tymL || 9

Kok, kosong?

Aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan apartemen Goga, tetapi merasa begitu dingin. Tidak ada tanda-tanda ada orang di sini. Lagipula, biasanya Nenek bisa langsung aku lihat sedang menonton televisi atau membaca koran, majalah, apa pun yang aku yakin milik Goga. Pemilik apartemen juga aku lihat hanya diam sejak obrolan terakhir kami di dalam mobil tadi, bahkan kami berjalan hingga sampai ke sini pun tak saling mengucap kata sepatah pun. Sekarang dia membuka jaketnya, menyisakan kaos abu-abu polos, lalu dia berjalan ke area dapur.

Aku sebetulnya tidak ingin menjadi tamu yang tidak tahu etika, tetapi aku tidak melihat dia akan mempersilakanku duduk. Jadi persetan saja, aku mendudukkan diri dengan nyaman, menunggu dia kembali, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apa tugasku selanjutnya, apa pun.

Ah, itu dia sudah datang, membawa dua kaleng minuman soda yang terlihat berembun. Aku memperhatikannya lekat-lekat, mulai dari dia yang membungkuk dan menyodorkan satu kaleng untukku, hingga dia membawa bagiannya dan duduk menyandarkan punggung di sofa seberangku. Bunyi tutup kaleng dan desisan soda terdengar sebelum dia meneguknya beberapa kali dan menggenggam badang kaleng kecil itu, menatapku lekat-lekat.

Dia merajuk kah?

Berharap aku yang memulai percakapan?

Merayunya karena aku bekerja untuknya? Karena dia membayarku?

Atau dia berharap aku memperlakukannya sebagai orang yang aku kenal, sebagai kekasihku?

Apa yang sedang dia pikirkan dan rencanakan?

"Sekarang udah bisa belum buka minuman kaleng?" Pertanyaan itu seketika menyadarkanku dari lamunan yang cukup membuat tensi darah tinggi dan justru semakin meningkat setelah mendengarnya.

Ditambah melihat ekspresinya yang sok datar itu, aku makin-makin marah. Dengan super sewot, aku meraih minuman kaleng milikku, kemudian tanpa ketenangan, aku menarik tutup mungil yang penuh petaka itu. Tidak memperhitungkan seberapa dalam kuku dan ibu jariku masuk ke bawah tutup kecilnya, sekarang aku menjerit karena karena terasa seperti tertusuk besi sampai jantung.

Berlebihan, aku tahu hidupku penuh drama, tetapi aku berani jamin itu hanya ketika berhadapan dengan Goga. Yang seharusnya sudah berakhir. Kisah kami sudah tamat, tetapi malah bertemu lagi entah dengan tujuan apa.

Aku pura-pura tidak mendengar tawanya. Memilih untuk melengos sambil bersedekap, tetapi mataku tetap melirik dari ekor mata ketika dia mengambil minumanku dan seolah tanpa usaha pun kaleng itu terbuka. Desisan sodanya terdengar begitu menarik, entah kenapa. Goga tidak mengatakan keberhasilannya, dia hanya menyodorkan kaleng itu ke hadapanku lagi, kemudian sekarang dia bersedekap menatapku.

Seolah sikapnya tidak berefek apa pun, aku dengan percaya diri atau lebih tepatnya tanpa tahu malu mengambil minuman itu dan meneguknya brutal. Bahkan berniat untuk menghabiskannya supaya semua sele—holy moly! Sial sial sial! Ya Tuhanku, aku lupa kalau ini bukan air putih atau minuman-minuman cantik kekinian itu, tetapi ini soda. Sekali lagi, Eila, ini SODA. Aku menutup mulut susah payah hingga rasanya seluruh organ di wajahku panas. Hidung dan mata yang paling parah karena aku menahan sendawa.

"Eila!"

Aku menyempatkan diri melihat Goga yang berdiri dan menghampiriku, kemudian dia membantuku yang sekarang membungkuk sambil terbatuk-batuk, beberapa sisa minuman di mulutku sudah keluar. Ada yang lewat hidung juga keluarnya. Aku sudah siap menangis kencang kalau tidak ingat status hubungan kami yang sama sekali tidak layak ini. Apalagi tangannya yang sekarang menepuk-nepuk pelan punggung dan memijat leherku. Aku tidak tahu itu berfungsi atau tidak, tetapi menuduhnya memanfaatkan keadaan pun rasanya begitu culas.

"Udah tahu itu soda malah—"

"Nggak usah nyalahin!" Aku mengibaskan tangannya kencang dan menjauh dari dirinya. Kami bertukar tempat duduk.

Dia tidak menjawab lagi, aku melihatnya berdiri dan berjalan kembali ke arah dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih dan beberapa lembar tisu. "Yang ini boleh lo minum sekali tenggak," ucapnya pelan dan terdengar begitu menyebalkan.

Aku memilih mengunci mulut, menerima gelas darinya dan meneguknya benar-benar hingga tandas. Aku menaikkan alis ketika menatapnya dan melihatnya melongo, tetapi kemudian menggeleng-geleng sambil mengambil tempat duduk.

"Masih panas nggak?"

Aku memutar bola mata. "Kalau lo bisa jadi orang bener, harusnya nggak ada kejadian kayak tadi." Alisnya menukik, aku melanjutkan "Nenek lo mana? Lo bohongin gue, kan? Nenek lo nggak ada tuh, pasti udah balik ke kampung, kan? Terus lo tetep bawa gue ke sini buat apa? Gue tanya coba, buat apa?"

