tymL || 10
Udara di ruangan apartemen milik Goga mendadak hilang. Sejak kembali duduk di kursi pembeliannya ini, aku kesulitan menarik napas. Aku tahu, semua ini karena rasa marahku padanya, yang sialnya tidak bisa terlampiaskan. Aku tidak mungkin ngamuk padanya karena hubungan kami sekarang adalah hubungan profesional.
Kalau dikira adegan tadi sudah yang paling tidak masuk akal terjadi dikehidupanku, dengarkan kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir yang dulu paling aku kagumi. "Hari ini kita ke kampung Nenek."
Orang waras jelas akan bereaksi sepertiku; tertawa sambil menggeleng-geleng keheranan. Entah apa yang ada di otaknya, sampai dia merasa dia bisa menentukan aku harus melakukan apa, ikut dia ke mana-mana. Well, aku memang bekerja dengannya, aku menerima pembayaran atas jasa yang aku berikan, tapi pulang kampung bersamanya?!
Big no!
Ini bukan acara main rumah-rumahan.
"Ei?"
Aku mengangkat tangan. "Ngomong sama gue waktu otak lo udah bener."
Dia malah tertawa pelan. Aku benci reaksi itu. Sebuah tawa yang hadir ketika kita merasa bahkan level kemarahan sudah di tingka tertinggi, menurutku itu penghinaan. "Gue serius. Nenek pulang subuh-subuh tadi. Dia marah. Dia emang udah biasa ngambek dan marah tiap abis ngobrol soal keluarga, karena gue yang bebal, tapi kali ini gue ngerasa takut."
Amarahku perlahan memudar.
Topik tentang keluarga akan selalu menarik dan membuat kita menjadi manusia yang lebih bersimpati dan berempati, tak peduli bagaimana keadaan keluarga kita sendiri. Misalnya, seseorang yang tak pernah disayang oleh ayahnya, tidak menjamin akan biasa saja ketika melihat kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang ayah pada anaknya. Itulah yang terjadi padaku. Keluargaku memang belum bisa aku bangga-banggakan sebagai keluarga harmonis, tetapi mendengar keluarga orang lain sedang bermasalah akan membuatku merasa sedih juga.
Ekspresi Goga menambah kesedihanku, meski aku tidak tahu dia sedang akting atau sungguh-sungguh.
"Dia minta lo buat ninggalin Jakarta, ya?" Aku menggeleng pelan. "Maksud gue ... BSD."
Kepalanya mengangguk.
"Kenapa?"
Wajahnya terlihat bingung.
"Maksud gue ... kenapa dia pengen banget lo ninggalin kehidupan ini dan balik ke tempat yang ... sorry to say, tapi kan Nenek lo sendiri yang bilang keadaan di sana. Gue nggak bilang di sini lebih baik, terus orang-orang yang di sana itu menyedihkan. Tapi soal keinginan hati gitu lho, Ga. Kalau lo emang mau hidup di sana, ya nggak masalah, bagus, lo pasti akan berusaha menikmati hidup lo. Nah, ini masalahnya, lo berjuang hidup di sini dan perjuangan lo kelihatan berhasil. Lo maunya di sini, kan? Tapi terpaksa harus ke sana?" Aku mulai menahan napas saat melihatnya kembali tertawa pelan. "Lo bisa nggak sih nggak ngetawain tiap gue ngomong? Lo bisa nggak sih anggep gue serius dikit?"
"Sorry, sorry, bukan ke situ. Gue ketawa karena ... lo lucu."
"See? Karena gue bahan lelucon, buat hiburan, semua omongan yang keluar dari anak mama yang nggak tahu kehidupan akan selalu jadi lelucon."
"Eila?" Matanya berubah menjadi sangat serius. "Anggepan lo lucu nggak pernah ada makna penghinaan. Lo selalu salah paham sama gue."
Aku mengembuskan napas kasar. "Terserah lo deh."
"Gue bilang lo lucu tadi itu karena ... lo beneran percaya ya sama cerita Nenek waktu itu?"
