tymL || 8
"Serius gue bau nggak, Sha? Lo dari tadi melongo mulu ih!"
Aku tidak berlebihan kali ini. Dia benar-benar kehilangan separuh kesadaran meski matanya melek. Informasi tentang kembalinya lagi Goga di kehidupanku—tunggu dulu, aku tidak terima dengan kosa kata pilihanku sendiri, bukan kembali di kehidupanku karena itu terdengar seolah kami kembali menjalin hubungan. Yang tepat adalah dia muncul lagi di hidupku. Nah, bukan cuma munculnya Goga yang bikin Sasha seperti orang linglung karena tak mampu mencerna dengan logika, tapi bagian aku bekerja sama sebagai pacar pura-puranya. Selama satu minggu pula untuk bertemu Neneknya.
Menurut Sasha, mau dipikir pakai logika bagaimana pun dan siapa pun, ini aneh. Dia bahkan terang-terangan menyebutku sembrono karena sudah sepatutnya aku menghindar sejak awal, menolak kerja sama ini, sebelum terjadi sesuatu.
Sayang sekali, aku bercerita padanya di saat prosesnya sudah berjalan alias terlambat juga nasihatnya muncul. Kalau sudah begini, aku pun hanya bisa memintanya bantu berdoa agar aku selamat sampai akhir perjanjian. Kalaupun ada yang harus ada dalam masalah setelah pertemuan kembali kami ini, biar Goga saja. Bukan jahat, tetapi dia terlihat lebih tegar dan mampu menghadapinya dibanding aku.
"Gue kangen banget sama lo, Ei."
"Gue udah usaha tapi nggak pernah berhasil."
"Tidak tidak tidak tidak!" ucapku penuh drama sembari memukuli kepalaku sendiri karena membayangkan kemungkinan-kemungkinan tak penting itu. "Terserah, berhasil atau gagal usahanya, itu urusan dia. Gue udah nggak perlu lagi galau-galau kayak dulu. Perjalanan gue udah jauh dan ngapain pula harus ngulang dari awal karena dia. Dia siapaaa?"
"There you go!" teriak Sasha sambil duduk santai menyilangkan kaki di pinggir kasur. "Belum apa-apa aja lo udah mulai sinting, gimana kelar seminggu nanti. Dulu gue beneran bahas keajaiban ini sama Malik nyaris tiap malem mau tidur sampe dia bete karena kayak nggak ada hal lain di kehidupan gue selain kisah lo. Saking apa? Saking nggak percayanya gue dua manusia yang saling bucin ngalahin anak SD beneran putus."
Aku meliriknya tajam. "Ya lo tahu lah alasannya kali itu nggak bisa ditoleransi. Mau jadi apa gue dan anak gue kalau bapaknya aja normalisasi pelecehan seksual gitu. Kalau sebelum-sebelumnya, kan, cuma karena berantem-berantem kecil, Sha. Lo kayak nggak pernah aja sih sama Malik."
"Emang nggak pernah ya gue main-mainin hubungan, gampang banget minta putus."
"Ya karena Malik anteng orangnya! Ibaratnya lo kasih cemilan juga dia nggak nyariin lo sebulan. Lah Goga lo tahu sendiri, lo aja bete karena dia nge-chat lo terus kalau gue nggak bales chat dia, kan?"
Dia menggaruk kepala. Tidak membantah lagi karena apa yang aku katakan adalah fakta. Jadi, dia tidak berhak menyalahkanku atas hubunganku dengan Goga. dimulai ataupun berakhirnya dulu. Menurutku .... Yasudah, semuanya sudah terjadi dan mungkin memang harus terjadi demi pembelajaran. Sekarang tinggal melanjutkan hidup masing-masing.
Sial, melanjutkan hidup tetapi masih bersinggungan.
Sekali lagi, aku menatap pantulan diriku di cermin Sasha dengan pakaiannya juga. Dia bilang aku masih tetap wangi tetapi dia juga menyarankan agar aku meminjam pakaiannya demi lebih kelihatan fresh karena akan bertemu dengan Neneknya Goga. Perempuan ini memang aneh. Dia tidak setuju dengan kerja samaku bersama Goga, tetapi kenapa dia malah akting seolah ingin aku tidak melakukan kesalahan.
"Ini dia jemput lo ke mana pun termasuk di dalam perjanjian, Ei?"
Aku tertawa sambil mencatok rambut. "Enggak, gue ngerjain dia."
"Siapa lo sampe ngerasa boleh ngerjain dia?"
Aku mengacungkan catokan panas ini padanya. "Pengen tahu sensasinya bibir lo gue lurusin?"
Sasha terbahak-bahak, kemudian mengibaskan tangan. "Tapi lo jangan jahat-jahat lah, Ei. Lo udah bener, apa yang lo lakuin dulu juga udah bener, kasih mereka pelajaran juga udah bener banget. Sekarang, maksud gue, kalau emang lo masih benci, menghindar aja, tinggalin, nggak usah nyusahin diri dengan balas dendam atau apa."
Aku melanjutkan proses mencatok yang tinggal sebelah kiri. "Gue nggak berniat balas dendam kok, Sha. Nggak ada tenaga juga, meski hidup gue gabut tapi lo tahu tenaga gue nggak banyak."
"Terus acara penjemputan ini?"
Aku meringis. "Nggak ada niat sumpah, nggak tahu kenapa tadi refleks aja bilang gitu. Nggak nyangka juga kalau dia emang kebetulan ke arah sini."
"Yakin lo kebetulan?"
