# the power of bestie
Bukan saudara, tapi paling menjaga.
Bukan kakak, tapi bisa menjadi tameng.
Bukan adik, tapi selalu ada.
Kadang teman baik memang begitu.
Tingkahnya sudah melebihi saudara kandung.
🍂🍂🍂
Suasana kantor lumayan ramai. Apalagi dengan kedatangan contoh produk yang akan dipasarkan bulan depan. Tidak menjadi rahasia lagi jika kedatangan produk adalah berkah untuk karyawan karena mereka akan menerima setidaknya masing-masing satu untuk dicoba.
Bani sebagai penanggung jawab sudah mengatur sedemikian rupa supaya produk tersebut bisa dibagi rata. Hanya saja kelakuan Septa yang sering di luar nalar membuatnya kerepotan.
"Sep, kenapa dikasih ke sana semua? Yang lain belum kebagian juga, nih." Bani menunjukkan wajah kesalnya pada rekan kerjanya itu.
"Kenapa? Enggak boleh? Yang penting kan habis. Dibanding nungguin kamu, kelamaan."
"Enggak gitunya, loh. Yang lain juga kudu kirim testimoni setelah cobain itu. Harusnya meski sedikit yang lain kebagian."
Septa menghela napas, matanya memandang Bani dengan tatapan seperti jijik. Belum lagi dengan mulutnya yang ngedumel tidak jelas. "Tuh, habisin semuanya. Kerjain sendiri. Sudah bagus dibantu," ujar Septa sambil meyerahkan kardus berisi contoh produk ke tangan Bani.
Tanpa mereka sadari dari kejauhan dua sahabat Bani melihatnya. Keduanya bergegas menghampiri Bani yang kerepotan menerima kardus tersebut. Patra langsung mengambil alih barang bawaan, sementara Sesha dengan mulut licinnya langsung menyambar dan menghujat Septa dengan penuh semangat.
"Heh! Memang dasar kelakuan di luar nalar, ya! Pelan-pelan kan bisa ngasihnya. Kalau produknya rusak, memang kamu mau ganti rugi?" Ujar Sesha sambil mulai menggulung lengan bajunya.
"Bodo amat, enggak peduli! Toh yang dimarahi temanmu."
"Eeh, bacot enteng banget kamu. Belum pernah ditampol mulutnya?"
Sesha sudah hendak maju selangkah dengan lengan baju yang tergulung semua. Tapi gerakan Bani jauh lebih sigap. Ia berdiri di hadapan Sesha, memegang kedua bahunya dan memutar tubuh sahabatnya. Dibantu dengan sedikit dorongan kuat, Bani berhasil memisah dua teman kerjanya dan menyelamatkan dari huru-hara.
"Bani, lepasin! Perlu dijambak tuh manusia. Bani jangan ngalangin, sesekali perlu dikasih pelajaran manusia macam dia, tuh."
Suara Sesha yang keras membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Bani membungkuk sejenak pada beberapa orang untuk meminta maaf atas kelakuan temannya itu.
Mereka bertiga berjalan menuju lantai atas kantor. Meski belum memasuki jam makan siang, tetapi akan jauh lebih berbahaya jika Sesha dan Septa berada di satu ruangan. Begitu pintu terbuka, ketiganya langsung menuju ke tempat yang sedikit lebih teduh.
Di sana adalah tempat nongkrong ternyaman setelah kantin. Sekaligus tempat yang sering dijadikan pelampiasan jika mulai jenuh dengan pekerjaan. Alas kardus ala kadarnya, dengan beberapa kardus lain sebagai meja darurat ketika membawa makanan.
"Kamu enggak perlu sampai segitunya, Sha, jelek-jelek begitu Septa temanku juga." Perkataan Bani yang memelas membuat Sesha semakin emosi.
"Enggak. Enggak ada temen yang kelakuannya macem dia. Cuma dia yang kelakuannya minta di-review tiap hari karena emang di luar nalar. Dah irian, judes, jelek, mulutnya kayak ember bocor ...."
Sesha mulai mengomel tanpa arah dan membuat Patra dan Bani langsung bertukar pandang. Dua lelaki itu berbicara tanpa kata dan saling mengangguk. Patra menggeser duduknya dan mulai menempel ke tubuh Bani.
Kepalanya mendekat ke arah telinga Bani. Ia membisikkan satu kata dan langsung membuat Bani mengangguk paham sambil menutup rapat mulutnya supaya tidak melanjutkan pembicaraan.
"PMS," ujar Patra dengan pelan dan langsung menjauh setelah yakin Bani mendengar jelas ucapannya.
Bani memilih untuk diam sebab tidak ingin mengambil risiko membangkitkan macan yang sedang ganas-ganasnya.
