tymL || 3
Aku belum pernah berdoa agar Tuhan menghilangkan manusia dari muka bumi ini, termasuk untuk diriku sendiri.
Hari ini berbeda. Aku benar-benar berharap ada sesuatu yang terjadi di kafe ini dan membuat kami secepat kilat berpisah dan tak akan bertemu lagi. Walaupun aku tahu, itu hanya skenario di kepalaku. Karena kenyataan yang tetap harus aku hadapi adalah berhadapan dengannya, di meja ini, dengan konfirmasi dari Dira bahwa benar kami lah dua orang yang saling menunggu dan memiliki janji untuk bertemu di sini; sebagai klien bisnis, tentu saja. Entah dalam level apa pun bisnis mungilku.
Kami bahkan sudah mendapatkan pesanan masing-masing di meja sekaligus menjadi benda pembatas jarak antara kami.
"So? Gimana pekerjaanmu ini, Ei?"
Aku memejamkan mata sesaat, menyadari pertanyaan penuh ejekan dari mulutnya. Tidak. Meski aku keras kepala, sesungguhnya aku tidak seburuk itu, aku akui ini hanya pendapat subjektif karena kami pernah menjalin hubungan. Itu kenapa aku usaha keras sejak detik pertama kami bertemu lagi—di sini, tentu saja—untuk terlihat ... bukan terlihat, untuk melindungi diri.
Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan Goga. Apalagi kami berhadapan ini sebagai orang yang saling membutuhkan dalam lingkup bisnis.
Tunggu dulu deh, dia tadi bilang pekerjaanku, artinya dia mengira aku ... oh okay, aku paham, dia sudah pasti mengira aku bekerja karena aku yang menemuinya sebagai klien. Mana tahu dia kalau aku harus turun tangan karena kehabisan karyawan dan tidak mau kehilangan dia yang memberi iming-iming bayaran tanpa negosiasi.
"Menyenangkan." Aku tersenyum lebar, membuang napas seolah aku juga sedang berusaha membuang semua perasaan burukku terhadapnya. Aku ingin profesional, menjadi orang dewasa yang sesungguhnya, yang bisa menempatkan diri, tidak terganggu dengan hal-hal personal. "Lo tahu dari mana hal-hal kayak gini?"
Dia tertawa pelan. "Temen."
"Temen?"
Dia menganggukkan kepala. "Dia pernah pake." Ekspresinya mendadak tak nyaman, dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir mencebik seolah sedang jijik akan sesuatu. "Sorry, pemilihan kata-katanya, maksudnya bukan pake—"
"Gue paham kok, santai aja. Emang gitu juga sistem kerjanya. Lagian yang dipake juga bukan orangnya in a bad way, kan? Tapi pakai jasa. Saling menguntungkan, jadi nggak perlu ada yang ngerasa negatif." Luar biasa mempesona, Eila! Tidak pernah menyangka dalam beberapa menit, aku bisa mengatasi diriku sendiri dari perasaan busuk tadi. Melihat dia yang mengangguk-anggukkan kepala, terlihat masih ragu, aku kembali menambahkan. "Jadi temen lo pernah pakai jasa kami juga?" Tak lupa aku menyertakan senyum semanis mungkin.
"Iya, pernah." Balasan senyumannya terlihat begitu terpaksa.
Kalau aku berbicara sebagai orang yang mengenalnya, pernah menjalin hubungan asmara dengannya, aku bisa memahami betapa pertemuan dan obrolan ini sangat tidak nyaman untuknya. Terutama objek dari obrolan kami. Seorang Goga, bisa mati terkena serangan jantung begitu tahu aku tiba-tiba bekerja sebagai pacar sewaan. Melihatku ngobrol dengan satpam kampus yang masih muda pun dia sudah menarik napas berat. Tapi begitulah hidup, sering kali kita harus menghadapi hal yang paling membuat kita tak nyaman, yang kita takuti, yang kita tak suka, dan sebagainya.
