tyml || 1

"Ilegal lagi?"

Pemilihan kata dan ekspresi yang ditunjukkannya ini akan dipahami oleh orang lain seolah aku adalah kriminal. Seorang bandit. Padahal, yang aku lakukan adalah bisnis mudah dan menyenangkan, benar-benar menghiburku, aku ceritakan padanya sebagai satu-satunya manusia yang tidak akan pernah ada rahasia darinya. Tapi lihatlah bedebah ini, lihatlah pemilihan katanya untukku yang katanya separuh hidupnya.

"Lo kalau emang udah muak dan nggak sayang lagi sama gue, kata gue juga apa, Sha, bilang. Jujur. Gue nggak pernah ada apa pun yang gue tutupi, semua perasaan dan rahasia dalam hidup gue, gue ceritain ke lo."

Dia meringis. "Lo tahu? Justru mungkin itu masalahnya. Karena kehidupan dan kepala lo sama luber isinya, makanya lo berharap gue juga punya sesuatu buat gue ceritain ke lo. Padahal ya emang nggak ada! Lo mau gue ceritain masalah ranjang gue sama suami, kagak mau. Mertua gue baik, yang bermasalah cuma suami dari ipar gue aja kadang ganjen, dan lo udah tahu. Sekarang lo maksa gue bilang gue nggak sayang sama lo dalam posisi, kita belum tidur sampai sekarang jam dua dini hari, Eila. Laki gue dinas, gue punya waktu sendirian dan gue manfaatin itu buat sama lo, dan lo masih bahas perasaan gue?"

"Jadi nggak ikhlas?"

Dia meludahiku tanpa benar-benar meludahiku.

Aku terbahak-bahak. "Lagian lo kenapa nikah cepet banget sih! Waktu kita jadi sedikiiit. Iya tahu alasannya udah pasti karena nggak akan ada yang sanggup handle lo selain Bang Malik, tapi kan bisa nanti dulu. Bareng kek sama gue."

"Ini hidup gue, ngapain lo yang repot."

Aku meliriknya tajam.

Sasha berdeham dan mengangguk-anggukkan kepala. "Yaudah, anggap yang lo lakuin ini beneran bikin lo happy, ngerasa berguna sebagai manusia yang penuh hak asasi kayak yang selalu lo mention itu. Sekarang pertanyaannya, kalau nyokap dan kakak lo tahu, lo gimana? Itu kenapa tadi gue bilang ini ilegal, karena mereka nggak tahu apa yang lo lakuin ini, kan?"

"Gue gimana?" Aku tertawa sembari mengibaskan rambut. "Lo nanya gue gimana ketika nanti mereka tahu? Kalau ada orang yang paling tahu perasaan gue ke mereka, itu udah pasti elo orangnya, Sha. Gue nggak peduli sama mereka. Lagian, mereka juga nggak akan peduli apa yang gue lakuin, sih. Yang penting gue napas di rumah, anteng, itu udah cukup buat mereka."

"Tapi gue tahu lo sayang sama mereka, Ei."

"Apa sih rasa sayang, kayaknya nggak penting-penting amat buat hidup." Sasha belum sempat merespon kalimatku, handphone-ku berdenting terus-menerus. Beberapa chat datang bersamaan di dalam grup bisnis baruku. "See?" Aku menunjukkan layar handphone pada Sasha dengan senyuman lebar di wajahku. "Lo nggak tahu betapa menyenangkanya ini. Mengobati kesepian orang lain, tau kalau ternyata sebanyak itu orang butuh manusia lain dalam hidup."

"Itu apa? Gimana sih cara kerjanya tadi?"

Aku meliriknya tajam. "Lo tuh nggak bener-bener dengerin gue ya?"

"Bukan nggak denger! Ini tuh aneh, gue masih nggak paham gimana detail berjalannya. Buruan jelasin kalau mau, kalau nggak mau yaudah sih."

Aku memukul lengannya, membuatnya tergelak, tetapi kemudian dia kembali menyimak saat aku menjelaskan satu per satu berdasarkan isi grup aku dengan beberapa partner kerjaku. Entah bagaimana aku menyebut mereka, karyawan juga terlalu profesional, karena ini buatku hanya mai-main.

