13 | Khawatir Terluka

SKETCHBOOK gue sebelumnya  sebenarnya masih banyak yang kosong. Tapi, gue menjatuhkannya di suatu tempat." Selagi tangannya memilah-milih sketchbook di hadapannya, Virga berujar.

"Udah lo coba cari dulu?" tanya Nura tanpa ingin mengalihkan tatap dari laki-laki idamannya. Begitu menikmati tiap gerak-gerik Virga yang selalu tampak menawan dalam pandangannya.

"Udah, tapi enggak ketemu. Harusnya sih di rumah. Yaudahlah, gue beli baru aja."

Nura tersenyum tipis. Ia baru saja pulang setelah pergi bersama Sahal saat Virga mengirimnya pesan dan meminta antar ke toko buku malam ini. Tak mengindahkan kata-kata Sahal sebelumnya, Nura mengiyakan ajakan Virga. Lagi, siapa yang mau merelakan waktu bersama orang yang dicintainya begitu saja.

"Oya, gue udah bilang ke Sahal soal liput kehidupan dia buat Hansa Magazine." Nura kembali membuka suara setelah beberapa saat bungkam, membiarkan Virga fokus memilih barang yang hendak dibelinya.

"Terus dia bilang apa?"

Panjang, Nura menarik napas. "Harusnya, gue gak ngusulin ketua OSIS waktu itu." Lantas embus napas lelahnya mengudara.

Dengan beberapa sketchbook dan alat gambar di tangannya, Virga berjalan menuju kasir. Nura mengikutinya dari belakang. "Gue dari awal emang enggak setuju kalau yang ngisi majalah perdana kita itu Ketua OSIS."

Benar, Nura ingat kalau Virga yang terlihat tidak setuju dengan usulannya waktu itu.

"Antriannya panjang," keluh Virga melihat masih ada beberapa orang di depannya.

"Gue tunggu di luar aja, deh." Nura memutuskan kemudian. Setelah mendapat anggukan setuju dari Virga, ia melangkah menuju pintu keluar. Namun, ketika langkahnya nyaris sampai di tempat tujuan, ia merasa tangannya ditarik dengan keras. Seseorang kemudian menyudutkannya di salah satu rak buku.

"Andini?!" pekik Nura begitu melihat siapa orang yang baru saja menyeret dirinya.

"Lo lagi cari informasi tentang Sahal?" tanya Andini seraya mengempas kasar tangan Nura. "Gue tahu banyak tentang dia. Gue bisa kasih tau lo semuanya, tapi dengan satu syarat!" Andini maju selangkah, menatap tajam mata Nura dalam jarak yang begitu dekat. "Jauhi Virga!"

Kalimat terakhir yang Andini paparkan seketika membuat emosi Nura naik ke ubun-ubun. Dengan cukup kuat, ia mendorong tubuh Andini guna menjauh darinya. "Gue gak butuh bantuan buat itu." Jika Andini pikir ia bisa ditindas begitu saja, itu salah. Jika tidak ada Sahal, Nura bahkan berani menggertak guru-guru di sekolah Yara waktu itu. Apalagi jika itu hanya berhadapan dengan gadis seperti Andini.

Sebelum menghancurkan buku-buku yang ada, Nura berjalan meninggalkan tempatnya. Tanpa ada niat ingin menunggu Virga yang masih mengantri di kasir, Nura memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ia pikir, ia perlu menenangkan pikirannya saat ini. Terlebih, ketika ingatannya kembali ke kejadian beberapa jam yang lalu.

"LO kalau enggak suka makan pedes, ya bilang dong!" Nura menggerutu siang itu. Ia menyodorkan satu botol air mineral ke hadapan Sahal. Selagi menahan diri untuk tak tertawa melihat seberapa menderitanya laki-laki di hadapannya. Bibir Sahal bahkan tampak bengkak dan merah seperti pakai lipstik, di samping keringat bermunculan di sekitar wajah pucatnya.

Dalam satu gerakan, Sahal menyambar botol di tangan Nura dan meminum cairan di dalamnya hingga tinggal setengah. "Perut gue rasanya kayak kebakar," keluh Sahal seraya menekan area perutnya sendiri.

Nura terkekeh. "Apa gue panggil damkar ya?" canda Nura. Kali ini benar-benar tak tahan untuk tidak tertawa.

"Kalau gue diare, lo tanggung jawab."