"Maksudnya? Kenapa gue harus nggak percaya? Dia Nenek lo, dan dia ceritain kehidupannya di sana yang gue nggak tahu, kenapa gue harus nggak percaya?"
"Itu kenapa gue bilang lo lucu." Goga mengembuskan napasnya kencang. "Nggak ada kehidupan kayak gitu di sana, gue nggak pernah lihat ada kehidupan kayak gitu, Ei. Gue nggak bilang semuanya, tapi at least, di lingkungan gue nggak ada. Dulu anak-anak mandi ke kali ya karena main-main, seru-seruan. Sama kayak anak-anak di kota ke kolam renang umum, ke mall, ke mana tempat bermain anak. Kehidupan Nenek di sana cukup, kehidupan gue cukup. Mungkin muka gue kelihatan kasihan, kehidupan gue nggak kayak lo, tapi beneran, bukan karena kondisi hidup itu yang bikin gue nggak mau tinggal di sana."
"Jadi maksud lo ... Nenek lo ngerjain gue?"
Dia tersenyum dan mengangguk.
Aku sudah membuka mulut, tetapi menutupnya rapat kembali. Kalau dia yang melakukan itu padaku, sudah pasti aku akan memberinya kalimat panjang atau kata-kata tidak enak didengar, dengan tambahan jari tengah. Tapi ini Neneknya, perempuan baya, mana mungkin aku akan memakinya meski hanya di hadapan cucu kesayangannya ini. "Speechless gue," ucapku tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. "Mana Nenek serius banget lagi ceritanya."
"Elo juga serius banget dengerinnya."
"Ya mana gue tahu kalau lagi boongin. Lo juga ya! Bener-bener ngikutin alur. Buat apa sih bohongin kayak gitu!"
"Nenek nggak berhenti bahas itu, katanya orang kota itu lucu-lucu, polos-polos." Goga tertawa setelah mendengar teriakanku yang tak percaya dengan kalimat Nenek. "I know right? Polos apanya gue juga nggak paham maksudnya Nenek."
"Terus kenapa lo nggak mau hidup di sana, Ga?"
"Karena kehidupan gue di sini?"
"Tapi lo orang yang kelihatan gampang kok membangun kehidupan lo lagi. Bangun pertemanan, relasi sama orang tua atau muda aja lo kelihatan luwes banget."
"Kalau lo mau hidup di sana juga, gue nggak akan pikir panjang."
"Bener-bener lo ya!" Aku menatapnya tajam. "Seolah ini semua ada di gue, seolah gue yang bikin hidup lo berantakan, bikin keluarga lo goyang. Padahal gue nggak ngapa-ngapain, gue juga nyelametin diri gue, emang nggak boleh? Lo harus bisa nerima kalau semua nggak harus kayak yang lo mau, Ga. Masa kita emang udah berakhir, Ga, please, move on!"
"Elo udah move on?"
"Udah lah!"
"Gimana caranya? Siapa tahu kalau pake cara lo, gue juga berhasil."
"Pergi. Cara paling ampuh buat sembuh itu ya lari dari yang bikin kita sakit, Ga. Dulu gue minggat dari sini, karena rasanya tiap sudut itu ngingetin semuanya. Emang nggak gampang, masih penasaran pengen lihat, pengen tahu kabar, liat sesuatu keinget, parfum inget, makanan bikin inget. Tapi yang cukup selalu diinget adalah gimana sakitnya. Jalur ilfil atau benci atau marah mungkin jauh lebih cepet bikin move on."
"Gue nggak punya semua itu."
Aku terdiam.