"Lo lihat? Ini yang handle customer. Simpelnya lo bisa sebut dia admin. Dia yang akan balesin pertanyaan-pertanyaan, tawar menawar karena manusia ada aja deh kelakuannya, negosiasi sama permintaan yang aneh-aneh. Pokoknya, posisi ini nggak akan cocok buat lo." Aku terkekeh saat Sasha melirikku seolah dia siap menerkamku. "Ya sama, gue juga. Yaelah, bisa diatur santai nggak tuh matanya, Jeng. Nah dia ini awalnya santai, lama-lama kewalahan karena kadang orang chat sekali banyak. Sementara admin cuma dia dan partner-partner eksekusi cuma beberapa biji."

"Partner eksekusi apa sih! Lo pake bahasa manusia deh, Ei!"

Aku tertawa kencang. "Okay. Partner eksekusi tuh, ya mereka yang nanti kerja sama bareng customer kita. Sesuai perjanjian awal tadi. Misal ada yang minta cuma buat temen kondangan sehari, ya berarti partner eksekusi yang gue maksud tuh akan nemenin si customer sehari gitu."

"Ada berapa tuh?"

"Tadinya cuma dua. Sekarang kayaknya sepuluh itu pun sering bentrok, kasihan juga kalau kebanyakan customer dalam waktu bersamaan, bisa nggak maksimal dia meranin perannya."

"Jujur gue ngeri sama deskripsi lo sejak tadi."

"Kenapa?"

"Kayak human trafficking, cuy!"

"Hus! Lo yang bener deh, Sha, kalau ngomong."

"Serius, tapi itu ada jaminannya nggak? Si partner-partner eksekusi lo itu terjamin aman nggak? Mana tahu lo tetiba ada psikopat yang nyewa buat kondangan, ternyata dimutilasi di mobil gimana?"

Aku menatapnya mulai malas. "Lo serius mau dukung gue nggak?"

"Gue dukung kalau lo bisa jawab keamananya. Mungkin buat lo ini menyenangkan, sepele, tapi kayak yang gue bilang, ini aneh. Lo kayak nggak ada hal lain yang bisa lo jadiin hal menyenangkan sih, Ei."

Aku mengembuskan napas lelah. "Sejauh ini aman kok."

"Sejauh ini? Beneran nggak ada jaminan?"

"Kartu identitas?" tanyaku ragu-ragu.

Sasha terbahak-bahak. "Ini pinjol kah? Minimal pake aplikasi, biar ada sistem yang mantau. Kayak ojek online tuh, kan ada jaminan."

"Ya, kan, gue baru mulai! Itu kenapa lo harus dukung gue, kalau ini berhasil, jangankan jaminan lewat aplikasi, gue bawain bodyguard buat tiap partner eksekusi gue. Catat itu."

Sasha mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi mungkin, yaaa ... okay, gue tahu hubungan lo sama nyokap nggak bagus, tapi mungkin udah saatnya lo belajar sama dia gimana dalam berbisnis, Ei."

"Kayak gue nggak pernah coba minta aja, Sha. Lo jadi temen gue berapa lama sih?"

Sasha terdiam.

Mama tidak akan pernah mengajarkanku apa pun dalam berbisnis karena aku perempuan. Mama adalah manusia yang memupuk dengan istimewa budaya patriarki. Bersumber dari dalam rumahku, lalu nantinya akan dibawa keluar oleh kakak laki-laki itu, disebarluaskan ke orang-orang sekitarnya, mungkin pasangannya, mungkin anak-anaknya nanti, keluarga pasangannya, begitu seterusnya.

Bagi Mama, aku hanya perlu bangun tidur dan mensyukuri setiap nikmat Tuhan yang diberikan padaku. Tak pernah kekurangan. Tak perlu bekerja untuk mendapatkan sesuatu. Aku hanya perlu menikmati. Menuruti. Nanti hingga tiba saatnya aku menikah, aku pun masih akan begitu, menjadi pemuas nafsu suami, menunggunya pulang mencari nafkah, menghiburnya yang kelelahan bekerja, memberi saran itu pun kalau diajak diskusi, melahirkan generasi untuk suamiku, merawatnya hingga besar, lalu aku meninggal dan akan dikenang sebagai istri dari suamiku yang hebat.

