tymL || 2

"Ei, mau ke mana?"

Tanpa merasa perlu menatapnya—adab dalam berkomunikasi, sejujurnya, dalam segala hal menurutku pribadi tidak perlu diaplikasin untuk keluargaku, terutama Erlangga yang sialnya adalah kakak kandungku sendiri—aku menjawab dengan malas. "Keluar."

"Tujuannya?"

Aku paham, dia tidak akan pernah bisa membiarkanku bernapas bebas. Mengembuskan napas lelah, aku pada akhirnya mengikhlaskan pandanganku pagi ini dengan menatap wajahnya. "Semuanya harus di bawah pengawasan lo kah? Segala hal di dunia ini harus berputar atas restu lo kah?"

"Semua hal tentang lo, yes." Kepalanya mengangguk, tatapannya tak gentar, begitu serius. Aku pun membalasnya tak mau kalah. "Selagi lo masih sebagai adek gue, maka jawabannya akan selalu 'ya'."

Aku tertawa. "Kalau gitu, catat tanggal, hari, bila perlu jam sekarang ..." Aku melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangan kiri, kemudian menatapnya lagi. "Nggak usah anggep gue sebagai adek lo lagi. Anggap aja kita kebetulan tinggal di satu rumah dan punya mama yang sama. Itu aja. Sisanya, urus urusan masing-masing tanpa perlu kepo satu sama lain. Gue udah lupa nama lo bahkan entah sejak kapan."

Gantian dia yang mengenluarkan tawa kencang. "Lo akan ngomong beda lagi kalau di depan Mama, Ei."

"Dan cuma itu senjata yang lo punya, kan? Berlindung di ketek Mama. Grow up!" Tanganku sudah nyaris berhasil meraih gagang pintu, tetapi dia menahanku. "Minggir nggak lo!" Aku mendorong tubuhnya dan benar-benar sudah berhasil menghirup udara di luar rumah. Mataku juga sudah menemukan mobilku dengan Ryan yang berdiri di samping pintunya.

"Lo tahu lo nggak boleh pergi tanpa Ryan, kan, Ei?"

Aku sungguh sudah muak dengan dengan wajah dan suara dari manusia ini. Kalaupun memang boleh aku meminta,Tuhan tolong ambil dia kembali ke pangkuan-Mu. Aku ikhlas lahir dan batin. Buatlah dia bertemu dengan Papa dan menerima segala hal yang pantas dia terima dari Papa.

Tapi aku tahu, aku tidak punya daya apa pun dalam menentukan umur manusia dan apa yang terjadi di kehidupan di sana.

"Mama nggak akan tahu kalau lo nggak lemes."

Dia tergelak, seolah aku adalah badut ulang tahun yang memang diundang untuk ditertawakan. "Lo tahu mata dan telinga Mama ada di mana-mana, kan, Ei? Lo bukan jadi anaknya kemarin sore, kan?"

"Dan lo mau tahu apa?" Aku menatapnya bengis. "Mata dan telinganya Mama ada di elo, jadi kalau lo musnah, semuanya aman." Aku melihatnya terdiam, jakunnya bergerak naik turun. Dan kalau ada yang mengira itu adalah tanda kekalahan dan sebaiknya aku bersimpati pada lelaki ini, maka dia belum mengenal Erlangga dengan baik. "Thanks, Yan," ucapku sesaat setelah menghampiri Ryan.

"Sorry, Mbak." Kepalanya menggeleng dengan tatapan penyesalan. "Nggak bisa sendiri. Ibu tahu Mbak hari ini mau pergi dan harus sama saya, kalau nggak—"

Aku menahannya dengan mengangkat tangan. Tidak perlu dilanjutkan, aku sudah sangat hafal kalimat berikutnya di luar kepala. Kalau Erlangga punya senjata yaitu Mama dalam setiap sudut kehidupannya, maka Mama menjadikan Ryan sebagai senjata mengaturku. Dia paham betul betapa aku menyayangi Ryan. "Let's go," lirihku sambil membuka pintu belakang. Aku menyebutkan nama kafe dan daerahnya yang dengan cepat Ryan respon dengan pengetahuannya akan seluk-beluk Jakarta. "Mama tahu juga nggak aku mau ngapain hari ini?"

"Ibu nggak bilang, Mbak."

