tymL || 5
"Kamu main sekitaran sini aja, Yan, ke mana kek terserah, makan, cari kafe buat ngopi, nanti aku kabari kalau aku udah selesai."
"Baik, Mbak."
Aku mengikuti Goga memasuki lobby gedung, terus berjalan hingga lift membawa kami ke lantai enam. Tak ada obrolan apa pun selama kami berada di dalam lift meski hanya berdua, sampai akhirnya ada satu-dua orang masuk dan keluar lagi, dan sekarang pun giliran kami, berjalan menelusuri lorong dan berhenti di depan pintu unitnya.
Dia tak langsung membuka pintu, berbalik dan menatapku. "Siap?"
Aku berdeham sambil merapikan rambut, blouse lengan panjang berbahan silk warna ivory dengan pita berfungsi layaknya dasi. Tak lupa aku juga memperhatikan high waist loose trousers dan merasa tidak ada yang salah. Memang tidak bisa menjamin karena tidak ada cermin untuk melihat bayanganku sendiri, tetapi tidak ada pilihan lain, aku mengandalkan mata dan perasaan.
Setelah mengucapkan kata 'sorry' dengan lirih, tangan Goga menyentuh rambutku—merapikan bagian bawah lebih tepatnya.
Aku tertawa pelan. "Berantakan, ya? Wait a second." Aku menggantikan tugasnya itu dengan jemariku sendiri, lalu tiba-tiba sebuah ide muncul. "Apa dikuncir aja, ya, biar rapi? Nenek-nenek, kan, suka yang simpel dan rapi gitu nggak sih? Menurutmu gimana, Sayang?"
"Apa?"
"Apanya?" Aku menatapnya bingung.
"Kamu tadi manggil aku apa?"
Holy moly! Aku baru menyadari beberapa detik lalu aku benar-benar lupa bahwa semua ini hanya sewaan. Kami harus profesional. Tetapi aku terbawa suasana yang menyebabkan tubuh dan pikiranku bertindak semaunya, karena terasa familiar, terasa tidak asing dengan kondisi ini. Kondisi bersamanya. Merapikan diri.
Tidak ingin suasana berubah canggung, aku tersenyum lebar dan menepuk lengannya pelan. "Okay, kan, akting gue? Dimulai sekarang aja, biar nanti pas udah di depan Nenek lo nggak keceplosan, biar beliau percaya kita beneran."
"Ah." Dia membuang muka sembari mengangguk-anggukan kepala. "Okay, okay."
"Jadi, menurut lo, bagusan dikuncir atau dibiarin aja?"
"Dikuncir lebih rapi."
Aku terkekeh sendiri. "Gue tahu lo pasti jawab itu." Setelah menemukan ikan rambut dari dalam tas, aku meminta bantuannya untuk membawakan tasku selama aku sedang berusaha mengikat rambut menggunakan feeling. Harus tetap serapi mungkin. Anggukan dari Goga membuatku yakin semuanya berjalan baik.
"Nek?"
"Lho, cepet banget?" Neneknya Goga berdiri dari sofa setelah mengecilkan volume televisi, kemudian menyambut kami. Dia melebarkan tangannya ke arahku dengan senyuman lebar. "Ini, ya? Akhirnya ... ketemu juga! Namanya siapa, Nak?"
"Eila, Nek." Rasanya masih aneh ada cucu yang memanggil neneknya dengan sebutan 'Nenek'. Maksudku, biasanya nenek digunakan sebagai kata ganti. Seperti Nenek-Nenek, Kakek-Kakek, dan sebagainya. Aku jarang sekali melihat orang sekitarku memanggil nenek mereka dengan sebutan 'Nenek'. "Nenek gimana kabarnya? Sehat?"
"Sehat, sehat, alhamdulillah. Sini, sini duduk."
"Eila bawain makanan, Nek, belum tahu Nenek sukanya apa, soalnya Goga bilangnya rahasia dan aku disuruh buat cari tahu sendiri langsung dari Nenek." Aku tertawa serapih mungkin, menyerahkan bingkisan untuknya yang disambut dengan suka cita, sebelum beliau letakkan di atas meja dulu.
"Nenek suka apa aja, nggak aneh-aneh." Duduknya bergeser mendekatiku, sementara Goga mengambil tempat terpisah dengan kami. Nenek mengelus pahaku dan menatapku dengan senyuman hangat. "Seusia sama Goga, ya?"
"Betul, Nek."
"Udah lama pacarannya sama Goga?"
Tidak ada briefing apa pun untuk yang ini, itu artinya Goga menyerahkan semuanya padaku, kan? Apa pun yang aku katakan hari ini, aku hanya perlu konsisten untuk satu minggu ke depan, sisanya dia yang akan handle sendiri. Seperti itulah kelihatannya perjanjian kami.