Atau mungkin bagi Mama, aku hanyalah pelampiasan karena dia tidak lagi bisa menuntut penjelasan apa pun atau membalas dendam pada Papa. Almarhum Papa. Mungkin juga, seandainya Papa masih di sini, aku tidak akan menjelaskan hal-hal paling menjijikkan tentang agenda kehidupanku sampai aku meninggal tadi.

Mungkin aku bisa menjadi salah satu perempuan hebat dengan jalan hidup pilihannya.

Bukan anak burung emas yang terkurung di kandangnya.

Di perjalanan pulang ke rumah, saat aku sedang syahdu-syahdunya melamun, aku dikejutkan dengan dering telepon. Admin-ku. Kami sudah punya kesepakatan, kalau memang ada hal sangat mendesak, aku melarangnya mengirim pesan, tetapi langsung saja menelpon.

"Halo, Dira, gimana?"

"La, kita dapet jackpot!"

Aku tertawa. "Tell me the deets, please!"

"Ada customer yang chat dari awal nggak nanya price list, tapi dia langsung jabarin kebutuhan dan dengan note di-bold kalau dia siap bayar berapa pun, tanpa negosiasi harga."

Senyumanku melebar. "Tapi?"

Gantian Dira yang sekarang tertawa. "Kok tahu sih kalau ada tapinya." Mendengar itu aku memutar bola mata. Karena itu kenapa dia memutuskan meneleponku, kan? "Masalahnya partner eksekusi kita udah abis. Beneran nggak ada yang kosong buat waktu yang diminta sama ini. Bisa aja sih batalin satu toh bayarannya—"

"Dira ... nggak kayak gitu caranya, kita udah bahas ini berkali-kali, okay?"

"Okay, sori, sori. Terus menurut lo ini gimana?"

"Bentar ...."

"Atau gue aja turun tangan? Atau cari yang lain dulu?"

"Dia butuhnya kapan?"

"Besok."

"What the hell?!"

"Ada masalah Mbak?"

Aku menekan mutes di layar handphone dan tersenyum pada Ryan, sopir pribadiku. "Enggak, Yan, aman. Sori, sori." Aku kembali pada Dira dan mengembuskan napas. "Dir?"

"Ya? Gimana?"

"Kebutuhan dia apa sih?"

"Katanya sih buat dikenalin ke keluarga gitu, pura-pura, formalitas sehari itu doang." 

Ya jelas pura-pura, Dira, ini, kan memang tujuan dari apa yang kita lakukan. Kalau beneran, namanya jual beli beli manusia, seperti kata Sasha. Aku membersihkan tenggorokan. "Okay, ada kriteria khusus nggak yang dia minta?"

"Nggak ada. Aneh juga ya, tapi mungkin sekepepet itu. Makanya siapa aja, lah. Tapi bagus juga, nggak banyak mau."

Aku tertawa pelan. "Yaudah, lo iyain, terus detailnya nanti tolong kabarin gue ya?"

"Tapi siapa yang ambil, La?"

Aku menarik napas dalam-dalam, sebelum menghembuskannya pelan. Belum ada 24 jam Sasha memberi peringatan akan hal menyenangkan ini, aku sudah mendapatkan batunya. Okay, tenang, Eila. Ini hanya batu kerikil biasa. Ukuran kecil. Kecil sekali. "Gue yang dateng nanti, Dir."

"DEMI APA?!"

Demi kewarasan dan harga diriku di depan Sasha.



---

hai, haiiiii!

apakah bidadari-bidadariku ada yang masih inget sama cowok ganteng keringetan abis lari di komplek ituuu? yang nyapa Uthi dikiit tapi diinget sampe ending cerita AWOKWOK. 

Goga Abinawa. nggak mungkin cuma muncul seupil di kehidupan kita, jadi ayooooo ramaikan cerita ini seperti kita kesemsem sama remaja ponpes, the one and only Alsaki ituuuuhhh! 

sampai jumpa part depan, seperti biasa, nanti yang mau baca lebih cepet di karya karsa yaa, mau baca di sini jugaa sangat-sangat bisaaa, muach!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top