Aku mengangguk. "Yan?"

"Ya, Mbak?"

"Kamu bosen nggak sih nemenin aku?"

Dia tertawa pelan. "Nggak akan pernah."

"Kamu tahu, kan, aku akan jadi orang yang paling bahagia kalau kamu punya kehidupan yang normal?"

"Normal?"

"Punya pacar, misalnya, atau tibat-tiba mutusin nikah muda."

"Orang yang nggak punya keluarga mana ngerti caranya ngurus keluarga, Mbak." Aku bisa melihat senyumnya dari belakang sini, dan setiap kali kami ada dalam obrolan ini, tiap kali itu juga hatiku tersayat. "Ini kehidupan normal saya. Mbak Eila lagi nyusun rencana buat bangun kehidupan normal kah?"

Aku tertawa. "Kehidupan normal yang gimana ya, Yan? Definisi kehidupan normalmu aja kayak gitu, kehidupan normalku di rumah kayak gini, aku nggak punya gambaran juga kehidupan normal di luar sana."

"Punya pacar atau mungkin pengen nikah muda?"

Aku tergelak karena dia dengan cepat mengembalikan seranganku tadi. Aku mengangguk-anggukan kepala sambil mengambil botol air mineral. Meneguknya dua kali selama aku menatap keluar kaca. "Pacar tuh ribet, Yan. Apalagi suami."

Aku mendengar Ryan tertawa. "Belum berubah?"

"Apanya?"

"Pendapat Mbak tentang cowok?"

Aku menatapnya tak percaya. "Pendapatku tentang cowok apa?"

"Jadi pacar aja ribet, ini-itu salah, harus lapor, harus mikirin perasaannya, gimana jadi suami." Kata-katanya dan intonasi yang dia gunakan seolah sedang menirukanku berbicara.

"Dasar otak manusia emang aneh, masih diinget itu!" Tawaku lepas. "Selagi mayoritas cowok merasa hubungan manusia itu kayak kepemilikan barang, pendapatku masih akan tetep sama. Kecuali, otak mereka udah berkembang lebih baik, aku akan pikirin lagi." Aku mual ketika tiba-tiba mengingat wajah Erlangga. "Tapi contoh cowok di sekitarku aja jadi bukti kalau otak mereka stuck, di situ-situ aja."

Ryan sepertinya paham siapa yang aku maksud, karena jelas bukan dia. Dia mengeluarkan tawa pelan. "Sepuluh menit lagi sampai, Mbak."

Aku menegakkan posisi duduk, mengatur napas dan ekspresi, agar ketika nanti bertemu dengan calon donatur, dia tidak menyesal telah mencoba menghubungi kami. Dari tampilanku yang sudah aku usahakan serapi mungkin dan tentu sajar tutur kataku juga nada bicaraku yang tidak boleh terdengar sisa-sisa amarah setelah obrolanku dengan Ryan tadi.

Ryan sudah beres memarkirkan mobil, aku tidak perlu menunggunya membukakan pintu untuk bisa keluar dari dalam mobil ini. "Ayo, Mbak."

Aku meringis. "Ketahuan nggak, ya, nanti?"

"Ketahuan?"

"Maksudnya ... dia akan ngerasa aneh kalau liat aku sama kamu. Calon donatur ini."

"Oh." Ryan mengangguk-anggukan kepala. Seringnya, dia memang ada di ruangan bersama Sasha dalam mengetahui segala hal tentang kehidupanku. Meski untuk beberapa hal yang sangat pribadi, tentu Sasha masih lebih sering sendirian memahamiku. "Saya duduk di tempat agak jauh. Saya pastiin dia nggak akan ngeh ada saya."

Aku mengangguk. "Dia juga nggak kenal kita, yang penting kamu pisah meja. Okay?"

Ryan mengangguk.

Kami memasuki kafe dengan sapaan ramah para karyawan yang terlihat produktif melayani para pengunjung. Aku memilih meja hanya untuk dua orang, duduk di sana, berusaha menyamankan diri. Tiba-tiba aku merasa kesulitan menemukan Ryan dan saat melihat dia sedang mengobrol dengan salah satu karyawan yang membawa buku menu, aku mendesah lega.

Kalau aku saja sulit menemukannya, artinya posisinya aman.