"Eh, kalian tahu? Besok orangtuaku mau datang. Kalian harus bisa menyambutnya. Bisa kan? Bisa dong!" Suara Patra memecah keheningan.
"Aku usahakan, Tra. Semoga besok enggak sibuk-sibuk banget," ujar Bani menimpali.
"Hilih, cuma beda gedung rusun bae lagaknya udah kayak beda kota sama provinsi."
Sesha menjawab sambil merogoh tas selempang kecil di pangkuannya. Ia mengeluarkan beberapa helai tisu dan lima bungkus permen cokelat.
Bani langsung mengulurkan tangannya dan menerima pemberian Sesha dengan mata berbinar.
"Makasih, Sha. Memang paling pengertian, dah."
"Keringat banjir kayak gitu, tangan udah tremor, mau balik lagi ke RS? Lagian kamu ngapain beli alat mahal-mahal terus ditempel di badan, tapi enggak dimanfaatkan. Memangnya enggak dengar alarmmu bunyi?"
Bani kaget dan langsung mengambil benda kotak di sakunya. Benda yang tidak pernah ia tinggalkan meski dalam keadaan genting sekalipun. Ia menengok layar bend tersebut.
"Enggak terlalu anjlok, tapi kerasa agak lemas, sih," ujarnya sambil mulai membuka bungkusan permen cokelat.
Kadar gulanya menunjukkan angka 90 ml/dL. Tidak terlalu jauh, tetapi sedikit memberikan efek lemas. Semua akan teratasi dengan bantuan permen cokelat pemberian Sesha.
Sementara Bani mengelap keringatnya, Patra mengambil alih permen dari tangan Bani dan membukanya. Satu permen langsung disodorkan ke mulut Bani, satu lagi ia buka dan langsung masuk ke mulutnya, satu lagi ia buka untuk Sesha yang mood-nya sedang turun naik.
"Sama-sama butuh asupan manis biar moodnya makin manis," ujar Patra.
"Makasih, Tra. Ngerti aja sama kebutuhan kita," ucap Sesha dengan wajah yang lebih bersahabat.
"Enggak gratis. Besok kalian berdua harus datang. Kalau enggak, rencana perburuan boneka enggak jalan lagi."
"Woah, ancamannya gitu amat? Kalau enggak berburu gimana bisa penuhin permintaan anak panti? Target pencapaian boneka itu masih kurang banyak, Tra."
"Kan tawaranku mudah. Tinggal datang ketemu ortuku, terus jalan dah kita berburu."
"Iyain aja biar cepet kelar, Ban."
Sesha yang sedang mode malas berdebat memberikan saran mudah untuk Bani. Ketiga sahabat itu memang memiliki kegiatan rutin untuk mendapatkan boneka-boneka kecil dan lucu dari mesin pencapit boneka yang tersebar di beberapa tempat sekitar kantor.
Sebenarnya mereka mampu untuk membeli beberapa boneka sekaligus, tetapi tantangan dari anak panti sepertinya menjadi lebih menarik untuk dilaksanakan. Selain keseruan dan sensasi bahagia ketika berhasil mendapat boneka, mereka bertiga juga semakin dekat berkat permintaan yang sedikit berbeda dari lainnya.
"Mau bonekanya dari mesin pencapit. Warnanya lebih bagus dan lucu-lucu," ujar salah satu anak ketika Bani, Sesha, dan Patra mengunjungi mereka sebelum acara tahunan digelar.
"Deal, cuma nemuin ortu kamu kan?"
Patra mengangguk, kemudian menggeleng.
"Ada yang lain? Apa?" tanya Sesha.
"Kalian harus datang dengan pakaian sama karena aku bilang kalian pasangan kekasih," ucap Patra dengan wajah tanpa dosa.
Bani dan Sesha bertukar pandang kemudian menghela napas. Kelakuan sahabatnya itu memang tidak bisa diprediksi. Patra itu termasuk salah satu manusia unik. Kadang pintar saat kepepet, tetapi seringkali out of the box jika dibiarkan untuk berpikir secara mandiri.
"Kalau enggak mau?" tanya Bani dengan pelan.
"Enggak usah ke rumah, enggak usah juga cari waktu bareng, enggak usah juga jadi temanku."
"Oke, oke, gimana kalau kita beli bajunya samaan bertiga?"
Sesha mencoba mencari celah untuk membujuk Patra. Siapa tahu idenya ini jauh lebih menarik daripada harus berpakaian pasangan dengan Bani.
"Iya, bertiga saja. Lebih seru. Kayak anak kembar nanti."
Patra langsung menoleh ketika mendengar suara Bani. Wajahnya langsung berseri. Kepalanya mengangguk tanda setuju.
"Selamat," ucap Sesha dan Bani bersamaan sambil mengusap dadanya pertanda lega.
🍂🍂 🍂
Day 6
Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 09 April 2023
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top