Aku balas tersenyum. "Sebenernya kita satu kampus, Nek. Dulu udah kenal, tapi ya kenal-kenal nama aja gitu. Terus kita punya temen yang saling kenal, jadi pernah ketemu lagi dan mulai deket. Jadi, pacarannya belum lama banget. Kalau udah lama dan aku masih belum dikenalin ke Nenek, aku bakalan marah dong ke Goga?"
"Nah bener itu!" Nenek menatap cucunya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia ini masih selalu ngira umur Nenek tuh sama kayak dia waktu SD. Padahal, selama dia aja tumbuh dewasa, artinya waktu Nenek juga makin habis, kan?"
"Nek ...." Cucunya memperingati.
Namun, Nenek terlihat tak peduli dan tatapannya masih fokus ke aku. Sekarang tangannya bahkan sudah menggenggam tanganku, beliau tepuk-tepuk pelan. "Punya keinginan nikah muda nggak?"
Aku terkejut, tentu saja, dalam hatiku berteriak kencang dengan pertanyaan aneh dan dadakan ini. Tetapi untungnya aku bisa mengatasinya, menyadari bahwa yang bertanya adalah nenek-nenek dengan pemikiran bahwa menikah muda itu hal biasa. Justru, mungkin seusiaku ini malah terlalu dewasa untuk seseorang yang belum menikah. Padahal ... umurku baru 23 tahun—okay, dua bulan lagi aku menginjak 24 tahun. Aku bahkan belum lama lulus kuliah ... no way, aku lulus kuliah di umur 22 tahun artinya sudah hampir 2 tahun lalu?!
Waktu benar-benar berjalan dengan begitu cepat.
"Kalau keinginan ada, bayangin hidup sama orang yang kita mau, kan, seru ya, Nek? Terus punya manusia-manusia kecil versi kami, pasti lucu banget. Pertanyaannya justru ... nikah muda siapa apa enggak?" Aku nyengir lebar.
Nenek tertawa. "Lucu banget kamu ini. Dulu Nenek nikah juga nggak ditanyain malah mau atau enggak, siap atau enggak. Buat orang yang mau menikah pertama kali dan kalau bisa satu-satunya, jelas nggak ada pengalaman sebelumnya. Jadi siap enggaknya itu ya ngira-ngira. Lagian, nanti waktu nikah baru semuanya dipelajari. Nggak bisa masak, ya nanti akan dengan sendirinya jadi suka masak." Bukan cuma soal itu, Nek, tapi meyakinkan diri sendiri bahwa lelaki itu adalah orang yang tepat untuk kita dan kita akan bersedia bersamanya untuk bertahun-tahun kemudian.
Kesiapan mental menurutku jauh lebih penting ketimbang hal-hal teknik yang jelas bisa dipelajari.
Tapi aku mengangguk-angguk dengan senyuman profesional.
"Ela punya saudara kandung berapa?"
"Eila, Nek." Bukan aku yang mengoreksi tentu saja.
Aku hanya tertawa saat Nenek mengatakan lidah orang tua susah menyebut beberapa nama dan kata. Tidak masalah bagiku, Eila atau Ela juga tidak menjadikanku orang lain. Lagipula, ini orang tua dan tanpa tujuan buruk salah memanggil nama. "Eila anak kedua dari dua bersaudara, Nek. Punya Abang satu."
"Abangnya sudah nikah belum?"
"Belum." Aku tertawa.
"Umurnya berapa abang?"
"Kami nggak jauh sih bedanya ... dia kayaknya tahun ini 28."
Nenek mengangguk-anggukkan kepala. "Orangtuanya Ela kesibukannya apa, Nak?"
Belum sempat aku menjawab, Goga langsung memerankan dirinya sebagai juru bicaraku dan kali ini dia tidak sesuai job desk alias salah kaprah. Katanya, "Dia anak orang kaya, Nek."
"Oh jadi itu alasannya kamu nggak berani-berani bawa dia ketemu Nenek? Nggak berani ajak dia nikah muda? Lagian kamu nggak muda lah, dulu Kakekmu umur sekamu gitu udah punya anak berapa coba."
Aku menahan tawa mendengarnya, ternyata Goga pun sama, dia tertawa dengan kalimat-kalimat Nenek. Mungkin sudut pandang usiaku dan usia Goga ini akan bertentangan dengan bagaimana cara Nenek memandang kehidupan. Ada kalanya terjadi perdebatan, tetapi bagiku, kadang kita tidak perlu menyerang demi bertahan dengan opini kita, diam juga bukan artinya menyetujui. Biarkan saja, hargai saja, tetapi tak perlu diikuti.
