8. Toxical Side of Positivity


Pernahkah kalian curhat pada seseorang lalu dia merespons dengan kalimat-kalimat semacam ini:

"Pasti ada alasan di balik semua ini, sabar, ya."

"Lihat sisi positifnya saja."

"Coba alihkan ke hal-hal yang bikin kamu senang, nanti juga perasaan itu hilang sendiri."

"Itu masih mending loh, ada yang pernah ngalamin yang lebih buruk."

And something like that. Mungkin kalian juga sering menemukannya sebagai quote di  media sosial atau buku motivasi. Kalimat-kalimat seperti ini memang kelihatannya menghibur, menyemangati, memberi support, juga amat positif. Sayangnya, jika penerima atau pembacanya sedang dalam situasi down atau baru tertimpa musibah berat, yang akan terjadi justru kebalikannya.

Ingat... Tidak semua hal bisa diatasi dengan hanya berpikir positif dan kemudian let it go.

Alih-alih bisa terhibur dan merasa lebih baik, mereka malah bisa merasa semakin tertekan. Keterpurukannya ditambah dengan rasa bersalah karena tidak bisa bersikap positif, dan atau malah merana karena berpikir bahwa tidak ada yang bisa memahami perasaannya. Dalam kasus yang lebih buruk, ini bisa menyebabkan orang tersebut mengalami depresi atau bahkan psikosomatis.

Inilah yang disebut sebagai toxic positivity. 

Sumber gambar: Pixabay

Fenomena sosial toxic positivity jelas bukan hal yang baru muncul belakangan ini saja, tetapi istilah itu memang bisa dibilang baru marak terdengar sejak tahun 2019 lalu.

Istilah tersebut mulai populer sejak tagar serta topik mengenai toxic positivity meramaikan media sosial, bahkan masuk ke dalam daftar trending di Indonesia.

Jika diterjemahkan secara harfiah, frasa tersebut memiliki arti "kepositifan yang beracun". Dibaca sekilas saja mungkin sudah terasa ganjil. "Positif", tapi beracun? Maksudnya gimana?

Nah, coba simak ulasan berikut untuk memahami "racun-racun" dari kepositifan ini.

💬💬💬

Toxic positivity bisa didefinisikan sebagai sebuah konsep yang meyakini bahwa kepositifan adalah segalanya. Bahwa kita harus selalu berpikiran positif dan menenggelamkan emosi negatif. 

"Positive vibes only!" Sederhananya begitu.

"Lah, itu enggak salah, 'kan?" Mungkin itu yang ada di benak kalian saat ini. Hmm, sayang sekali, sebaliknya, itu justru adalah sebuah anggapan yang salah.

Toxic positivity berbeda dengan sikap optimis. Toxic positivity adalah berfokus hanya pada yang positif dan menolak serta menyingkirkan hal negatif. Sedangkan optimisme adalah sikap berprasangka baik serta melihat sisi baik dari segala hal, tetapi tidak lantas menjauhkan emosi negatif.

Orang-orang yang bersikap optimis tetap merasakan rasa sedih, frustrasi, dan sebagainya, tetapi mereka tidak menolaknya, karena mereka tahu bahwa perasaan-perasaan itu wajar dalam situasi yang mereka alami.

Tipis sekali bedanya dengan toxic positivity, bahkan prinsip dasarnya sebenarnya sama. Akan tetapi, dampaknya amat sangat berbeda.

💬💬💬

Emosi Negatif

Kita umumnya beranggapan bahwa emosi negatif bukanlah sesuatu yang baik, menggerogoti batin, dan alangkah bagusnya jika bisa disingkirkan sesegera mungkin. Namun, menurut para ahli, hal itu tidak benar.

Emosi atau perasaan sesungguhnya berfungsi sebagai petunjuk, memberikan informasi mengenai situasi yang kita alami. Contohnya, jika kita merasa sedih berpisah dengan teman-teman sekolah saat wisuda, itu berarti kebersamaan dengan mereka sungguh menyenangkan dan atau memiliki kenangan indah.