"Kan, gue udah bayar lo lunas. Emang lo belum dikasih fee sama admin atau bos lo? Atau bayarannya nunggu kerja samanya berakhir?" Okay, aku tidak tahu ini. Belum ada report juga dari Dira. Kali ini aku diam. "Lagian nggak ada keterangan di perjanjian kalau Nenek nggak ada, terus lo libur, kan?"

"Ga?" Aku menatapnya tak habis pikir. "Ya terus kalau nggak ada Nenek lo—maksud gue gini, lho!" Aku mengembuskan napas kasar. "Gue nggak bilang kalau nggak ada Nenek lo, gue libur dan makan gaji buta. Tapi terus gue ngapain di sini? Sementara tugas gue, kan, pura-pura jadi pacar lo, terus lo kenalin—"

"Nah itu!" Dia menunjukku sambil tubuhnya bersandar, santai. "Tugas lo, kan, pura-pura jadi pacar gue. Yaudah, sekarang lo bisa jalanin tugas lo juga. Coba, gue mau lihat seprofesional apa lo sama kerjaan lo yang katanya lo passion banget ini."

Puluhan kosa kata buruk menari-nari di kepalaku. Parameter amarah juga rasanya siap meledak di samping telingaku tetapi aku tetap berusaha tersenyum menatapnya. Dia pikir dia siapa? Dosen penguji? Kepala tim yang siap mengevaluasi masa probation seseorang? Aku ingin berteriak di depan wajahnya, tetapi seketika lampu kreativitas menyala di kepala. Senyumku mengembang, aku mengangkat dagu. "Menurut lo tadi yang gue lakuin apa?"

Wajahnya yang tadinya semringah menyebalkan, sekarang mengernyit kebingungan.

"Lo, kan, sukanya provide apa pun tuh kalau jadi pacar. Maunya dilibatin, dibutuhin, direpotin, dianggap ada, semuanya deh yang bikin jiwa maskulin lo menari-nari. Tugas gue wujudin itu, kan, sebagai pacar? Pacar pura-pura. Nyuntik ego lo. Dengan jadi pacar yang nggak nyusahin, banyak nggak bisanya."

Rahangnya mengetat, tetapi mulutnya tak mengatakan apa pun.

Aku tersenyum makin lebar. "Menurut lo, ada gitu manusia normal yang nggak berkembang, Ga? Apalagi itu cuma kaleng soda. Seupil, Ga! Nggak ada seujung kuku sama masalah hidup. Gue nggak lagi disuruh bangun candi. Jadi mana mungkin buka tutup kaleng botol aja gue nggak bisa setelah sekian abad. Dan berhasil, kan? Jiwa maskulin lo terpancing, ego lo terpenuhi karena menurut lo gue butuh lo cuma sesimpel buka tutup kaleng minuman." Aku tahu dia marah banget sekarang hanya dari sorot matanya yang tak lepas dariku itu. Tetapi aku tidak boleh gentar, dia sudah bukan siapa-siapaku lagi. "Jadi kalau mau lanjut berperan jadi pacar pura-pura lo meski lagi nggak ada Nenek, gue sebenernya nggak masalah. Justru harusnya gue yang tanya, lo baik-baik aja, nggak? Nanti nggak bisa nahan diri? Nanti baper karena cuma berdua?"

Stop aku sekarang, Ga, buat mulutku berhenti mengoceh kalau kamu tidak ingin mendengar kalimatku lainnya yang mungkin akan semakin merendahkanmu. Aku tidak peduli bagaimana sakitku dulu denganmu dan teman-temanmu, tetapi sebetulnya aku sudah tidak ingin memiliki perasaan negatif, membenci seseorang, dendam dengan seseorang. Jadi, tolong stop mulutku memproduksi kalimat-kalimat serangan untukmu.

"Wow," ucapnya penuh semangat sambil bertepuk tangan. "Bener-bener ikut bangga jadi bagian di hidup lo dulu yang mungkin sedikit banyak jadi alasan lo memperbaiki diri, Ei. Usaha lo buat keliatan jadi cewek tegas, pengen kelihatan heartless dan strong kayaknya ya? Ya lumayan lah."

"Fuck you!" Menyesal aku sempat menatapnya iba dan mengemis dalam hati agar dia menghentikanku untuk menyerangnya lewat kata-kata. Dia memang membuatku berhenti, tetapi aku tidak memintanya untuk balas menyerangku dengan kejam. "Fuck you. Fuck you. Fuck you forever." Aku meraih tas dan berdiri, sekali lagi mengacungkan jari tengah, kemudian melangkah dengan mengentakkan kaki berharap gempa bumi sekalian.

"Gue akan komplain dan minta ganti rugi yang lo sendiri nggak akan bisa bayar pakai harta yang lo punya, kalau sekarang lo pulang sebelum jam kerja lo berakhir."

Aku benar-benar menganga dan kakiku otomatis berhenti melangkah. Lalu berbalik, menatap manusia yang entah gimana dulu bisa aku gantungkan hidupku padanya. 



---

YA ALLAH KOK BISA AKU LUPA SAMA COUPLE BARU FAV AKU INIIIII! yang mau baca cepet bisa di KK yaaa, udah ada bab 15, muach!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top