pelukan singkat sebelum berujar, "Papa bakal pastiin kalau Virga minta maaf sama kamu." Ditepuk-tepuknya punggung Sahal dengan pelan. Ia menyayangi Sahal sebagaimana ia menyayangi Risti. Jadi, saat kedua anaknya berkelahi, Roman tidak mungkin menyudutkan salah satunya.
"Mas, kesalahan Sahal kali ini mungkin enggak bisa dimaafkan." Risti berujar, air matanya menetes.
"Anak cowok berkelahi itu hal biasa, Ris. Kadang seperti itulah mereka menyelesaikan masalah. Anak-anak melakukan kesalahan juga adalah hal yang wajar. Mereka tidak harus selalu menjadi anak baik. Mereka tidak harus selalu menjadi sesuatu yang sempurna."
Beberapa sekon setelah Roman mengatakan hal itu, keadaan jadi lebih hening. Sampai kemudian, Risti bangkit, berjalan ke arah Sahal dan memeluk sosok yang kini lebih tinggi darinya itu dengan erat.
"Maafin Mama, Sahal."
Bandung, 29 Januari 2021
....
Pengen disemangatin atuh (ó﹏ò。)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top