# selesai, tapi bukan akhir (END)


Permasalahan itu dihadapi, bukan dihindari.
Jika tidak bisa mengatasi, paling tidak jangan malah tidak peduli.
Ketika menemui jalan buntu, pasrah boleh asal jangan menyerah.

🍂🍂🍂

Kepanikan hanya terjadi sesaat. Sesha yang sudah sering berada di posisi seperti ini memilih untuk mengondisikan tiga lelaki yang tidak bisa diam karena panik. Akhirnya perempuan berkacamata itu memilih untuk memberi instruksi terpisah pada ketiganya.

Persetan dengan kelancangannya memerintah Pak Chiko dan Pak Anton. Itu urusan belakangan sebab yang paling penting adalah Bani.

"Pak Chiko mungkin nyimpen handuk bersih?"

"Pak Anton bisa minta tolong hubungin orang di pantry biar dibikinin teh hangat yang manis."

"Patra, bisa minta tolong longgarin sabuk dan buka sepatunya Bani?"

Ketiga lelaki itu langsung bergegas pada tugasnya masing-masing. Pak Chiko kembali paling awal dan memberikan handuk kering yang lembut. Sesha menggunakannya untuk mengelap keringat yang membanjir kening, leher, dan telapak tangan Bani. Dengan telaten Sesha merawat sahabatnya itu.

Pak Anton kembali bersama dengan Septa yang membawa nampan berisi teh panas dan tas ransel milik Bani. Hal ini merupakan salah satu inisiatif Pak Anton karena bisa jadi di dalam tasnya ada obat-obatan yang bisa membantunya.

Selama sepuluh menit Sesha berusaha menyadarkan sahabatnya, tetapi masih juga gagal. Justru tidak ada respon sama sekali dari Bani. Khawatir akan berdampak buruk, Sesha meminta Pak Chiko untuk menghubungi ambulans saja. Sepertinya kali ini Bani membutuhkan perawatan.

"Setuju, saya lebih setuju seperti itu. Sebentar saya hubungi."

Setelah beberapa saat Pak Anton bertanya, "Gimana, Kak? Butuh berapa lama untuk sampai?"

"Lima menit lagi mereka sampai."

Melihat kedatangan sebuah ambulans dan petugas yang berlari memasuki gedung dengan membawa brankar membuat seisi gedung heboh.
Mereka akhirnya membawa Bani ke rumah sakit. Sesha dan Patra meminta izin untuk tetap ikut dan menemani Bani di dalam ambulans.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Pak Anton dan Pak Chiko nyaris bersamaan.

"Gula darahnya anjlok lagi, asam lambung naik, tekanan darahnya rendah. Asam lambung naik itu bisa dipicu dengan hal-hal yang menguras pikiran dan memicu rasa khawatir. Rasa khawatir muncul, panik, asam lambungnya langsung naik."

"Lalu, apa yang harus dilakukan?" Pak Chiko bertanya dengan wajah yang teramat serius

"Saya butuh walinya untuk penjelasan lebih lanjut."

"Orang tuanya di kampung. Dia pegawai saya, Dok. Dan dia sakit saat bekerja, jadi saya yang bertanggung jawab."

"Butuh pemeriksaan lebih lanjut soal diabetesnya. Sepertinya fungsi pankreasnya semakin memburuk. Obat oral sudah tidak mempan dan dia harus beralih ke suntik insulin. Tapi untuk untuk lebih meyakinkan kita butuh pemeriksaan lebih lanjut untuk melakukan tindakan berikutnya."

"Baik, dok. Terima kasih."

Pak Anton sedari tadi hanya mampu mendengarkan penjelasan dan ucapan sang kakak. Ia tidak berani berkata-kata.

"Kita ke bagian administrasi dulu. Hey! Kamu kenapa?"

"Di-dia ..., sejak kapan dia sakit, Kak?" tanya Anton dengan suara yang sedikit tercekat.

"Sejak usia sekolah. Kakak juga baru tahu waktu akhir pekan memintanya menemani Kakak bertemu dengan Mr. Shean. Dia kelelahan dan collapse. Tapi ini lebih parah."

"Seandainya tahu lebih awal, mungkin enggak begini kejadiannya, Kak. Aku sering usil dan menekannya supaya dia mau bekerja di tempatku."

Tidak ada kata atau sanggahan dari Pak Chiko. Lelaki yang berusia tiga tahun lebih tua itu hanya menarik tubuh sang adik dan memeluknya dengan erat. Punggung adiknya itu ditepuk beberapa kali supaya lebih tenang.

Adegan itu rupanya tidak luput dari pengamatan Bani dan dua sahabatnya. Awalnya Patra ingin memanggil keduanya dan memberi tahu bahwa Bani sudah sadar, tetapi urung karena pemandangan akurnya dua saudara ini menjadi momen langka yang mungkin tidak akan terulang lagi.

"Sudah puas bikin panik?" tanya Sesha.

"Enggak apa-apa, berkat kamu mereka akur. Mana dapat pujian pula dari Pak Chiko." Patra menambahi sambil memasang wajah yang menggoda sahabatnya.