"Gue nggak benci lo, nggak ilfil sama lo, cuma tiba-tiba aja lo putusin. Okay, gue paham alasan lo masuk akal, kesalahpahaman itu masuk akal. Tapi lo pernah nggak sih, Ei, mikir? Kalau mungkin, mungkin aja kita tuh sama sekali nggak pernah toxic, sekali lagi gue bilang dan akan selalu bilang kalau gue nggak pernah setuju sama pelecehan jenis apa pun, mau ke cewek atau cowok. Apalagi yang jadi korbannya adalah orang yang gue sayang." Aku merasa sangat dejavu ketika melihat dirinya sedang menjelaskan sesuatu yang serius. Selalu seperti ini. Selalu menarik dan mengagumkan, dulu. "Ributnya kita dulu, cemburunya kita dulu, gue paling banyak, itu karena kita emang masih muda. Otak kita pada masa itu ya mampu bekerjanya segitu, semuanya itu proses. Sekarang juga masih muda sih, tapi otak manusia terus berkembang kan, Ei? Buktinya lo yang dulu mau nolak ajakan main temen lo aja minta tolong gue atau Sasha, sekarang lo bisa sendiri, kan? Jadi mungkin, masa kita sebenernya belum berakhir. Sebenernya bisa terus lanjut dengan semua perkembangan-perkembangan kita."
"Ya Allah, Ga, please?" Aku menutup wajah, benar-benar tidak tahu harus meresponnya seperti apa lagi. Aku kembali menatapnya serius. "Coba gue tanya, lo udah pernah coba sama cewek baru? Karena lo nggak akan pernah tahu—"
"Udah. Jangan bilang gue nggak coba beneran, gue coba beneran, Ei. Gue pelajari love language, MBTI, sampe zodiak asal lo tahu biar bisa cocok." Hal-hal yang memang aneh baginya, ternyata dia pelajari beneran. Mungkin aku harus membantunya di sini. Lama-lama juga kasihan dengan anak sebatang kara ini. "Tapi gue malah ngerasa kayak penjahat. Gue ngerasa nggak tenang, karena kayak mainin dia."
"Ya Allah, emang sakit sih kalau kita coba hubungan sama orang yang belum selesai masa lalunya."
"Apa itu artinya? Lo juga pernah coba sama cowok baru yang belum selesai sama masa lalunya?"
Aku memutar bola mata. "Gue mah anti ya move on jalur orang baru. Nggak perlu. Gue bisa sendiri." Aku mendengar lolosan napas lega dari mulutnya. "Tapi yaaa sekarang sih gue udah siap buat membuka hati lagi. Gue udah sembuh, hati gue kayak baru lagi, dan gue siap sama hal-hal indah percintaan."
"Yaudah gue aja yang masuk."
"Apaan sih lo! Gue bilang orang baru, ya!"
"Kita, kan, udah lama nggak ketemu. Jadi gue udah bisa dibilang orang baru kok."
Aku tersenyum sinis. "Lucu lo. Lagian, yaaa, gue tuh curiga lo tuh cuma kayak belum puas aja gitu lho, Ga. Sebenernya lo udah nggak ada rasa sama gue, tapi lo tuh masih dendam, masih belum nerima karena gue yang mutusin. Nih ya, seandainya kita balikan pun, lo juga akan mati rasa, kayak ... oh ternyata kemarin cuma karena belum ikhlas aja, sebenernya udah nggak ada rasa apa-apa. Gitu."
"Yaudah dicoba. Kita buktiin kalimat lo tadi." Mendengar itu aku sampai menganga. "Kita balikan, dan kita lihat apakah gue cuma karena belum ikhlas diputusin apa gimana."
Aku menggeleng-geleng keheranan.
"Lo siapin kata-kata buat izin ke nyokap lo, Ei. Kita berangkat nanti sore, bareng Ryan nggak pa-pa deh, buat gantian nyetir."
"Goga! Lo nggak bisa nyuruh-nyuruh gue seenaknya, ya! Tugas gue cuma jadi pacar pura-pura."
"Ya ini. Pacar pura-pura di depan Nenek juga, kan? Nah, dia di rumahnya sekarang, minta gue bawa lo ke sana."
Aku tidak tahu akan sepanjang ini!
Tahu begini, aku buat aturan untuk pembatasan wilayah.
---
heyhoyyyy! jangan lupa baca ini doooooong. di karyakarsa udah sampe bab 17 yawww! jangan lupa ingetin ajaa kalau aku kelamaan update huhu. gapapaa, tidak akan ngamuk kok akuuuuuu. muach!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top