"Halo, Kak, mau pesan apa?"

Aku tersenyum. "Air mineral dulu, boleh Mbak? Saya lagi nunggu seseorang, nanti pesanannya bareng dia."

"Oh boleh, Kak. Air mineralnya mau yang botol kecil atau ukuran besar?"

"Yang besar boleh."

"Baik, mohon ditunggu, ya, Kak."

Kami saling melempar senyum sebelum kembali pada kesibukannya masing-masing. Aku mengeluarkan ponsel, membuka ruang pesan dari Dira untuk mengabari bahwa aku sudah sampai di tempat yang disepakati. Informasi yang dia berikan adalah calon donatur kami sudah dalam perjalanan sekitar tiga puluh menit yang lalu.

Mungkin sebentar lagi dia akan sampai, kalau memang rumahnya tak jauh dari sini, atau masih akan memerlukan waktu lama—entahlah, aku akan menunggu dan membuktikannya sendiri.

Air mineralku sudah hampir habis, aku bahkan sudah memesan dessert untuk menutupi rasa tidak enakku pada karyam kafe ini, tetapi aku masih belum melihat tanda-tanda Dira mengabari kalau partner kami sudah sampai. Mungkin memang aku seharusnya yang berhubungan langsung dengannya, toh Dira sudah memberikan nomor laki-laki ini. Aku memastikan sekali lagi pada Dira dan ketika dia bilang belum ada kabar, maka aku aku memutuskan untuk mengirimi pesan pada nomor tanpa foto di profilnya.

Aku mengentukkan jari di paha sembari terus memperhatikan warna ceklis dua di pesanku yang tak kunjung berubah warna. Mungkin dia menonaktifkan fitur satu itu atau memang belum membaca pesanku.

Tiba-tiba nama Ryan muncul di layar ponsel dan aku refleks menolehkan kepala ke arahnya. Wajahnya terlihat panik, dia memberiku kode untuk segera melihat ponsel. Meskipun kebingungan, aku menurut dan mendapatkan pesannya. Seketika napasku terhenti sesaat. Aku tidak bisa menemukan emosi apa pun di dalam diriku karena aku pun merasa dunia seolah berhenti.

Ryan melihat dia.

Setelah sekian lama kami berhasil disibukkan dan bersembunyi di tengah padatnya Jakarta—oh tentu saja dia tidak hanya hidup di Jakarta, dia tinggal di BSD (Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan) ketika kami masih kuliah, dan aku tidak tahu setelahnya dia hidup di mana. Maksudku, dengan banyaknya daerah yang mungkin saja berhasil menyembunyikan kami, menyembunyikannya, kenapa kami bertemu di sini?

Kesadaranku sudah kembali dan dengan panik aku mengetik balasan untuk Ryan, menanyakan aku harus melakukan apa. Haruskah aku membatalkan pertemuanku dengan calon donatur kami dan mengatur ulang janji? Tetapi tak ada balasan apa pun dari Ryan meski pesanku sudah terbaca. Saat aku menoleh ke arahnya, bukan hanya mataku yang nyaris lepas, tetapi jantungku terasa siap meloncat dari tenggorokan.

Sosok itu; belakang kepalanya, punggungnya, keseluruhan tubuhnya dari belakang menutupi pandanganku untuk melihat Ryan. Aku masih mengenalnya dengan baik. Rambut ikalnya, postur tubuhnya, semuanya.

Musnah ajalah ini semua manusia di bumi!

Dia terlihat mencari-cari seseorang dan aku merapalkan doa semoga tidak seperti ketakutanku. Semoga tidak seperti apa yang aku bayangkan. Namun sialnya, manusia memang mungkin ditakdirkan untuk menghadapi ketakutannya secara langsung, karena sekarang tubuhnya sudah berdiri dengan posisi menghadap ke sini, mata kami bertemu.

Apa pun alasan berakhirnya sebuah hubungan, tidak akan pernah nyaman rasanya untuk saling bertemu kembali.

Hiburan untuk saat ini adalah ketika melihat kepala Ryan yang berusaha muncul dari belakang tubuh Goga, dan memberiku isyarat dari wajahnya kalau dia juga sama syoknya denganku.

Jangan melangkah ke sini.

Tolong jangan melangkah ke sini.

