# teman masa gitu?

Kadang yang menusuk itu bukan yang asing.
Justru orang terdekat yang menikam.
Orang terdekat juga memeluk lebih erat.
Sayang? Bukan!
Supaya belatinya menikam lebih dalam lagi.

🍂🍂🍂

Mau tidak mau Bani memesan ojek daring untuk mengantarnya ke kantor. Ia sudah telanjur meninggalkan Pak Anton di pinggir jalan, jadi tidak mungkin meminta beliau untuk mengantar. Sangat tidak sopan namanya.

Motor menjadi pilihan supaya lebih cepat dan mampu menyelinap saat macet ketika jam masuk sekolah dan perkantoran ada pada jam yang sama. Rutinitas tetap di pagi hari untuk ukuran kota.

Sepuluh menit lagi sebelum jam masuk kantor, tetapi Bani masih ada di jalanan. Jika prediksinya tepat, mungkin terlambat lima sampai sepuluh menit saja. Itu juga tidak masalah. Masih bisa ditoleransi.

Ia berlarian di lantai dasar gedung kantornya karena mengejar supaya tidak terlalu terlambat.

"Sep, kok sudah di sini?"

Septa melirik ke samping dan membuang muka. "Seenak saja ninggalin orang."

"Lah? Semalam bilang lanjut liburnya."

"Kamu nggak dengar yang aku bilang sebelum tidur?"

Bani menggeleng. Ia benar-benar tidak mendengar apa yang dikatakan Septa malam itu. Kedua lelaki itu memasuki lift bersamaan. Keadaan yang lumayan sepi membuat keduanya bebas berbicara.

"Serius aku nggak dengar, Sep."

"Kalau kamu keberatan aku di rumahmu, bilang saja dari awal, enggak seperti itu caranya."

"Tuhan. Sep, enggak begitu. Kalau aku keberatan mana mungkin aku ajak kamu tinggal di rumah."

Septa memilih untuk tidak menjawab. Meski begitu, Bani juga tidak tinggal diam. Sampai mereka memasuki ruangan sudah tiga kali Bani mengucapkan kata maaf, tetapi orang yang kini duduk di seberangnya tidak menanggapi.

Padahal ini hal sepele, hanya saja Septa seperti sengaja membuatnya lebih besar. Jujur saja, ada rasa lelah di hari Bani menghadapi rekan kerjanya yang satu ini. Merasa tidak akan membuahkan hasil, Bani akhirnya mengunci mulutnya rapat-rapat.

Jam sudah menujukkan tengah hari, Bani yang biasanya bergegas menemui dua sahabatnya di kantin memilih untuk melewatkan jam makan siangnya. Sarapan bubur pagi tadi masih membuat perutnya terasa penuh.

Ketika sedang memeriksa berkas, ia dikejutkan dengan ketukan pintu.

"Permisi, Septa ada?" tanya perempuan yang baru saja mengetuk pintu.

"Lagi ke kantin. Nanti setelah jam makan siang saja mampir lagi."

"Oh, iya. Loh, ini Mas yang tadi makan sama Pak Anton, ya? pantas rasanya tidak asing. Ternyata benar pegawai di sini."

Bani mengangkat wajahnya dan menatap ke arah perempuan dengan rambut terikat itu. Ia ingin menggeleng, tetapi ucapan perempuan itu sudah sangat jelas bahwa itu adalah dirinya.

"Sil, ngapain di sini? Ada perlu apa?" tanya Septa begitu memasuki ruangannya dan mendapati salah satu rekan kerja dari divisi lain sekaligus tetangganya di rumah susun.

"Ah, ini mau tanya. Kemarin kamu ke mana? Ada yang datang ke rumahmu, tapi sepertinya rumahmu kosong." Si perempuan berambut hitam pekat itu menjawab.

"Oh, aku lagi nggak di rumah. Kalian berdua saling kenal kah?"

"Baru dua kali bertemu, Sep. Tadi pagi pas Mas ini sarapan bubur sama Pak Anton dan sekarang."

Septa memandangi Bani yang tengah duduk di balik mejanya. Tampak cuek meski Bani merasakan tatapan tajam dari Septa. Hingga sang perempuan pamit untuk kembali ke ruangannya, Bani pun masih terdiam.

"Ada urusan apa?"

"Siapa?"

"Kamu sama Pak Anton. Jangan-jangan kamu mau nikung Pak Chiko?"

Bani berkedip beberapa kali. Pandangan matanya menjadi tidak fokus. Tangannya saling meremat dan akhirnya menjadi lebih basah dari biasanya. Rasa cemas hadir dan membuatnya semakin tidak nyaman.