Sejatinya, tidak ada emosi yang benar-benar negatif. Kehadiran emosi yang terasa membebani seperti sedih, kecewa, frustrasi, semua itu justru membuat kita belajar untuk mengatasinya. Belajar untuk mengenali apa yang benar-benar dirasakan dan kemudian menyelesaikannya. 

Sumber gambar: Pixabay

Namun, seringkali kita menekan perasaan-perasaan semacam itu, menenggelamkannya, kemudian menghadirkan pemikiran positif untuk menutupinya. Tersenyum lebar seolah semuanya baik-baik saja. Kalian pasti mengenali kondisi semacam ini. Kita sering menyebutnya mengenakan topeng. Berpura-pura bahagia.

Biasanya karena kita merasa bahwa perasaan negatif dari hal-hal menyakitkan dalam hidup membuat kita lemah atau dipandang buruk oleh orang-orang. Stigma masyarakat. Coba, pernahkah kau merasa enggan mengatakan apa yang sedang kau rasakan karena merasa malu, ragu, atau takut akan dihakimi?

Padahal, dengan cara seperti ini justru emosi negatif tadi tidak hilang. Hanya dikubur dalam-dalam, tetapi ia masih ada. Berikutnya ia akan tertumpuk oleh emosi-emosi baru, dan sesudah beberapa lama akan menjadi gunungan besar yang dapat amat memberatkan hati.

Ada contoh sederhana yang mungkin cukup bisa menggambarkannya. Bayangkan kita membiarkan sebuah kaktus tumbuh di dalam hati. Kita mengabaikannya, berusaha tidak menganggapnya ada, berharap ia akan mati jika tidak diurus. Namun, ia terus berakar dan berkembang, dan lama-kelamaan menyesakkan ruang hati. Belum menghitung duri-durinya yang tajam menyakitkan.

Seperti itulah kira-kira yang terjadi jika emosi negatif dikesampingkan tanpa dihadapi. Kita berharap ia akan reda sendiri. Akan tetapi, dengan membuat sugesti pada diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja, kita justru tengah membuatnya semakin buruk, karena faktanya, tidak ada manusia yang bisa selalu bahagia. Tidak ada manusia yang selamanya kuat.

It's okay to have those feelings. Dengan mulai mencoba untuk menerima bahwa perasaan semacam itu adalah bagian dari diri kita, mengakui keberadaannya, serta meyakini bahwa perasaan tersebut tidaklah salah kita rasakan, kita lebih mungkin untuk merasa lebih baik dibanding menyangkal dan menjauhkannya.

Selain itu, kita juga bisa menceritakannya kepada orang terdekat, untuk meringankan beban pikiran. Tidak akan "semudah" berpura-pura, tetapi hasilnya bisa jauh lebih menenangkan. Nah, tetapi hati-hati juga, di sini pun masih ada potensi terjadi toxic positivity, bahkan lebih rentan lagi.

💬💬💬

As A Listener

Kalau di atas tadi mengulas tentang toxic positivity yang dialami oleh individu, kali ini adalah mengenai toxic positivity yang sering terjadi saat seseorang menceritakan masalahnya kepada orang terdekatnya.

Seperti yang sudah digambarkan di awal, saat kita curhat pada seseorang, mungkin saja mereka akan menanggapi dengan: "Sabar ya, semua ini pasti berlalu, kok." "Semangat, kamu pasti bisa melalui ini." "Mungkin kelak ada hikmahnya." Dan lain-lain.

Kita sudah mengetahui bahwa ucapan-ucapan semacam itu cenderung bersifat sebagai toxic positivity. Dalam hal ini, mungkin kita tidak bisa mengendalikan perkataan semacam itu yang terucap pada kita, tetapi kita bisa mengendalikan diri kita agar menghindari bercerita pada mereka atau semacamnya. Yang perlu diwaspadai sekarang adalah saat justru kita yang mengucapkannya.

