11 | Mata-mata
"GUE mau gabung sama OSIS."
Melodi mendelik. Menatap Andini dengan penuh antipati. "Kita enggak lagi rekrut anggota baru, asal tahu aja!" Gadis berambut lurus sepinggang itu mendengkus, selagi tangannya sibuk membuka berkas-berkas berisi materi rapat yang hendak dimulai beberapa jam lagi.
"Kalau gue mau jadi anggota OSIS gimana?" Andini mengambil tempat di hadapan Melodi. Menatap Melodi dengan sinis. Beberapa anggota OSIS yang sudah siap untuk rapat, hanya menatap adegan itu dengan bingung. Tak ingin turut terlibat, sebab selain Sahal, Melodi juga punya kuasa penuh untuk memutuskan.
"Ya udah, tunggu tahun depan aja!" Kesal, Melodi menutup kembali map di hadapannya.
Andini berdecak bosan. "Oke!" tukasnya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Melodi guna membisikkan sesuatu. "Tapi, jangan salahin gue kalau besok Om Aryan tahu Sahal sekolah di sini," sambungnya mengancam.
"ANDINI! AWAS, YA, LO!" Tangan Melodi terkepal, selagi tubuhnya refleks bangkit berdiri. Aksi Melodi cukup membuat semua orang di ruangan OSIS itu terkejut. Gadis itu dikenal kalem dan anggun, tetapi kali ini benar-benar terlihat berbeda.
"Jadi gimana?" Andini turut bangkit, menantang tatap sengit yang Melodi sorotkan.
Panjang, Melodi menarik napas. Berusaha menguasai emosi kala sadar kalau seluruh pandang kini terarah padanya. Ia hendak mengutarakan sesuatu saat pintu ruangan terbuka. Sahal dengan laptop di tangannya berjalan masuk.
Sejak kemarin, Sahal tampak tidak sehat. Wajahnya pucat. Jaket yang dikenakannya pun berlapis-lapis, kebiasaan Sahal saat merasa tak enak badan. Melihat hal itu, Melodi dengan setengah hati akhirnya berujar, "Andini resmi jadi anggota OSIS hari ini."
Sebentar ekspresi Sahal berubah, tampak terkejut. Sebelum akhirnya kembali berubah datar. Tak ingin terlalu ambil peduli dengan keputusan yang Melodi buat, Sahal mengambil tempat di sisi Melodi, sementara itu Andini memposisikan diri di sisi Sahal. Membuat Sahal terapit kedua gadis cantik itu.
"Di proposal, Hansa Journalism ada rencana bikin majalah sekolah. Tapi, belum ada yang denger kapan mau terbit?" Sahal membuka rapat, selagi tangannya sibuk membuka beberapa file yang sudah Melodi siapkan untuk bahan rapat.
"Gue denger, sih, mereka lagi kumpulin materi." Melodi ingat dengan percakapannya dengan Nura kemarin. Tentu, ia tidak bisa memberi tahu Sahal kalau materi yang hendak mereka angkat itu mengenai dirinya.
Di samping Sahal, Andini mengikuti rapat dengan bosan. Ia sebenarnya enggan, tapi tugas dari Fedrik memaksa ia untuk masuk ke dalam organisasi inti di sekolah itu. Bahkan sampai rapat selesai, Andini hanya sibuk bermain ponsel. Ia tidak benar-benar peduli dengan rencana kegiatan festival sekolah yang Sahal dan anak-anak OSIS lainnya bahas.
SAHAL keluar dari ruang OSIS lebih dulu. Berdiri di sisi pintu, kemudian saat Andini melangkah melewatinya, ia menarik tangan gadis itu. Membawanya ke lorong sekolah yang lebih sepi.
"Sebenarnya apa maksud lo pindah sekolah ke sini?" tanya Sahal to the poin.
Andini menepis kasar tangan Sahal. Menatap Sahal dengan runcing. "Mata-matain lo," tukas si gadis.
"Buat apa?" tanya Sahal tak sabar. Sumpah, ia tidak mengerti kenapa Fedrik harus bertindak sejauh ini. Seharusnya, jika hanya ingin melaporkan ia kepada ayahnya, kakak dari ayahnya itu tidak harus menyuruh Andini memata-matainya.
"Enggak seru dong, kalau gue kasih tau ending-nya gimana. Jadi, mending lo ikutin aja skenarionya." Seringai Andini muncul.
Mendengar hal itu, tangan Sahal terkepal. "Apa pun itu, lo atau bokap lo, gue pastiin enggak bakal dapat apa-apa di akhir!"
"Kita lihat saja, siapa yang bakal jadi pemenangnya."
Sahal mendengkus. Ia hendak mengutarakan kalimat balasan saat netranya menangkap sosok Nura dan Virga berjalan ke arahnya.
"Virga?" Andini menyerukan nama itu, begitu Virga dan Nura berdiri di hadapannya dan Sahal. Lantas, ia melirik Nura. Melempar tatap underestimate andalannya ke arah gadis yang tak lebih tinggi darinya itu. "Lo jangan keseringan jalan sama cewek melarat, dong. Entar ketularan miskin lagi."
Begitu penghinaan itu terdengar, sumbu dalam dada Nura langsung saja tersulut. Ia hendak melabrak Andini seandainya Sahal tak menahan pergerakannya. Dalam satu jurus, laki-laki itu menarik Nura guna menjauhi Virga dan Andini.
Sebelum benar-benar pergi, Nura mendengar Virga mengatakan sesuatu. Kata-kata itu sesaat membuat ia melupakan penghinaan Andini. Lagi, untuk kesekian kalinya Virga berhasil menumbuhkan taman Bunga di hatinya.
"Justru harusnya gue gak deket-deket cewek kayak lo, An. Nanti kalau lo kena azab, gue kena imbasnya juga."
MELODI Hansa tengah sibuk memainkan ponselnya. Berusaha menghubungi Sahal yang tiba-tiba saja menghilang---padahal ada hal penting yang harus ia bicarakan---saat tubuhnya merasa menabrak sesuatu. Melupakan ponselnya, gadis bergigi kelinci itu kemudian menatap sosok tegap di hadapannya.
"Sorry ... gue enggak sengaja," tutur Melodi.
Senyum manis Virga tersemat begitu tahu siapa yang baru saja menabraknya. "Enggak masalah." Laki-laki itu mengambil sketch book yang baru saja jatuh di bawah kakinya. Lantas ia menatap gadis pujaannya itu dengan kening berkerut.
Gerak-gerik yang Melodi tunjukkan Membuat Virga bisa menebak apa yang sedang gadis itu pikirkan. "Lo nyari seseorang?" tanya Virga saat melihat netra Melodi bergerak liar ke sana-sini sementara ia ada di hadapannya. "Apa itu Sahal?" lanjutnya.
"Iya. Lo lihat dia?"
Benar tebakan gue, pikir Virga selagi dalam hati ia tersenyum miris. "Dia jalan sama Nura."
Jawaban yang Virga beri membuat tatap Melodi seketika terpusat penuh ke arah Virga. "Serius? Ke mana?" Kendati dalam hati ia berusaha menanam praduga positif, tetapi sorot mata penuh kecewanya tak bisa disembunyikan.
Virga mengangkat bahu. "Entahlah..."
Bandung, 21 Januari 2021
Semoga konsisten di sini sampai tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top