"Terus dia puas nggak sama kinerja kami?" Kalimatku untuknya ini seolah terus lebih buruk dari sebelumnya dan terus begitu. Dia memejamkan mata beberapa detik dengan rahang mengeras, tetapi kemudian aku melihat senyum tipisnya terpampang. Lumayan lah meski sejak tadi hanya senyum paksa.
"Dia rekomendasiin ini ke gue, artinya dia puas."
Aku mengangguk-anggukan kepala. "Siapa namanya? Yang cewek, soalnya di kita baru cewek sih sejauh ini. Ternyata banyak juga lho cowok-cowok yang butuh pertolongan. Lo nggak sendiri, jangan malu."
"Gue nggak malu." Tangannya merapikan kemeja denim yang dijadikan outer, sembari terus menatapku. "Lo udah lama ikut kayak gini?"
"Lumayan sih."
"Pembayarannya gimana?"
Aku tertawa pelan. "Emang boleh ya hal-hal dapur gitu dibahas sama klien?"
Goga tidak menjawab, tatapannya tidak beranjak dari mataku sedetik pun. Aku mulai merasa tak nyaman, tetapi aku tahu aku tetap harus berada di mode ini kalau mau selamat sampai akhir hari. "Ini ada limitnya nggak buat sewanya?"
"Ya sesuai aja sama kesepakatan waktu lo chat admin. Misal lo butuh dua hari, kan, harganya beda sama yang satu hari. Atau lo cuma butuh buat jadi pacar pura-pura di chat, atau lo butuh temen galau buat bolak-balik tol Jakarta-BSD misalnya."
"Bukan," ucapnya dengan wajah serius.
"Terus maksudnya gimana?"
"Sewa paling lama berapa?"
"Harganya?"
"Durasinya. Waktunya, Ei. Please, ini lo nggak ngerasa aneh? Tiap kata-katanya seolah kita lagi jual-beli manusia."
Aku tersenyum lebar. "Enggak sih, aman-aman aja. Selama ini juga nggak ada klien yang ngerasa gitu. Kayak yang gue jelasin di awal tadi, mereka dateng butuh jasa, kita siap menawarkan jasa. Jadi lingkupnya ya cuma sebatas itu, nggak ada pemaknaan bias dari istilah-istilah yang dipake." Elo aja yang begitu karena hidup lo dipenuhi rasa cemburu, tambahku dalam hati.
"Okay, waktu sewa paling lama berapa? Ada batesannya nggak?"
"Lo kemarin sewa buat berapa lama?"
"Adminnya bilang justru pertemuan ini buat bahas lebih dalam karena kebutuhan gue yang dadakan dan gue bisa ngobrol langsung sama orangnya."
"Okay." Aku menganggukkan kepala. "Jadi lo butuhnya buat berapa lama? Kalau selama ini sih, paling lama seminggu deh. Soalnya ini bukan buat pernikahan kontrak gitu, ya."
"Kenapa nggak itu juga?"
"Pernikahan kontrak?"
Dia mengangguk.
Aku tergelak. "Gila, siapa yang mau! Dikira ini drama China apa. Lo butuhnya berapa lama? Sebulan? Boleh aja kok, asal fee-nya sesuai nanti lo ngobrol lagi sama admin."
"Lo nggak bisa nentuin fee buat lo sendiri?"
"Ya nggak bisa, gue, kan, cuma kerja."
"Minimal satu tahun?"
Aku menutup mulut agar tidak mengeluarkan tawa yang tidak semestinya karena kami sedang ada di tempat umum. Bisa-bisa aku diusir langsung dari ini dengan kesan yang menggelikan. "Jangan aneh-aneh deh lo, Ga." Tiba-tiba aku melihat senyuman tipis di bibirnya. Aku berdeham karena menyadari satu kesalahanku yang mulai muncul dengan menyebut namanya seolah kami masih ada di masa lalu. "Lo butuh buat apa, sih?"
