tymL || 6
"Mau ke mana, Ei?"
Aku memejamkan mata tepat setelah kakiku refleks berhenti melangkah. Benar-benar tak perlu diragukan kalau Erlangga dan Mama adalah anak dan ibu. Karakter mereka sama. Pemilihan katanya sama. Bagaimana pola pikirnya sejalan. Bagaimana mereka memandang sesuatu juga seirama.
Kalau ada penghargaan hubungan paling harmonis antara anak laki-laki dengan ibu, aku yakin mereka akan menang telak.
Setelah mengembuskan napas panjang, aku berbalik. "Mau ke rumah Sasha."
"Bukannya kemarin baru dari sana?"
"So?"
"Dia udah nikah, Ei. Kamu nggak bisa samain hubungan kalian kayak dia masih gadis. Dia punya kehidupan lain yang perlu diurus."
"Aku juga bisa punya kehidupan lain kalau Mama berhenti merasa kehidupanku milik Mama." Aku berusaha tidak tersulut emosi, memasang senyum sebaik mungkin. "Mama bisa nyelametin Sasha dari gangguan random-ku kalau Mama lepas tangan dan biarin aku menjalani hidupku sendiri. Tapi nggak bisa, kan?"
Tapi ini Mama.
Kalau tadi aku merasa usahaku untuk tetap tenang berhasil—dengan nilai memuaskan; parameternya dari nada bicara dan ekspresiku, maka Mama tetaplah pemenangnya. Dia adalah manusia terbaik dalam mengelola emosinya, aku akui itu. Dia mematahkan stereotip bahwa perempuan selalu mengedepankan perasaan ketimbang logika. Tak terhitung sebanyak apa pun dan sekeras apa pun usahaku untuk melawannya, dia tetap berdiri tenang, tersenyum, tetapi tetap menghancurkanku.
Siapa pun tidak akan percaya kalau aku tersiksa di sini.
Bahkan Mama sendiri tidak mempercayai itu.
"Telepon dulu Sasha-nya, tanya dia lagi ngapain, ada suaminya atau enggak. Nggak peduli sedeket apa pun hubungan kita sama temen, tapi jangan pernah main ke rumahnya tanpa ngabarin dulu. Apalagi dia udah nikah."
Aku tergelak mendengar kalimat demi kalimatnya. "Ma, what's wrong with you? Sasha temenku dari lama, kami bukan baru kenal kemarin, dan Mama nasihatin aku gimana caranya aku nemuin dia?"
"Bukan soal—"
Aku mengibaskan tangan sembari mencari handphone dari dalam tas dan membuka WhatsApp demi bisa menemukan isi percakapanku dengan Sasha. Dengan malas, aku menunjukkan pada Mama, yang merasa paling tahu seisi dunia. Seolah dunia berputar atas izinnya. "Udah? Puas? Aku mungkin nggak ngerti dunia luar sebaik mereka yang hidupnya bebas, dipercaya sama keluarganya sendiri, tapi bukan berarti aku nggak tahu adab. Kalaupun ada beberapa hal yang nggak bisa aku dapetin atau pelajari lewat contoh Mama dan Kakak, aku bisa dapetin itu luar sana. Atau paling buruknya ..." Aku mengangkat handphone-ku. "Lewat internet. Jadi kalau cuma gimana adab bertamu meski ke sahabat sendiri, aku tahu, Ma."
Mama tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepala. "Kalau hidupmu dikekang kayak gimana interpretasimu tadi, Nak, kamu bahkan nggak akan dapet kesempatan belajar dari luar atau internet." Dia menepuk pundakku dan berbisik sebelum melenggang pergi. "Pergi sama Ryan, bilang Ryan buat selalu aktifin hape-nya dan hati-hati di jalan."
Aku mengepalkan tangan dan menahan napas beberapa saat.
Kemudian menepuk-nepuk pipiku agar tidak ada kerutan amarah. Aku tidak ingin menjalani hari-hari dengan perasaan buruk. Hidupku sudah tidak terlalu manis, aku tidak mau menjalaninya dengan terpaksa pula. Akan aku memaksimalkan hal-hal yang ada dengan bahagia. Termasuk kesempatanku bertemu Sasha. Salah satu keajaiban yang aku miliki di dalam hidupku.
"Yan, tolong beliin cromboloni dong sama es latte-nya, ya. Buat aku sama Sasha. Eh beli berapa gitu deh, buat Mbak-nya Sasha juga. Satu."
"Mbaknya Mbak Sasha masih satu, kan?
"Iya."
"Mas Maliknya ada juga?"
"Enggak ada. Sama kamu juga jangan lupa diitung."
Dia tersenyum dan menggeleng. "Saya es americano aja, cromboloni-nya nggak ikutan."
