tymL || 4
"Lo masih temenan sama temen lo yang cabul itu?"
Setelah sekian lama keheningan menyelimuti perjalanan kami dan aku tidak mau semuanya berjalan terlalu emosional. Aku datang sebagai partner kerja sama dengannya, jadi tidak seharusnya kami saling meluapkan emosi tentang apa pun yang terjadi di kehidupan masa lalu kami.
Goga mengeluarkan tawa pelan, tetapi tak kunjung memberikan jawaban.
"Is it a yes?" tanyaku tak sabar.
Matanya menemukan tatapanku meski tak bisa lama karena kami sedang dalam perjalanan dan dia memerlukan fokus sebagai pengendara mobil. Lagipula, aku masih ingin hidup lebih lama. Well, kehidupanku mungkin tidak terlalu bisa dibanggakan, tetapi tetap saja, mati bukan pilihan yang bisa aku ambil sendiri.
"Lo tahu dengan pasti jawabannya, Ei."
"Jujur enggak." Aku menatap ke depan, memangku tas dan memainkan talinya. "Dulu gue bertanya-tanya, gue harus gimana, keputusan apa yang harus gue ambil, apakah hubungan ini beneran layak, gue tetep nggak boleh buta sama circle-nya. Sasha sampe muak dengan pembahasan yang sama padahal menurutnya, jawabannya udah jelas, breakup with him, Ei, he's a red flag."
"Dan pada akhirnya lo nurut banget sama Sasha."
"Seriously?" Aku kali ini tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya terheran-heran. "Dari segala hal yang bisa lo pelajari, lo ambil kesimpulan ini? Nurut sama Sasha? Nurut? Menurutmu Sasha siapaku? Ratu dan aku her slave kah?" Dia tak menjawab, memilih tetap diam. "Okay, mungkin lo muak karena gue nggak pernah ceritain hal lain selain nama Sasha, tapi lo juga boleh tanya dia seberapa muaknya dia dulu dengerin nama lo keluar dari mulut gue. She's my everything, I know, tapi bukan berarti konotasinya gue nurut sama dia apalagi soal hubungan kita. Lo nggak pernah berkaca kah kalau lo dulu juga salah, Ga? Apa lo masih selalu ngerasa cuma karena menurut lo, cinta lo ke gue sebesar dunia, itu aja udah cukup? Dengan modal itu, hubungan bisa terjamin aman?"
Aku berharap dia memberiku jawaban setimpal. Sebanyak kalimat yang aku layangkan untuknya. Namun, sepertinya dia benar-benar tak menyangka akan ada pertemuan ini denganku. Akan ada obrolan ini lagi setelah sekian abad terkubur. Aku tidak tahu pasti kenapa, tetapi yang jelas kami berbeda. Aku siap menyerangnya dengan jenis kalimat apa pun, sementara dia mungkin harus bersiap-siap jauh-jauh hari.
Untuk itu, sekarang pun dia masih tetap diam.
Goga bukanlah sosok pendiam, sama sekali bukan. Dia juga bukan tipe manusia yang senang berdiam diri di rumah, mengumpulkan tenaga yang terkuras habis setelah berakvitas di luar rumah. Baginya, bersosialisasi adalah jantung kehidupan. Tak bertemu dengan teman-temannya sama saja seperti tak mengonsumsi nutrisi untuk tubuh. Dia bahkan nyaris tak pernah ada hari berdiam diri di atas kasur, menikmati waktu sampai hari berakhir. Jika tak bersamaku, maka dia bersama teman-temannya.
Itu dulu, aku tidak tahu mungkin semuanya berubah.
Tetapi maksudku, itulah alasan kenapa tadi tiba-tiba mulutku dengan lancang masih berani menanyakan teman-temannya.
Teman-teman cabul yang menurut penilaianku, sebaiknya dibuang dari kehidupan. Tak ada manfaat yang bisa didapat dari karakter orang-orang seperti mereka. Justru kita yang mungkin tidak sadar lama-lama akan ikut terdoktrin dengan pola pikir yang sama.
"Dulu yang lo tahu, gue gimana setelah kejadian itu, Ei? Gue tepuk tangan buat mereka karena tindakannya?"