Menurut para ahli, sangat mungkin bahwa kita mengatakan kalimat-kalimat yang terlihat menyemangati dan sederhana itu karena jauh di dalam hati sebenarnya kita tidak nyaman mendengar cerita tentang masalah orang lain. Tidak betah dengan aura yang timbul saat bercerita. Akibatnya, kita kemudian memberi respons pendek yang kita anggap cukup sebagai solusi, "Lihat sisi positifnya saja!"

Sumber gambar: Pixabay

Tidak semua orang akan lantas merasa lebih baik dengan perkataan seperti itu, meskipun kita mengucapkannya dengan senyum semanis madu. Positive thinking di sini tidak realistis. Jelas-jelas ia sedang amat sedih dan tertekan, lalu dengan gampangnya kita bilang begitu? Mudah bagi kita mengatakannya karena kita tidak sedang mengalaminya.

Atau malahan, karena tidak punya ide bagaimana menjawab ceritanya (dan pasti amat sering terjadi), kita kemudian menceritakan pengalaman serupa milik kita sendiri sebagai perbandingan, dan ia kemudian terpaksa mendengarkan. Hmm... Jadi siapa sebenarnya yang sedang bercerita dan perlu bantuan di sini?

Dengan bercerita pada kita, mereka yang sedang mengalami masalah berat akan berharap bisa merasa lebih baik. Dalam hal ini, respons berupa toxic positivity tidak akan menolong sama sekali. Sebaliknya, kalimat-kalimat empati dan dukungan-lah yang bisa amat membantu.

Tabel di bawah ini memberikan beberapa contoh perbandingan kalimat empati dengan toxic positivity. Simak perbedaannya.

Sumber gambar: https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/

Dari tabel tersebut, bisa dilihat bahwa kalimat-kalimat empati sedikit lebih panjang dibanding toxic positivity, tetapi isinya jauh lebih menenangkan. Terasakah oleh kalian?

Dr. Allison Niebes-Davis, seorang psikolog klinis dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa kesederhanaan kalimat toxic positivity hanyalah salah satu ciri dari fenomena tersebut. Total ada tiga ciri yang ia sebutkan melalui laman dan channel Youtube pribadinya.

1. Sangat sederhana

Kalimatnya cenderung sederhana, seperti contoh di tabel tadi. Jika seseorang bercerita panjang lebar, tetapi kita menjawabnya hanya dengan satu baris kalimat pendek, besar kemungkinan itu termasuk toxic positivity.

2. Tidak mengakui atau memberikan tempat untuk luka dan kesedihan

Contoh paling konkret adalah pada kalimat "Positive vibes only!" Bagaimana dengan negative vibes kalau begitu?

3. Menggunakan kata-kata yang bersifat "semuanya", "tak satu pun"

Kalau dalam bahasa Inggris, contohnya adalah kata-kata seperti: everything, nothing, everyone, no one, dst. "Segala hal ada hikmahnya." Oke, anggaplah memang ada hikmah di balik kejadian apa pun, tetapi jika seseorang baru saja tertimpa musibah dan kita mengatakan kalimat itu padanya, tidak akan mudah untuk langsung memercayainya. Bisa-bisa ia malah akan mempertanyakan apa benar-benar ada hikmah di balik kehancuran hatinya saat itu.

💬💬💬

Menghadapi masalah atau tantangan kehidupan adalah hal yang pasti pernah dihadapi oleh setiap insan. Di saat-saat seperti itu, penting bagi kita untuk mengenali setiap perasaan yang timbul, menerimanya, kemudian sedikit demi sedikit membenahinya.

Sementara itu, saat menghadapi curhatan dari orang lain, kita harus mencoba mengenali situasi dan suasana hati individunya agar bisa bertindak secara tepat. Tidak semua orang bercerita karena membutuhkan solusi. Ada yang mungkin hanya ingin didengarkan, ada yang hanya mengharapkan empati, dan lain sebagainya.