"Yee, salah sendiri enggak bilang kalau enggak tahan sama makanan pedas."

Tadinya, Sahal pikir bahwa akan lebih baik jika ia memakan apa pun yang Nura traktir. Ia tidak tahu kalau lambungnya begitu payah untuk menerima makanan pedas. Lagi, mungkin Nura memang sengaja memilih level pedas paling tinggi untuk balas dendam sebab ia sudah mengacaukan rencana jalannya dengan Virga. Aish...

Melihat Sahal benar-benar tersiksa, tawa Nura berhenti. Ia mengusap-usap punggung Sahal kemudian. "Maaf, deh. Gue beneran enggak maksud bikin lo menderita gini," sesal Nura merasa bersalah.

Sahal tak merespon. Menciptakan hening di antara mereka.

"Sebenarnya, ada yang mau gue bicarain." Sampai kemudian Nura kembali bersuara, meretas keheningan yang sempat tercipta.

Melupakan rasa panas yang mencubit di area mulut dan juga lambungnya, Sahal menoleh ke arah Nura. Menatap sosok itu seintens mungkin.

"Soal Hansa Magazine yang anak-anak jurnalistik rencanakan ..." Jeda. Panjang, Nura menghirup udara positif di sekitar warung seblak yang ia dan Sahal kunjungi. Mencoba memantapkan hati, bersiap jika Sahal akan menolak mentah-mentah tawarannya. "... kami pengen liput soal kehidupan orang yang menginspirasi di SMA Hansa, dan itu tentang ketua OSIS. Lo, Sahal."

Sahal terdiam. Mencoba mencerna apa yang Nura paparkan dalam beberapa sekon. "Boleh ...," tukasnya seketika membuat mata Nura membulat tak percaya. "Tapi, jawab dulu pertanyaan gue."

"Apa?" tanya Nura semangat. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Sahal bisa menerima tawarannya dengan begitu mudah.

"Jawab jujur, lo suka sama Virga?"

"Hah? Maksud lo?" Nura balik tanya, tak paham dengan arah pertanyaan yang Sahal ajukan.

"Jawab dengan jujur, lo jatuh cinta sama Virga, kan?"

Tak lantas menjawab, Nura biarkan pandangannya terfokus ke arah gelang tali pemberian Yara di pergelangan tangan Sahal. Gelang yang sama, yang juga melingkar di pergelangan tangannya. Ragu, kemudian ia mengangguk malu-malu.

"Kalau gitu, enggak boleh. Kalau lo mau liput tentang kehidupan gue, jauhi Virga! Jangan jatuh cinta sama dia."

Setengah terkejut dengan keputusan labil Sahal, Nura menatap sosok itu dengan sorot tak percaya. Juga tak suka. "Lo pikir, semudah itu ya mengubah perasaan? Gue udah suka sama Virga bahkan sebelum gue kenal sama lo. Jadi, bagaimana bisa lo suruh gue enggak jatuh cinta sama orang yang sudah bertahun-tahun gue puja?"

"Lo bisa saja terluka karena perasaan lo itu."

Nura tidak paham apa maksud Sahal, tetapi ia benar-benar marah. "Lo boleh aja nolak tawaran gue, tapi lo enggak berhak larang gue jatuh cinta sama orang lain." Setelah berkata demikian, Nura bangkit. Meninggalkan Sahal yang hanya bisa menghela napas lelah. Merasa kalau caranya memberi tahu Nura kalau Virga tak setulus itu salah.

KEMBALI ke malam ini....

Sahal memejam. Perutnya perih. Sudah lebih dari enam kali juga ia keluar masuk toilet.

"Aashh!" Tangan Sahal meremas perutnya. Sudah hampir tiga jam berlalu, tapi lava di dalam lambungnya sana masih belum padam dan masih sangat menyiksa. 

Memilih untuk menggulung tubuhnya di atas tempat tidur, angan Sahal kemudian kembali ke kejadian sore tadi. Wajah marah Nura membuat perasaannya lebih tak tenang. Sahal tahu kalau ia salah sebab terkesan mengatur perasaan Nura. Namun, itu demi kebaikan Nura. Sungguh, Sahal tidak ingin Nura terluka. Terlebih setiap kali ingatannya tentang apa yang ia lihat tempo hari kembali terbayang. Ingatan kalau sebenarnya ...

Bandung, 23 Januari 2021


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top