Aku mengedikkan bahu. Sebenarnya sudah tidak mau mengungkit hal-hal yang sama lagi, tetapi sudah terlanjur, aku harus menghadapi resiko dari keingin-tahuanku yang sangat besar tentang banyak hal, termasuk beberapa hal yang tidak perlu. "Lo nggak bilang apa-apa di grup itu, lo malah ajak mereka nongki, kan?"
"Gue sebut kata nongki emangnya?"
"Lo ajak mereka ketemuan, what's the difference?"
"There's the difference, Ei, kalau lo mau dengerin selanjutnya, lebih lengkapnya, dan nggak cuma percaya sama apa isi dari grup itu."
"Oh jadi maksud lo, harusnya gue nggak percaya sama ketikan mereka di grup itu? Harusnya gue berpikir positif mungkin mereka lagi review badan gue, terutama organ tubuh gue yang seharusnya mereka tahu itu bagian privasi? Bahkan anak-anak jauh lebih bagus pengetahuannya dibanding kalian."
"Gue salah bilang soal grup itu, I'm sorry. Gue nggak pernah sekalipun minta lo berpikir positif tentang apa yang mereka bilang. Mereka bajingan, bejat, gue setuju sama lo. Yang gue maksud tadi adalah apa yang gue ketik. Setelah isi grup rame sama komentar-komentar sampah mereka, lo baca nggak tanggapan gue selain ajak mereka ketemuan?"
Gantian aku yang terdiam, karena seingatku aku tidak menemukan balasan lain darinya selain ajakan temuan itu yang justru membuat amarahku memuncak. Kalau aku jadi Goga dan mendapati teman-temanku melecehkannya, aku tidak akan menyempatkan diri mengajak bertemu, detik itu juga, aku pasti sudah hilang kendali dan mengetik kata-kata yang tidak ingin mereka dengar lagi.
"Gue ketemu sama mereka karena gue nggak mau ngomong sama layar hape. Gue ajak ketemu mereka, karena gue maunya nonjok manusia, bukan layar hape. Kalau gue aja bahkan cemburu lihat ada cowok lain liatin lo dengan pandangan paling sopan sekalipun, menurut lo gue bisa kasih senyum dan pelukan apresiasi ke cowok-cowok yang lecehin lo? Mungkin nggak, Ei?"
"Gue nggak tahu, mereka temen lo. Sahabat lo. Yang udah ada sebelum lo kenal gue."
Dia tertawa sinis. "Emang pada dasarnya, lo nggak pernah percaya gue. Di mata lo, gue cuma cowok modal cinta, cemburu buta, dan pemikiran primitif yang selalu membenarkan pikiran cowok-cowok, cuma karena kami punya kelamin yang sama."
Mungkin kalimatnya benar.
Mungkin seperti itulah aku menilainya.
Kami masih sama-sama terlalu muda untuk mengetahui banyak hal dengan baik, dulu. Tetapi bahkan mungkin di detik ini dengan anggapan kami berdua sudah lebih dewasa, nyatanya tidak ada yang berubah. Kami masih ada di tempat yang sama, berusaha membela diri sendiri. Entah karena kami yang belum tumbuh dewasa atau justru kedewasaan malah membuat kami memupuk ego masing-masing,
Setiap mengingat hal ini, aku selalu membenci orang-orang yang memiliki energi berlebih sehingga mereka senang mengomentari orang lain. Mereka berkomentar pada perempuan dengan dada kecil, dada rata, bahkan besar menurut mereka. Mereka akan tetap mengomentari orang-orang kurus, gemuk, pendek, tinggi, menikah, single, dan semuanya. Mereka tidak pernah bisa membiarkan orang lain hidup tenang dan mengurus kehidupan masing-masing.
Aku tidak meminta lahir dengan tubuh seperti ini. Aku tidak ingat kalau aku diberi kesempatan untuk meminta ukuran dan bentuk atau bahkan warna di setiap anggota tubuhku, termasuk ukuran dada. Aku tidak pernah melakukan tindakan operasi untuk mengubah bentuk dan ukuran. Tetapi mereka dengan bangganya tertawa dan membahas ukuran dadaku, menebak ukuran bra, menebak warna puting, bahkan tanpa malu berdiskusi dengan mengira-ngira bagaimana kepuasan Goga selama berhubungan denganku.