"Buat pacar."
"Iyaaa, maksud gue konteks-nya buat gimana?"
"Ketemu sama Nenek."
"Nah, nggak mungkin, kan, setahun ketemu nenek lo?"
Goga tidak langsung menjawab, dia membuang beberapa detik untuk hanya memandangku. Sebelum akhirnya mulutnya kembali berbicara. "Yaudah, ayok!"
Mataku mendelik. "Ke?!"
"Ketemu Nenek. Gue sewa seminggu, nanti admin suruh kirim aja tagihannya. Dimulai dari sekarang."
"Ya lo nggak bisa gitu dong! Kan, gue belum deal."
"Emang boleh nolak klien sebelah pihak gini?"
"Ya bukan gitu, maksudnya—" Gila, gila, gila! Mimpi apa aku harus terjerumus ke dalam lubang ini. Setelah sekian lama, setelah pertemuan dengan banyak manusia, kenapa harus bertemu lagi? "Okay, satu minggu. Cuma buat ketemu sama Nenek lo dan pura-pura jadi pacar lo, kan?"
Kepalanya mengangguk.
"Terus setelah itu?" Untung saja aku langsung menyadari betapa absurd-nya pemilihan kata-kataku. "Maksudnya, dalam seminggu itu gue ngapain? Tiap hari ketemu Nenek lo? Atau gimana?"
"Itu harus dijelasin juga?"
"Lah, yaiya dong! Biar bisa nentuin tagihannya juga."
"Ketemu sama Nenek, nemenin gue baik via online maupun offline, semuanya."
Benar-benar menyedihkan. Ini namanya dia perlu pacar sungguhan. Aku berusaha keras menahan diri untuk tidak mengatakannya langsung karena menjaga agar ini tetap profesional, tidak ada unsur dendam pribadi. "Terus setelah seminggu itu, kalau Nenek lo tanya kelanjutannya, lo gimana?"
Dia tergelak. "Keren juga tempat kerja lo, sampe mikirin ke setelah kerja sama nanti gimana."
Dia benar-benar gila. Aku sangat menyesali seuprit kepedulianku untuknya. Lagipula, untuk apa aku masih harus bersimpati padanya. Cukup lakukan kerja sama ini dengan baik, maka setelahnya bukan urusan masing-masing. Bodoh. Aku yang bodoh, aku tahu.
Dengan perasaan campur aduk dan aku tidak berani melabelinya apa, aku terpaksa berdiri mengikuti Goga. sebelum benar-benar ke parkiran, aku sudah memberi kode Ryan agar mengikutiku. Sekarang dia berdiri di depanku. "Ikutin kami, ya, Yan."
"Siap, Mbak."
Aku mendengar suara dengusan dari Goga. Tidak terima dengan tindakannya itu, aku menatapnya tajam. "Sorry? Kenapa, ya?"
"Sorry, sorry, nggak pa-pa, cuma keinget di jalan tadi ada pengendara tolol."
Aku melihat Goga membukakan pintu mobil untukku, tetapi aku tidak langsung masuk ke dalam mobilnya, melainkan bergeser agak menjauh dan meminta pendapat Ryan akan pakaianku. Bagaimana pun, aku juga mau totalitas, harus meyakinkan di hadapan neneknya, demi banyak orang di belakangku.
"Aman, Mbak. Cantik."
"Nggak keliatan kayak yang terlalu niat gitu, kan, Yan? Maksudku, kayak yang dibuat-buat banget?"
"Enggak, Mbak. Bagus. Sopan, Nenek-Nenek pasti suka."
Aku mengangguk sembari tersenyum lebar dan menepuk pundaknya. Kemudian berbalik hendak berjalan di mana mobil Goga terparkir.
