# the real beban teman

Terkadang kesadaran diri itu penting.
Apalagi ketika tahu bahwa diri ini adalah beban.
Setidaknya jangan bikin rusuh jika tidak bisa membenahi.
🍂🍂🍂

Sajian yang dipersiapkan oleh Sesha ternyata begitu menggoda. Beberapa gorengan yang sengaja dibeli ketika perjalanan pulang, kemudian es buah yang sudah disatukan dalam satu wadah, lengkap dengan makanan berat.

Kedua orang tua Patra sudah memasuki rumah dan langsung kagum dengan tempat tinggal putranya. Meski tergolong orang terkaya di kampungnya, tetapi untuk menemui sang putra yang bekerja di ibukota baru sekarang keduanya melihat bangunan yang terbilang bagus.

"Wah, rumahnya bagus, besar, terus juga perabotnya elegan semuan. Oh, ini pasti Sesha, ya? Pacarnya Bani?" tanya ibu Patra begitu gadis itu membukakan pintu.

"Kami temenan, Tante."

"Loh, kata Patra sudah jadian?"

Bani memandang Sesha yang kikuk untuk menjawab pertanyaan dari ibu temannya itu. Baru saja bertemu suasananya sudah begitu canggung. Bagaimana nanti jika suasana santai masih terbawa canggung juga?

Sementara itu dua lelaki dengan status ayah dan anak justru langsung melipir ke arah meja makan. Keduanya juga kompak mengambil satu gorengan yang sama.

"Ma, sini deh. Ayah sudah lapar. Gimana kalau lanjut langsung makan saja?"

Tawaran dari ayah Patra membuat Bani dan Sesha kompak mengangguk. Mungkin hanya dengan cara itu mereka bisa mecairkan suasana. Benar adanya, makanan adalah salah satu alat untuk mempersatukan isi kepala yang berbeda-beda.

Kelima orang itu menjadi lebih semangat ketika membahas pekerjaan. Apalagi ketika pembahasan itu sampai pada penghasilan ketiga pemuda yang tergolong lumayan.

Sedang asik dalam pembahasan mengenai pekerjaan, ponsel milik Bani berdering. Awalnya ia mengabaikannya karena merasa tidak memiliki kepentingan atau janji dengan orang lain. Namun, ketika berdering sekali lagi, Sesha yang duduk di sebelahnya langsung menyenggolnya.

"Angkat, mungkin ada yang penting."

Bani menurut dan bergegas menuju ruang tengah tempat ia meletakkan tas dan juga ponselnya. Begitu melihat ponselnya nama Septa tertera di sana. Ia langsung mengangkatnya.

"Iya, Sep? Ada apa?"

"Ban, bisa pulang cepat? Tolong!"

Mendengar suara Septa yang seperti memelas, Bani tampak panik dan langsung memutus sambungan teleponnya. Ia menyambar tasnya dan memasukkan ponsel ke sakunya. Bani menghampiri meja makan.

"Maaf, saya pulang lebih dulu. Ada keperluan mendesak," ucap Bani sambil menjabat tangan kedua orang tua Patra secara bergantian.

Sesha yang melihat wajah panik Bani ikut berdiri, "Kenapa? Siapa yang telepon?"

"Septa telepon, sepertinya keadaan gawat. Aku pulang dulu, ya?"

"Kamu belum makan, Ban. Yakin nggak nunggu selesai?"

Bani menggeleng. Suasana hatinya mendadak tidak karuan. Apalagi ia meninggalkan temannya itu seorang diri di rumahnya.

"Enggak keburu, Sha. Septa kemarin kecelakaan, kakinya luka jadi dia nginep di tempatku. Ini nggak tau kenapa, takutnya tambah parah atau malah jatuh. Aku balik dulu, sampaikan maafku sama mereka."

Sesha mengangguk. Begitu Bani hendak membalik badannya, Sesha menahan tangannya. "Aku antar, ya?"

"Enggak usah, temani Patra di sini saja. Aku bisa, kok."

"Bukan itu, kamu bawa motor dalam keadaan panik, takut ada apa-apa."

"Aman, kok."

Bani melepas cengkeraman tangan Sesha di lengannya. Ia memberikan sebuah senyuman sebelum memilih untuk pulang. Meski apa yang diucapkan Sesha ada benarnya, tetapi ia juga tidak mungkin meminta Sesha meninggalkan Patra bersama orang tuanya saja.