"Kenapa?"
"Lagi nguragin gula."
Aku memutar bola mata sembari mencari-cari card holder di dalam tas. Lalu menyodorkan satu debit untuknya. "Nggak ada cash."
"Memang selalu nggak ada," katanya tanpa ragu yang mengundang gelak tawaku. "Mbak Eila yakin mau nunggu di dalam mobil?"
"Yep."
"Hati-hati, ya!" Dia yang mengucapkan itu padahal dia yang keluar dari mobil. Benar-benar di luar nalar.
Setelah melihatnya tenggelam dari pintu cafe itu, aku tertawa sendiri mengingat beberapa orang tidak pernah bisa mengerti bagaimana rasa sayangku pada Ryan. Salah satu manusia yang paling aku percaya di muka bumi ini, sejak dulu. Orang-orang bilang aku berlebihan apalagi sampai Ryan tahu pin debit dan dengan leluasa melakukan pembayaran menggunakan kartuku—padahal memang pesananku. Jawabanku selalu sama; kalaupun Ryan mau mengambil uang dari rekening itu, maka biarlah, ambil semaunya.
Itu uang Mama.
Lagian, kalaupun itu uangku sendiri, aku rasa tidak masalah untuk memberinya. Dia mendedikasikan hidupnya untukku.
Aku menyelesaikan satu chapter novel romantis yang aku baca secara digital saat Ryan kembali. Mungkin menurutmu dia terlalu cepat, padahal kenyataanya aku yang jadi pembaca sangat lambat. Aku membaca, memaknai, membayangkan, dan bahkan mengulang tiap kalimat, kadang tiap kata. Memasukkan kindle ke dalam tas, aku kembali fokus pada Ryan saat mobil sudah mulai melanjutkan perjalanan. Aku memang suka membaca—karena merasa tidak banyak kegiatan lain juga yang bisa aku lakukan—tetapi kalau dibandingkan dengan ngobrol bersama Ryan, jelas aku pilih yang kedua.
"Mbak Eila dulu beneran belum pernah dikenalin sama keluarganya Mas Goga, ya?"
"Belum!" jawabku menggebu, spontan, dan aku bertanya-tanya kenapa reaksiku begitu. Ryan hanya tertawa. "Gila, ya, dulu bego banget aku! It's a BIG red flag nggak sih kalau cowok nggak pernah ngenalin kita ke keluarganya even online?"
"Saya mau bilang kalau tiap orang punya alasan masing-masing, tapi buat yang satu ini sih memang agak aneh."
"I know right?!" Sudah tahu, kan, kenapa aku akan menjadi garda terdepan menyayangi dan melindungi Ryan? "Kita pacaran juga bukan yang cuma sebulan dua bulan, lho! Dua tahun coba, tapi dulu begonya kok aku nggak pernah nuntut apa-apa, ya? Waktu dia bilang keluarganya di Jawa semua, aku iya-iya aja lagi. Percaya banget, padahal kalau emang dia serius, pasti usaha lah ngenalin kita, video call kek, tukeran WA sama salah satu keluarganya kek."
"Tapi dia beneran cuma sendiri ya, Mbak, di sini?"
"Dulu sih dia bilang iya, tapi nggak tahu, ya. Emang cinta itu bikin tolol, Yan, udah paling bener jauh-jauhin deh pacaran-pacaran nggak jelas. Tunggu sampai siap nikah, terus kalau ada yang deketin langsung aja tembak; lo mau nikahin gue atau cuma main-main?"
Ryan tertawa di depan sana. "Tapi waktu itu ada yang mau nikahin, Mbaknya tantrum sambil ngomel dikira zaman apa main diminta-mita ke Mama tanpa tanya aku mau apa enggak." Dia mengikuti kalimatku dan aku tak bisa menahan gelak tawa.
"Ya ... makanya syaratnya emang tetep harus yang kita mau. Tipe kita, gitu lho, Yan."
"Oh gitu, ya," lirihnya dengan cengiran di wajah, aku melihatnya dari cermin.
"Tapi lo tahu nggak, sih, Yan, kalau Goga tuh, di kampung halamannya, beneran jauh lebih desa daripada tempat aku KKN dulu! Kamu masih inget nggak tempat KKN-ku?"
"Masih dong."
Aku tertawa geli. "Kalau udah lupa sih kebangetan, ada cinta di sana, ya kan?" Melihat kepalanya menggeleng-geleng, aku semakin terbahak. Dulu, saat Ryan membantuku hidup di tempat KKN, ada anak dari salah satu warga yang naksir dia, tetapi ini Ryan, yang mengklaim dirinya belum memikirkan hal-hal tentang percintaan. Sayang sekali, padahal pasti akan lucu kalau dia pulang membawa seseorang spesial.