Septa tertawa, ia seperti melihat anak kecil yang kedapatan mencuri di rumah tetangga.

"Ngaku saja. Gelagatmu memang patut dicurigai."

"Apa yang harus diakui?" tanya Bani.

Lelaki di hadapan Bani menyeringai, ia mengambil ponsel di mejanya dan langsung mencari nomor seseorang. Setelah beberapa saat, panggilannya terjawab.

"Dengan Septa, Pak Chiko. Seandainya ada impostor di kantor kita, bagaimana? Semacam penghianat begitu, Pak."

Wajah Bani mendadak pucat. Ia tidak menyangka teman yang baru saja ditolongnya ternyata memiliki tabiat yang buruk. Belum juga tahu duduk perkaranya ia sudah menghubungi Pak Chiko dengan modal kecurigaan yang tidak beralasan.

Septa mendadak terkikik sampai air matanya mengalir karena tidak tahan. Tawanya begitu keras dan membuat Bani semakin bertanya-tanya.

"Aku baru pura-pura telepon Pak Chiko, kamu kok langsung pucat begitu, Ban?"

Sialan! batin Bani. Nih orang bercandanya jelek!. Bani semakin kesal pada Septa.

"Kamu nyembunyikan sesuatu?"

Bani menggeleng sekali lagi untuk meyakinkan Septa. Tapi namanya juga Septa, tidak akan pernah berhenti sampai sasarannya menjadi lebih tersudut dan menjadi sangat repot.

Septa tetap saja mencecar Bani dengan beberapa pertanyaan. Jiwa detektif lelaki yang seusia dengan Bani itu menjadi lebih sensitif. Apalagi ia menyadari bahwa ini bukan pertama kalinya Bani berada di satu tempat dengan Pak Anton.

Sudah bisa dipastikan di antara keduanya ada apa-apa, batin Septa sambil terus mengamati gerak-gerik Bani.

Matahari belum juga terlalu jatuh di ufuk barat, Pak Chiko yang baru saja dari luar kantor melewati dua meja. Satu meja sekretarisnya dan satu lagi meja milik Bani.

Lelaki dengan peran antagonis yang selalu saja menjadi penentang dalam hidup Bani bergegas mengikuti Pak Chiko menuju ruangannya. Selain untuk setor wajah, mungkin sekalian membahas tentang peluang Bani untuk lengser.

Bani yang tidak bisa berkutik hanya mampu menggigit jari dan berupaya untuk menuju ruangan Pak Chiko sebelum mulut licin Septa yang berkata macam-macam. Ia bergegas mengambil berkas hasil survey tentang produk baru.

Dengan langkah yang lebar, ia bergegas menyusul Pak Chiko.

"Begitu ceritanya, Pak Chiko," ucap Septa. "Kalau enggak percaya coba saja tanyakan langsung sama orangnya. Mumpung kita sama-sama di sini."

"Benar itu, Bani?"

"A-apanya, Pak, yang benar?"

"Septa itu enggak masuk karena kecelakaan, apa itu benar?" tanya Pak Chiko.

Langsung saja tubuh Bani merasakan ketenangan karena jawaban dari Pak Chiko.

"Aku bermalam di rumahmu sampai tadi pagi, Ban," ucap Septa.

Bani menurunkan bahunya yang terasa menanggung beban yang teramat dalam.

"Lalu, soal pertemuanmu dengan adik saya, bagaimana? Apa lancar?"

"H-ha? Maksudnya?"

"Ada yang menyampaikan kamu sering bertemu dengan adik saya. Apa benar? Tujuannya bagaimana? Apakah itu hal yang baik?"

Leher Bani mendadak tercekat. Ia kehilangan kata. Tangannya meremat celana dengan keringat yang bercucuran. Ia menoleh ke arah Septa, tetapi lelaki itu menaikkan kedua bahunya bersamaan.

"Aku enggak tahu, bukan aku, Ban." Septa berkilah karena memang bukan itu yang ia sampaikan pada atasannya.

"Septa, terima kasih. Silakan keluar. Saya ada keperluan dengan Bani."

Ucapan datar dari sang atasan membuat Bani semakin gemetar. Beginikah rasanya? Padahal realisasi saja belum, tapi lelahnya seperti bermain petak umpet di lokasi yang agak ramai dan melibatkan nyawa manusia.

"Bani, apa yang adik saya pinta sama kamu?" tanya Pak Chiko dengan suara pelan, tetapi langsung tepat sasaran.

🍂🍂 🍂

Day 12

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 15 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top