"Jangan percaya Goga banget, Nek." Aku mengedipkan mata. "Kita semua sama aja kok. Yang penting cukup, kan, buat hidup, ya?"
"Dikatakan oleh manusia yang KKN bawa sopir dan Mbak ART demi KKN-nya berjalan lancar."
"Ohya?" Nenek tertawa lepas sambil menepuk lenganku pelan.
"Itu, kan, hal biasa, ya, Nek, ya? Kecuali aku dibopong sama sopir selama KKN terus kalian jalan kaki, baru deh boleh bilang aku beda. Ini, kan, sama. Ada yang bawa kasur, Nek, ada yang bahkan dia mau lho, bawa kulkas, terus temen Eila juga ada yang bawa apa tuh namanya, Sayang?"
"Y-yang mana?"
"Yang itu lho, gede, warna-warniiii. Aduh di kepala aku udah ada, tapi lupa banget. Buat baju."
"Ember?"
"No, no, no. Satunya."
"Bak baju?"
"Iya!" Aku tertawa lega. Di kepalaku malah baskom saking seringnya aku mendengar kata itu selama KKN. "Temenku bawa itu berapa gitu, buat nyuci. Terus aku kasihan, soalnya kan, udah capek sama proker, terus harus nyuci lagi. Makanya Mama kirim Mbak sama bawa mesin cuci. Udah izin kok sama Kepala Desa dan warganya dan boleh."
"Emangnya di poskonya nggak ada mesin cuci?"
"Dia bangun rumah baru buat KKN di sana, Nek."
"Goga, please?" Aku menutup wajah karena merasa tidak punya muka di depan Nenek kali ini. Sekarang aku kerja, menghadapi Nenek, demi bisa berperan dengan baik sebagai pacar dari cucunya, bukan malah di-roasting habis-habisan. "Itu kerjaan Mamaku, Nek." Aku meringis. "Alhamdulillah-nya, beneran dapet desa yang warganya tuh baiiiiik banget. Kooperatif juga di setiap program kami. Semuanya berjalan lancar, semuanya happy." Aku melirik Goga yang sedang menertawakanku. Persetan dia mau apa.
"Terus rumahnya itu buat apa sekarang?"
"Terakhir Eila tahu sih jadi balai desa—eh kok balai desa, sih, jadi tempat serbaguna gitu. Buat warga sana kalau ada acara-acara. Atau buat posko juga setiap ada program KKN."
"Hebat banget, amalnya banyak, bagus. Orang tuamu pasti orang tua yang hebat, didik anaknya bisa jadi hebat."
Aku meringis.
Kalimatnya sama sekali tidak sesuai realita. Mama hebat? Mungkin iya kalau soal menyediakan materinya untukku, tetapi sudah lama aku merindukan sosok ibu di kehidupanku karena di hidupnya hanya ada Erlangga. Lalu soal aku juga yang jadi hebat ... aku tidak tahu kehebatan apa yang bisa aku lakukan sebagai anak burung emas yang terkurung.
Entah kenapa aku tiba-tiba merasa perlu memberi informasi ini pada Nenek. "Ohya, Nek, ngomong-ngomong, Eila udah nggak punya papa."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Turut berduka cita ya, Nak? Nggak pa-pa, masih ada mamamu yang hebat. Mama hebat pasti bisa ngurus dua anak sendirian."
Aku mengangguk sembari tersenyum. "Nenek sayang banget sama Goga, ya, Nek? Cucu Nenek ada berapa?"
Senyumannya merekah, dari sana pun aku sudah tahu seberapa berharganya Goga baginya. "Sayang banget ... karena sekarang Nenek cuma punya dia. Cucu Nenek ada banyak, tapi jauh-jauh semua. Kehidupannya udah tersebar ke mana-mana."
"Luar negeri?"
"Ada yang di luar negeri, ada yang masih di sini, cuma beda kota, tapi tetep jauh. Ketemu ya kalau lebaran atau ada acara khusus, mungkin nanti Nenek meninggal."
"Nenek!"
Seolah tidak melihat perubahan hati aku dan Goga, Nenek malah tertawa. "Goga itu aja nggak akan pulang kayaknya kalau Nenek belum meninggal. Nenek bisa ketemu dia kalau maksa diri ke sini."
"Nenek tinggal di sini aja sama Goga kalau gitu."
Kepalanya menggeleng pelan. "Nenek mau meninggal di rumah Nenek sendiri, dikuburin di sebelah Kakeknya Goga." Ah, aku mulai tidak suka percakapan ini. Tidak siap kalau harus berderai air mata di pertemuan pertama. "Udah jangan bahas gitu, nanti Goga nangis lagi. Kita bahas yang seru-seru aja. Nah, kalau nanti Ela beneran mau sama Goga, tapi kehidupannya akan beda ini nanti."
Aku menunggu kelanjutannya.