Tapi larangan terasa seperti permintaan dan perintah, maka begitu saja, kakinya terus bergerak mendekat. Dia sudah berhasil duduk di depanku, adanya tegak, kedua tangan bertaut di atas meja.

Aku menahan napas sampai akhirnya menyerah karena nyaris putus. "Kursi ini udah orangnya."

"Orangnya udah sampe?" Suaranya. Aku tidak tahu kalau ternyata manusia bisa merasakan kerinduan yang begitu dalam terhadap suara seseorang. "Apa kabar, Ei?"

"Kayak yang kelihatan, sangat sangat sangat baik. I'm living my best life."

Dia mengangguk-anggukan kepala. "Syukurlah. Ryan masih setia aja tuh."

"Karena cuma gue keluarganya."

Dia mencebik. "Dulu gue juga nawarin diri, tapi dia tetep milih lo."

"Menurut lo?" Dia saja terang-terangan mengatakan kalau dia cemburu dengan Ryan, di depan Ryan langsung. Cuih!

"Jadi sekarang udah nggak jadi anak burung emas yang dikurung di kandang?"

"Masih bawel aja lo." Aku mengabaikannya dan memilih sibuk dengan ponsel, berharap calon donaturku membalas atau ada tanda pesan dibaca, tetapi nihil. Aku juga meminta Dira untuk mencoba menghubungi laki-laki itu, tetapi katanya nihil. Firasatku, dia tidak akan datang dan mungkin kami akan mengalami penipuan untuk kali pertama. Seolah menjadi pembuktian dari ketakutan Sasha.

Sial.

"Bisnis lo tentang apa, Ei?"

Aku menatapnya terheran-heran. "Sorry, atas dasar apa ya lo ngerasa boleh tanya-tanya?"

Dia tersenyum. Semuanya terasa tidak ada yang berubah. Kecuali peningkatan pada fisiknya dan seolah dia sudah sampai di tahap advanced. Dia menolehkan kepala ke arah Ryan dan seketika aku tahu mereka tadi pasti membahasku. Ryan yang menjadi penggemar nomor satu dari laki-laki ini, meski dia akan selalu lebih memilihku.

Aku mencuri-curi pandang dari layar ponselku untuknya yang sekarang terlihat sedang memainkan ponsel juga. Saat aku sedang melihat wajahnya serius dengan kerutan di kening—ekspresinya nyaris di setiap bermain ponsel—aku disadarkan oleh denting ponselku sendiri. Seketika napasku lolos lega membaca jawaban dari calon donaturku yang mengatakan dia juga sudah sampai.

Aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru kafe ini, tetapi tidak melihat ada tanda-tanda orang yang sedang mencari seseorang juga. Memastikan sekali lagi isi pesannya, dia tidak mengatakan apa pun selain pemberitahuan dia sudah datang. Persetan! Aku harus segera bebas dari Goga dan menyelesaikan pekerjaanku, maka aku memutuskan untuk menelepon calon donatur kami dan aku malah melihat Goga juga sedang membawa ponsel ke telinganya, sementara layar di ponselku menunjukkan bahwa panggilan sudah diterima, detiknya berjalan.

Ini hanya kebetulan, kan?

Bukan dia orangnya, kan?

Aku juga mengarahkan ponsel ke telinganku. Mataku dan Goga saling tatap. Dia mengucapkan kata; "Halo?"

Aku mendengar suaranya dari dua arah, dari mulutnya langsung dan lewat speaker di ponsel ini.

Entah apa yang Tuhan rencanakan untuk kehidupanku setelah hari ini, tetapi yang pasti aku melihat langsung ekspresi Goga yang menertawakanku setelah menutup panggilan dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ada beberapa hal yang mungkin dia tertawakan.

Pertemuan kembali kami berdua setelah sekian abad

Kondisiku yang mungkin di matanya tak terlihat seperti 'I'm living my best life'

Jenis bisnisku yang malah membawaku bertemu dengannya

Mau yang mana pun dari ketiga itu, yang jelas, aku berharap dunia berakhir detik ini juga.



---

haiiii! cuma mau bilang kalau setiap nulis cerita, biasanya aku selalu pake satu lagu yang aku puter terus. beda cerita, beda lagu. nah, buat Goga dan Eila ini, aku dengerin The Night We Met by Lord Huron😭😫

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top