Kalimat-kalimat toxic positivity tidak selalu sepenuhnya buruk. Dalam kondisi tertentu masih tetap bisa digunakan, malah akan lebih baik jika pilihan katanya diperbaiki agar lebih bisa menguatkan.

Namun, pada akhirnya yang terbaik tetaplah dukungan, empati, perhatian, dan penerimaan. Ditambah self-compassion atau self-love, semua itu adalah sesuatu yang memang sebaiknya kita miliki.

Yang harus dihindari adalah kecenderungan untuk menyingkirkan perasaan negatif lalu bersikap seolah tidak ada apa-apa, serta menganggap bahwa perasaan itu tidak boleh dimiliki. Saat melakukan itu, kita hanya sedang menipu diri sendiri dan orang lain, yang ironisnya malah memberikan efek yang semakin buruk pada diri kita sendiri.

Menjadi makhluk sosial memang tidaklah mudah, tetapi sebaliknya di situ pulalah kita tengah memainkan peran penting kita sebagai manusia :)

Sekian untuk part ini. Semoga bermanfaat 😊

💬💬💬

A/N:
Part ini untuk topik 'Gejala sosial online/offline'. Sebenarnya aku enggak yakin ini masuk ke topik gejala sosial, karena unsur yang dibahas sangat berbau psikologi. Tapi sosial dengan psikologi kan beririsan yaa, jadi anggap bisa aja *maksa 😂

Enggak sih. Aku cukup yakin kok, kalau ini masuk gejala sosial. Walaupun aku baru tahunya bukan pas masa lagi ramai-ramainya, tapi ya intinya yakin, deh. Hahaha...

Anyway, riset ini cukup berat buatku, karena bahasan yang diambilnya abstrak. Capek banget ngerjainnya, tapi senang karena ilmunya amat sangat valuable and worth it. Selain itu juga senang karena alhamdulillah bisa menyelesaikan part 8 sebelum masuk semester baru.

Fiuhh... Sudah lewat setengah dari jumlah minimal, yang jelas. Wish me luck  buat part-part berikutnya yaa.

Semoga ulasan yang aku riset dari sekian banyak artikel menarik ini juga menarik untuk kalian, dan yang terpenting, sekali lagi, semoga bermanfaat.

Terima kasih banyak sudah mampir! Semoga bisa bertemu lagi di chapter berikutnya ^^

~AzkiaAM

Sumber:
https://www.newportacademy.com/resources/mental-health/toxic-positivity/
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/beda-optimis-dan-toxic-positivity/
https://thebottomline.as.ucsb.edu/2020/01/the-trend-of-toxic-positivity-online
https://www.idntimes.com/health/fitness/wiwit-widiastuti/jangan-terjebak-ini-7-tanda-toxic-positivity-menurut-ahli-c1c2/7
https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-man-cave/201908/toxic-positivity-dont-always-look-the-bright-side
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191104092033-284-445343/toxic-positivity-ucapan-semangat-yang-mengandung-racun
https://thehealthsessions.com/toxic-positivity/
https://drallisonanswers.com/happiness/toxic-positivity/
https://youtu.be/t2kAkbdS2S4
https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/26/181501665/ramai-soal-toxic-positivity-saat-ucapan-semangat-justru-jadi-racun?page=1
https://medium.com/lyfe-with-less/memanusiakan-rasa-tidak-nyaman-dan-toxic-positivity-7b28a297ef8b
https://advice.shinetext.com/articles/4-ways-to-avoid-toxic-positivity-and-lean-into-emotional-acceptance/
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/bahaya-toxic-positivity/
https://www.sehatq.com/artikel/toxic-positivity
https://tirto.id/toxic-positivity-saat-ucapan-penyemangat-malah-terasa-menyengat-dhLM
https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/
https://www.refinery29.com/en-gb/what-is-toxic-positivity

Sumber gambar:
Pixabay
https://thepsychologygroup.com/toxic-positivity/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top