Aku terdiam beberapa saat sebelum berkata ragu. "Goga bohong nggak ya, Sha? Dia beneran sekalian ada urusan atau emang mau jauh-jauh ke sini jemput gue?"
"Ya kalau lihat apa yang dia bilang ke elo sih menurut gue jawabannya yang kedua."
"Tapi kenapa?"
Sasha memutar bola mata. "Kenapa apanya sih nih anak! Ya dia aja terang-terangan bilang kangen! Berarti dia masih ada rasa sama lo! Gagal move on tuh anak! Apalagi selama kalian putus dia belum punya pacar, kan?"
"Siapa bilang?" Aku mencabut kabel catokan, menyingkirkan agar tak tersenggol tangan, lalu menatap Sasha serius. "Yang ini gue nggak tahu dan nggak penting juga nggak sih kita cari tahu?"
"Bener."
"Jadi yaudah terserah. Kayaknya nggak mungkin deh dia tahan jomblo selama itu."
"Lah lo tahan tuh!"
"Ya beda lah!" Anak ini benar-benar tak tertolong dalam memojokkanku. Sangat totalitas. "Gue, kan, emang anak rumahan, kuper, nggak kayak dia yang kenal sama semua manusia di muka bumi ini."
"Atau sebenernya lo juga tuh belum move on, Ei?"
"Sssttt!"
Sasha nyengir lebar. "Soalnya gue kenalin juga lo nggak mau mulu, ada aja alesannya heran gue. Dikenalin Malik juga sama. Yang ketuaan lah, yang terlalu diem lah, yang terlalu pamer lah, yang terlalu ngatur lah, yang belum apa-apa udah cemburuan lah. Padahal lo juga pengalaman sama cowok cemburuan."
Aku sudah siap mendamprat Sasha, tetapi terhalang dengan nyaringnya dering telepon. Yang sejak tadi dibahas muncul sebagai penelepon dan aku menunjukkannya pada Sasha. Kami sama-sama tertawa, Sasha juga komen "Panas tuh kupingnya."
Aku berdeham dulu sebelum mengangkat teleponnya. "Halo?"
"Gue udah di depan sesuai maps sih, tapi nggak tahu bener atau nggak."
"Pager item, kan?"
"Semua rumahnya pager item, Ei."
"Oopps, baiklah, Sasha ke depan sekarang. Lo kangen nggak sama dia?"
"Kangennya sama lo."
Aku memutar bola mata, tetapi memilih untuk tidak merespons. "Apa?" tanyaku pada Sasha yang menatap seolah siap menelanku.
"Ngapa gue yang keluar?"
"Ya, kan, gue belum siap. Mastiin aja dia nggak salah rumah, abis tuh suruh duduk di teras, lo tinggal kek. Biarin aja."
"Ryan masih di bawah, kan?"
"Oiya. Yaudah suruh Ryan aja yang ke depan." Aku baru mau menelepon Ryan, tetapi kemudian ganti rencana. "Ah udah deh, gue aja, sekalian berangkat langsung. Bentar." Aku merapikan rambut sekali lagi, menyemprot parfum, dan merapikan pakaian, sebelum akhirnya meraih tas dan melenggang dari kamar Sasha.
Dia mengikutiku turun ke bawah, bahkan aku melihatnya berusaha mengintip dari jendela di saat aku sedang memberi instruksi pada Ryan untuk nanti menjemputku di apartemen Goga.
"Kelihatan nggak?" bisikku.
"Mobilnya doang. Kirain naik motor kayak dulu, udah beli mobil doi sekarang."
Aku menoyor kepalanya. "Lo tahu, kan, gue suka banget naik motor sama dia." Sebelum Sasha kembali dengan serangannya, aku berteriak panik. "Dulu! Ya Allah, duluuuu! Sampai lupa ngasih keterangan waktu yang justru penting banget. Dulu, Sha, duluuuu!" Aku melambaikan tangan padanya yang memandangku ngeri, kemudian memberinya ciuman jauh.
Dia benar-benar masih hebat dalam membaca maps, sejak dulu. Tiba-tiba sudah sampai di sini, tepat di depan rumah Sasha. Aku langsung membuka pintu mobil dan tersenyum lebar sambil menyapanya. Harus profesional, harus terlihat bahagia, karena Nenek-Nenek tidak akan memahami apa itu bad mood. Beres dengan sabuk pengaman, aku menoleh pada Goga yang tidak bersuara sama sekali dan tatapan kami seketika bertemu. Aku menelan ludah karena tatapan itu terasa ... tidak mungkin tidak familiar karena aku menatap matanya nyaris setiap hari, dulu. "Nunggu apa lagi?" Aku menyelamatkan kami berdua.
"Parfum lo nggak pernah ganti ya dari dulu?" Pertanyaan dadakan yang super aneh.
Aku tergelak. "Karena gue emang setia. Rugi deh lo intinya kehilangan gue."
"Siapa juga yang dengan sengaja mau kehilangan lo, Ei. Lo yang ninggalin gue."
"Serius? Ke pembahasan ini aja nggak ada abisnya? Lo emang nggak akan mau salah sih, Ga."
"Gue emang nggak salah, yang salah temen-temen gue."
Aku memutar bola mata. "Apa kita batalin aja ini hari ini?"
Dia tak menjawab lagi, mulai menjalankan mobil dan kali itu perjalanan kami sampai ke apartemennya berjalan dengan hening. Hening dari suara kami berdua, hanya ada lagu-lagu dari playlist-nya yang syukurnya random, bukan lagu pilihan patah hati seperti waktu itu.
---
yang mau baca bab cepet, bisa ke karyakarsa yaaa. ujan beberapa hari, sekarang panas bamget lagii😫😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top