June 13th .
Sub genre: Teenfic
Alan menepuk keningnya berkali-kali, menyalahkan diri sendiri. Dia mendengkus seraya menatap Yoru. Kemudian, dia melihat Harvey yang sibuk menyetir mobil.
"Haruskah aku kembali ke Buitenzorg?" tanyanya.
Harvey terkekeh. "Er ... kau bilang saja pada pamanmu soal ini, Nak," jawabnya terdengar ragu. "Sebaiknya, setelah kau sampai di rumah nanti, segeralah istirahat."
Akhirnya, Alan hanya bisa menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Mata birunya melihat ke luar jendela di mana tumpukan salju sudah menggunung di tepi jalan.
Norway terletak lebih dekat ke daerah pesisir. Pekerjaan utama penduduk di sana adalah nelayan. Ibu Alan adalah salah satu dari sekian pemilik bisnis kapal motor di sana. Perempuan itu menjalankan usahanya seorang diri, merintis setelah ayah Alan meninggal saat bekerja di tengah laut.
Alan tidak ingin mengingat itu lagi. Dia depresi dan membuat sang ibu harus mengirimnya ke Buitenzorg, menjauh dari laut demi kewarasannya. Namun, kali ini, sepertinya Vienna kesepian. Dia ingin putra tunggalnya itu tinggal bersamanya.
****
Alan membuka mata dan hal yang dia lihat pertama kali adalah pemandangan dari luar jendela kamarnya. Suara debur ombak menggelegar menembus rungu. Sinar semu matahari tampak merasuk ke kamar melalui tirai putih tipis yang sengaja di pasang di jendela.
Pemuda itu bangun dan mengucek netranya. Dia menoleh ke sana kemari mencari sesuatu, tetapi tidak ditemukannya. Alan akhirnya beranjak dari kasur dan ke luar kamar.
Kemarin sore akhirnya dia sampai di rumah tua Vienna, sang ibu. Pemuda bernama lengkap Alan Jackson itu langsung disambut dengan peluk rindu ibunya, sebelum akhirnya diajak masuk ke rumah. Namun, hari ini kembali seperti biasa. Alan tidak menemukan sang ibu di rumah.
Dia memutuskan untuk ke belakang rumah mencari udara segar. Duduk di cabang pohon ek yang merunduk di sana sambil mendengarkan deburan ombak di dasar tebing di bawah sana. Letak rumah Alan memang di atas bukit, sedikit jauh dari pesisir pantai. Namun, tetap saja suara ombak bisa terdengar olehnya.
Baru saja menikmati indahnya pemandangan pagi itu, seekor hewan dengan kaki-kaki mungilnya melompat ke atas dahan dan duduk di samping Alan. Pemuda itu menoleh dan tersenyum.
"Baru bangun?" tanyanya.
Kucing itu menguap sejenak. "Aku sudah berburu ikan asin dari tadi," jawabnya. "Kau sedang memikirkan apa?"
"Batu dukun itu ...." Alan sedikit bergumam. "Bagaimana cara kita menemukannya?"
Yoru terdiam. Mata kuningnya memandang kejauhan. "Apa kau yakin kau menjatuhkannya di permainan itu?"
Alan mengangguk. "Bagaimana caranya aku berbicara pada Paman soal batu itu?"
"Seberapa penting?"
Pemuda 15 tahun itu menoleh. "Apanya?"
"Seberapa penting Alexandrite bagi pamanmu? Batu itu kan ... milik kakekmu."
Alan kini terdiam. Dia kembali berkutat dengan pikirannya sendiri.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top