Perjalan yang biasanya bisa ditempuh dengan cepat, ternyata harus sedikit tertunda karena situasi jalanan padat. Tidak terlalu ramai, hanya saja mengendarai motor di bawah tekanan itu sangat menyiksanya.

Bani harus membunyikan klakson beberapa kali karena ada motor yang memotong jalurnya. Belum lagi dengan pengendara mobil yang tidak memperhatikan rambu dan main nyelonong belok kanan tanpa memasang lampu sein.

"Hati-hati, woi!" teriak Bani ketika satu motor yang entah dari mana datangnya tiba-tiba menyalip dan mengambil alih jalurnya.

Bani yang biasanya berpenampilan tenang justru menjadi lebih sangat ketika ia didesak untuk segera sampai di rumah. Akhirnya setelah sampai di area parkir, Bani berlari menuju lift. Sambil menetralisir deru napas yang memburu, Bani mencoba menghubungi Septa sekali lagi.

Sayangnya tidak ada jawaban dari temannya itu. Hal ini membuat Bani semakin tidak tenang. Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat rumahnya beradan, Bani berlari dan menekan sandi pada pintu rumahnya.

Ia memasuki kamar dan menemukan Septa tengah terbahak keras. Di hadannya ada Giant yang berlarian mengejar ekornya sendiri. Kucing oren itu mengejar ekornya yang ditali dengan rafia.

"Giant, babumu sudah pulang, tuh," ujar Septa ketika melihat Bani di ambang pintu.

"Aku buru-buru ke sini takut kamu kenapa-kenapa, tahunya malah lagi main sama Giant. Tahu gitu aku nggak pulang," ucap Bani sambil melempar tasnya ke sofa.

"Lagian aku belum selesai ngomong sudah ditutup. Bukan salahku, dong."

Wajah Bani sangat terlihat tidak enak dipandang. Mungkin hal itu juga yang membuat Septa memutuskan kalau ini bukan salahnya. Bani langsung memilih merebahkan tubuhnya di sofa.

Mengendarai motor gila-gilaan sampai nyaris mencium kendaraan lain, ditambah dengan ia yang belum makan malam, dan ketika khawatir ternyata yang dikhawatirkan justru berlaku seperti tidak ada apa-apa.

Kepala Bani rasanya sudah cukup mendidih untuk melontarkan sumpah serapah. Namun, tidak bisa ia lakukan. Bagaimanapun yang meminta Septa untuk tinggal adalah dirinya. Ia juga sungkan jika tiba-tiba memintanya untuk pulang.

Bani menarik napasnya perlahan. Ia memejamkan matanya sejenak untuk meredam letupan di kepalanya.

"Ban, karena izinku ada dua hari, boleh aku tinggal di sini dulu sampai masa izinku habis? Di sini lumayan aku ada hiburan main sama Giant."

Tubuh Bani langsung tegak, ia melihat ke arah Giant yang meladeni Septa. Anak bulu yang biasanya tidak ramah pada orang lain kini justru menempel pada Septa. Entah apa yang dimiliki oleh lelaki itu sampai kucingnya sendiri berperan sebagai penghianat.

Kemesraan antara Septa dan kucingnnya terjalin begitu cepat. Bahkan Giant tidak menggubris panggilan Bani.

"Kalau itu mau kamu, silakan. Asalkan kamu bisa menyesuaikan diri saja."

"Oh, tenang saja, Ban. Aku terbiasa kok dengan kamarmu yang sempit dan makanan seadanya. Apalagi dengan kucingmu yang ramai ini."

Sungguh Bani ingin menangis mendengar perkataan Septa. Bukannya tersindir dengan ucapan Bani supaya ia menyesuaikan diri, rekan kerjanya itu justru balik menghina suasana kamarnya.

Halal buat dicekik enggak, sih? batin Bani.

Bani tidak lagi menanggapi ucapan Septa. Ia berjalan menuju kamarnya, pintu terbuka dan pemandangan berantakan langsung tersaji di depan matanya. Bani hanya mampu mengusap wajahnya.

Setelah mengambil baju ganti, Bani menuju kamar mandi untuk melepaskan penat, setidaknya air hangat bisa menenangkan urat tubuhnya yang mungkin sudah terlalu tegang.

Tuhan, apalagi ini? tubuh Bani merosot sambil bersandar pada dinding pembatas dapur dan kamar mandinya.

🍂🍂 🍂

Day 9

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 12 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top