Apa yang Goga harapkan dari reaksiku setelah membaca semua itu?
Tertawa dan masih sempat berpikir positif tentangnya?
Aku bahkan tidak sempat berpikir positif tentang diriku sendiri. Yang aku lakukan setelah memblokir semua akses dari Goga dan teman-temannya baik online maupun offline (aku kabur sekian lama ke Lombok), adalah ribut dengan diriku sendiri, menimbang-nimbang perlukah aku melakukan operasi untuk membuat semuanya rata. Hanya Sasha yang tetap sanggup bertahan dengan menghilangnya diriku dari radar, sisanya mungkin menganggap aku sudah tidak ingin berteman dengan mereka. Jadi kalau menurut Goga, pada akhirnya aku menuruti Sasha, mungkin iya.
Aku akan menuruti Sasha dan pendapatnya sangat berarti untukku bahkan lebih dari keluargaku sendiri.
"Yang masih nggak tahu diri dan ngira gue nggak marah sampai sekarang cuma Sam. kalau lo inget, dia di grup nggak ikut obrolan sampah itu, tapi memang dia nggak marah juga. Gue tetep hajar dia karena dia diam atau pilih netral taik lah. Pilihannya cuma dua, setuju sama tindakan sampah mereka atau enggak."
Aku menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan dan mencoba menenangkan diri. Untuk tidak menangis. Untuk tidak marah-marah. Perjalanan hidupku sudah sejauh ini, aku tidak boleh kembali terpuruk. Mereka orang-orang bejat dan tak boleh dikasih panggung untuk menghancurkan hidupku.
Aku memasang senyum, membuat semuanya seolah sudah tak berarti apa-apa. "Terus Sam apa kabar? Dibanding temen-temen lo yang lain, dulu emang dia doang sih yang lebih sopan. Well, dia emang bawel banget, tapi nggak pernah ke arah seksual."
"Baik-baik aja kayaknya."
"Masih sama pacarnya yang dulu itu?"
"Masih kayaknya. Nggak tahu juga sih, ngobrol paling cuma kalau dia reply story Instagram gue yang setahun sekali itu."
"Lo nggak pernah reply story dia?"
"Gue unfoll dia."
"Dia tahu?"
Kepalanya mengangguk. "Tahu."
"Nggak marah?"
"Ya marah, lo tau Sam lah kalau ngoceh kayak gimana. Tapi dia sadar diri kenapa gue unfoll dan dia nggak pernah masalahin itu lagi sih. Cuma dia emang selalu minta maaf dan pengen banget minta maaf sama lo."
"Gue nggak mau."
"Gue juga nggak akan biarin dia bisa ketemu lo lagi sih." Mendengar itu aku langsung menoleh dan menatapnya miris. Dia pikir dia siapa? Sepertinya dia menyadari kalimatnya juga reaksiku, karena sekarang dia berdeham dua kali dan menjelaskan. "Maksudnya, ya nggak mungkin juga dia bisa ketemu lo atau chat lo, gue aja nggak bisa, lo kayak ditelan bumi, Ei."
"Ya alhamdulillah berarti usaha gue berhasil."
Dia tidak menjawab.
"Berarti sekarang lo nggak punya temen dong kalau yang bejat-bejat lo cut off?"
Karena semua temannya itu bejat, dia pasti paham kalimatku.
"People come and go, Ei. Mati satu tumbuh seribu. Cuma bedanya, sekarang gue lebih pilih-pilih, mana yang cuma buat relasi sama yang buat temenan deket."
"Bagus deh, seenggaknya otak lo berkembang."
"Gimana sama otak lo?"
Aku meliriknya tajam. "Maksud lo apa?"
"Maaf." Dia terdengar mengembuskan napas kasar sebelum kembali bersuara. "Kita mampir beli makanan buat Nenek dulu, siapa tahu lo mau infoin ke Ryan atau mau siap-siap."
---
selamat menikmati hari Minggu buat yang nggak ngapa-ngapain dan selamat membaca Eila-Goga, muach!
btw, kamu juga udah bisa baca kisah mereka di KK, yaaw. mungkin nanti akan tetep ada yang komen; "sampe tamat di wattpad kan, Kak?" IYAAA, Sayaangkuuuuu, cintakuuuuu, iyaaaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top