Sementara aku ... pulang KKN malah drama karena melihat isi grup sampah Goga dan teman-temannya. Mungkin aku harus bersyukur sih, semakin cepat tahu, semakin baik.
"Kenapa tadi sama kampung halamannya Mas Goga?"
"Kamu tahu? Dia masih BAB-nya di kali!"
"Masa sih, Mbak? Kayaknya nggak mungkin deh, kan, udah banyak program WC apa itu nama programnya dari pemerintah, dibangunin WC tiap rumah gitu. Kayaknya ada deh atau ya paling enggak dibangunin WC umum."
"Nah iya kaan? Tapi ini yang bilang Neneknya. Maksudku, okay, aku nggak berhak sok tahu gimana kehidupan semua orang di luaran sana. Kita bisa ngoceh abcd di saat kita hidup tercukupi di kota, tapi kita nggak tahu apa-apa. Tapi maksudku, Goga, ini Goga, lho, bayangin dia BAB di kali—" Seketika aku merapatkan mulut karena khawatir aku dan Ryan punya persepsi berbeda dari kalimatku tadi. "Maksudku ... kayak, dia kelihatan anak kota banget gitu, lho, bukannya mau gimana-gimana, tapi iya nggak sih menurutmu? Dia nggak keliatan kayak orang yang kesehariannya BAB di kali?"
Tawa Ryan lumayan lama sampai akhirnya dia bisa memberikan respon kata-kata. "Tapi mungkin dia emang orang yang hebat banget adaptasi, hebat dalam menempatkan diri. Di sini dan ketika di kampung halaman, dia bisa menyesuaikan."
"Iya juga sih." Jawaban Ryan sudah yang paling mentok dan aku rasa paling benar, tidak ada lagi perlawanan dariku sebagai bentuk dari penyangkalan. Aku mengangguk-angguk paham.
"Terus itu kerja samanya cuma sehari?"
"Kerja sama apa?"
"Mbak ketemu Neneknya Mas Goga kemarin karena kerja sama, kan? Atau ada perubahan di tengah jalan?"
"Stop there!" Aku terbahak-bahak. "Aku tahu apa yang kamu pikirin dan dengan yakin aku jawab, itu kerja sama. Tadi aku cuma nggak nyambung aja sama pertanyaanmu. Kerja samanya seminggu."
"Tiap hari?"
Aku meringis. "Yep, nanti malem aku ketemu dia lagi. Aduh, hidup gini banget deh, Yan. Mimpi apa gue tiba-tiba ketemu dia lagi. Padahal harapanku tuh udah deh soal cinta-cintaan yang nggak bener, maunya ketemu sama Abimana gitu atau yang mirip dia dan nikah."
Ryan tertawa pelan. "Ya mungkin Abimana di hidup Mbak Eila bernama Goga Abinawa."
"Ryan?"
"Ya?"
"Dapet banget lagi!" Aku tertawa kencang. "Kok bisa sih masih inget nama lengkapnya. Jangan bilang kamu masih berhubungan sama dia ya selama ini? Dan jangan bilang pertemuan ini hasil dari—"
"Maaf saya potong, Mbak, tapi saya bukan siapa-siapa, mana bisa saya ikut campur sama takdir Tuhan. Detik Mbak Eila hancur dan bilang buang semua ingatan tentang Mas Goga, detik itu juga saya nggak pernah berhubungan sama dia lagi."
Aku mendesah lega.
Jadi ... pertemuanku dan Goga ini beneran takdir Tuhan, ya?
Lalu, selanjutnya akan gimana?
Seolah langsung mendapatkan jawaban, handphone-ku berdenting dan satu pesan dari laki-laki itu muncul di notifikasi.
Nanti malem gue jemput jam berapa, Ei?
Jemput dia bilang?
Bahkan saat kami masih berhubungan dulu pun, aku tidak pernah mengizinkannya menjemputku di ru—wait a second, aku baru saja mengakui kalau kami ini sama-sama anak ingusan dalam menjalani hubungan percintaan, bukan? Sama-sama sembunyi dari keluarga, tidak saling mengenalkan.
Persetan, apa yang diharapkan dari pemikiran bocah seperti kami dulu.
Nah, karena sekarang setidaknya kami sudah lebih dewasa, aku benar-benar berharap tidak ada hal-hal yang terjadi yang akan membuat kami dalam masalah. Jalani kerja sama ini dengan baik sampai waktu yang ditentukan, lalu kami melanjutkan hidup masing-masing seperti sebelumnya.
Kembali menjadi asing.
---
hai, hai, haiii! tetiba agustus udah mau berakhir cuyy, buset bumi cepet banget
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top