Sang empu menutup kembali pintu yang tadi dia buka, bersandar dengan bersedekap tangan di sana. Saat aku mendekat, dia berdiri dan menatapku. "Kalau lo mau tahu penampilan lo oke nggak di mata Nenek gue, yang harusnya lo tanya ya gue, bukan dia."
Dia memang tidak salah untuk yang satu ini. Yang tahu gimana Neneknya, ya sudah pasti cucunya, bukan Ryan.
"Baik, Mas Goga, kita jalan sekarang?"
Dia mengangguk, lalu kembali membukakan pintu mobil untukku, bedanya dia tidak membantu memasangkan sabuk pengaman seperti biasanya. Eila, sikap najismu jangan dimulai secepat ini.
"Nenek lo tinggal di mana?"
"Di lagi main ke sini."
"Sini mana?" Aku meliriknya yang sedang tersenyum geli. Aku mau marah, tetapi yang terjadi aku malah ikutan terkikik geli. "Sorry, soalnya seinget gue, lo sebatang kara di sini, kasihan banget deh pokoknya."
"Kasihan kok ditinggalin," ucapnya santai, tanpa beban, mulai menjalankan kendaraan. Aku pasti kena mental setelah satu minggu ke depan. Bersamanya. "Nenek udah dua hari ke sini, nginep di apartemen." Oh sekarang dia tinggal di tempat yang setidaknya lebih sepi, bukan tinggal di kost-kost-an yang berisik isinya banyak laki-laki. "Lo belum pernah ketemu Nenek, kan?"
"Harusnya pertanyaan itu buat lo sendiri. Pernah nggak lo ngenalin gue ke keluarga lo."
Dia diam, tidak menjawab.
Lalu tiba-tiba tangannya mulai mengotak-atik dan musik perlahan terdengar. Begitu lirik awal dinyanyikan, perasaanku langsung tidak enak. Aku menyerongkan tubuh, menatapnya tajam karena merasa sangat tersinggung dengan pemilihan lagunya. "Maksudnya apa nge-play lagu ini? Lo nyesel pernah pacaran sama gue?"
"Emang lo tahu lagu ini dan ngerti ini tentang apa?"
Aku mendengus. "Lo selalu gini, kan? Selalu ngerasa lo tuh tahu apa yang gue pikirin, pengetahuan gue sebatas apa." Lagian siapa yang tidak tahu lagu The Night We Met beserta maknanya. Dia pikir hanya dia yang manusia modern dan sisanya tinggal di hutan tanpa gadget.
"Lo udah punya pacar belum?"
Aku memutar bola mata. "Udah tunangan malah. Bentar lagi nikah. Move on lo, nggak usah berharap CLBK sama gue." Perasaan panik mulai menyerang ketika aku menyadari lirikannya pada jariku. Aku memang mengenakan beberapa cincin, tetapi aku tidak tahu apakah dia bisa menebak mana cincin tunangan, karena sebenarnya tidak ada.
Tak ada jawaban lagi darinya sampai lagu selanjutnya berputar.
Saat aku tengah tenggelam dengan lagu-lagu di playlist-nya, dia kembali bersuara. "Gue selalu nyoba kok, Ei, tapi nggak pernah berhasil. Gue nggak bilang kalau di dunia ini nggak ada cewek baik lagi. Gue ketemu beberapa cewek baik, cantik, hebat, tapi tetep nggak berhasil. Gue bukan cuma nyakitin diri gue sendiri, tapi mereka yang padahal nggak tahu apa-apa."
Aku mau loncat dari mobil ini sekarang juga.
Seketika semua kenangan bersamanya terputar di kepalaku.
Aku tidak mau terlihat tidak mensyukuri, terlepas dari betapa menyebalkan sikap cemburu butanya, dia menjadikan dirinya sebagai juara satu dalam memperlakukanku seperti ratu.
---
hadeh, aku suka banget kalau liat cowok gagal move on, maap🥹.
btw, yang mau baca bab lebih cepet, udah tersedia di KK ya wargaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top