"Kurang lebih sama kayak waktu Ela KKN di desa, kalau waktu itu betah, berarti nanti betah tinggal di tempat Nenek. Jadi, misal nanti kalian nikah, terus Goga udah capek di sini dan mau pulang, Ela harus siap, ya nanti? Mandi dan nyucinya di kali." Napasku terhenti beberapa detik. "Maaf, bahkan BAB juga masih di kali." Tenggorokan terasa seperti aku sedang berusaha menelan besi panas. Buang air besar di kali?! Aku bahkan tidak pernah melihat atau membahas hal itu selama KKN di desa. Jadi kampung halaman Goga jauh lebih desa dari desa KKN-ku? Aku merasa seperti demam dan keringat mulai muncul di kening. Seperti belum cukup, Nenek melanjutkan. "Terus kalau mau ke kota, itu harus naik sepeda."
"Be-berapa lama, Nek?"
"Ya kurang lebih dua sampai tiga jam."
Membayangkannya pun aku sudah merasa patah tulang. Tidak heran kenapa Goga tidak mau pulang bertahun-tahun setelah dia di sini ... karena ... aku tidak bermaksud buruk, tetapi maksudku, okay lupakan.
Mengobrol dengan Nenek terasa sangat menyenangkan kecuali bagian deskripsinya tentang kehidupanku nantinya di kampung halaman Goga. Kami makan di luar bertiga, kemudian kembali ke apartemen dan melanjutkan obrolan-obrolan ringan. Hingga akhirnya jam kerjaku selesai, aku berpamitan dengan Nenek dan kami sudah memiliki janji akan bertemu lagi. Sekarang Goga mengantarku ke lobby setelah tadi aku menghubungi Ryan.
"Makasih, ya."
Aku tersenyum sambil mengedikkan bahu. "My pleasure. Gimana tadi perform gue?"
Dia tertawa pelan. "Nggak kerasa kayak lihat lo kerja."
"Maksud?!"
Dia tidak menjawab lagi, pintu lift terbuka, dan kami melanjutkan langkah. Lalu aku mendengar suaranya. "Dari semua kekurangannya dibanding kehidupan nyaman lo di sini, lo bisa bayangin sisi positifnya hidup di kampung gue, Ei."
"Apa itu?"
"Lo akan ngerasain kebebasan yang nggak pernah lo dapetin selama ini. Lo akan dapetin perhatian dan kasih sayang dari Nenek dan orang-orang sekelilingnya, full."
Aku tergelak. "Terus bayarannya berapa kalau lo sewa gue seumur hidup gitu?"
"Tadi, kan, di awal gue udah tanya. Tinggal lo yang ngitung sama bos dan admin lo itu, kabarin gue."
"Ooohhh, banyak duit lo?" Kami berhenti melangkah setelah sampai di kursi tunggu di lobby. Aku duduk lebih dulu dan memperhatikan tubuhnya yang masih berdiri. "Sumpah, ya, lo beneran nggak keliatan kayak anak dari daerah yang sama kayak deskripsi Nenek lo tadi."
"Masa sih? Emang gimana?"
"Lo pake gue-elo dan itu kelihatan native, terus apa yaaa, nggak jadi deh."
Goga tertawa pelan kemudian mengambil tempat di sebelahku.
"Tapi lo beneran mandi dan semua-muanya masih di kali, Ga?"
Kepalanya menoleh, dia tersenyum geli. "Nenek pasti akan makin seneng cerita setelah tahu jiwa penasaran dan kepo lo segede angkasa."
"Sialan lo." Aku melengos dan menutup mulut rapat-rapat, berusaha memikirkan hal lain sampai nanti akhirnya Ryan datang menjemput—tidak bisa! "Tapi serius nggak? Lo BAB di kali? Kalau mandi okelah, gue suka lihat anak-anak mandi di kali, maksudnya, lihat di sosmed, tapi BAB?"
"Ya biar lo nggak penasaran, nanti ikut aja waktu gue BAB di kali."
"Ha! Lucu." Kami sama-sama diam, sebelum akhirnya aku kembali menoleh padanya. "Sumpah demi Allah lo BAB di kali?"
Dia tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Saat mata kami bertemu, tawanya perlahan hilang, lalu bibirnya mengatakan, "Gue pikir kalau gue liat lo sekali aja, rasa kangennya bakalan ilang dan gue bisa melanjutkan hidup lagi, tapi ternyata jauh lebih sakit waktu kita kangen mampus sama orang yang ada di depan kita sendiri. Gue kangen banget sama lo, Ei."
---
haiii, ketemu lagi sama pasangan gamooon kitaa! seperti biasa, yang mau baca cepet bisa ke KK, yang hatinya sabar bisa nunggu di sini muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top