"Kapan yang dipuji? Pak Chiko memangnya ngomong apa?"

"Dia bilang makasih, terus dia juga bilang coba dari dulu begini, sama apa lagi, ya? Lupa wes."

Patra putus asa karena tidak bisa mengingat apa yang dikatakan Pak Chiko tadi. Sesha membenahi selimut dan mengusap kepala Bani.

"Kalau besok obatnya diganti, jangan putus asa, tetap berusaha hidup, ya?"

Bani mengernyitkan dahi mendengar ucapan Sesha. "Kenapa? Apa yang dokter bilang?"

"Kemungkinan fungsi pankreasmu semakin turun, jadi obat oral sudah enggak mempan. Harus suntik insulin dulu setiap sebelum makan."

"Oh, begitu. Enggak apa-apa, cepat atau lambat aku memang membutuhkannya."

"Tapi, Ban? Itu juga masih kemungkinan, loh. Enggak 100% harus begitu." Sesha berusaha menenangkan sahabatnya.

"Sha, sekarang atau nanti akan sama saja. Hanya berbeda di waktu saja. Untuk sekarang atau untuk nanti. Mungkin juga aku bakal kurangi kegiatan. Resign terus bikin usaha sendiri bakal lebih mantul," ucap Bani dengan enteng tanpa melihat bagaimana raut wajah dua sahabatnya.

"Siapa yang mau resign?" tanya suara berat milik bos Tamafood.

Bani terkejut dan hendak bangun untuk duduk, tetapi Pak Anton lebih dulu mendekat dan memintanya untum berbaring. "Tiduran saja,masih pusing 'kan?"

Mau tidak mau Bani mengangguk karena memang itulah yang dirasakannya.

"Kamu boleh ajukan cuti setiap kali lelah atau butuh istirahat, tapi tidak ada izin untuk resign." Pak Chiko berujar dengan sangat tegas.

"Atau kamu bisa memilih teman sebagai asisten supaya tidak terlalu berat. Tentunya melalui proses seleksi perusahaan."

"Kami boleh ikut seleksi, Pak? Saya dan Patra mau ikut." Ucapan Sesha membuat Pak Chiko dan Pak Anton tertawa.

Seketika mereka terdiam karena semua perawat menoleh ke arah tempat Bani merawat dengan tatapan menyeramkan. Mereka baru sadar bahwa itu adalah rumah sakit.

Baru saja selesai tertawa, Septa kini datang dengan membawa tas dan sepatu milik Bani yang tertinggal di kantor. Hal ini tidak akan pernah ia lakukan jika itu permintaan Bani. Sayangnya, permintaan dan perintah itu justru datang dari si bos.

"Apakah dia jadi dipecat, Bos? Saya sudah menantikan momen ini dari dulu. Ruang kerja saya akan damai karena tidak ada dia." Ucapan Septa langsung dihadiahi injakan kaki dari Sesha.

"Aw, sakit!"

"Sayangnya dia justru dapat privilege dari Pak Chiko dan Pak Antin."

Bukannya marah, tapi tampang pasrah yang terlihat dari wajah Septa. "Lalu? Bagaimana dengan saya, Pak? Apakah saya dapat hal yang sama. Saya juga rekan satu ruangannya."

"Tapi otakmu enggak sebanding dengan dia. Dah, diem aja. Kamu itu enggak diajak."

"Ho, baiklah. Memang seperti itulah nasibku. Sungguh buruk sekali  Apakah aku marah? Tentu tidak. Semakin sering dia pakai hak istimewa, semakin sering dia meninggalkan kantor, maka semakin sering pula kedamaian tercipta. Permisi, Pak Chiko, Pak Anton, saya pamit dulu."

Patra yang sedari tadi hanya terdiam menoleh ke arah Septa yang berjalan menjauhi brankar Bani. "Yah, pergilah dengan tenang wahai pengusik!"

"Selalu saja begitu. Di mana-mana tidak ada yang berpihak padaku. Apa aku sedih? Tentu tidak karena aku sangat menikmatinya." Septa berulah lagi dengan bersuara lantang ketika hendak keluar dari UGD.

Bani menepuk tangan Patra dengan pelan. "Jangan teriak, ini rumah sakit.," ucapnya saat ia melihat Patra sudah ambil ancang-ancang  membalas ucapan Septa.

"Bani, gimana? Masih mau resign?" tanya Pak Anton mengalihkan perhatian Bani dan Patra.

Bani menggeleng sambil sedikit tersipu malu karena ketahuan. "Enggak jadi, Pak. Tapi apa boleh kalau saya cuti dulu? Saya pengin pulang dan menyelesaikan permasalahan di rumah. Belum lagi saya masih berhutang sama Pak Anton."

"Lupakan. Semua itu sudah lunas. Saya rasa nominal itu tidak seberapa dibanding dengan apa yang sudah kamu lakukan." Ucapan Pak Anton membuat Pak Chiko menoleh.

"Utang adalah utang, biar dilunasi. Nanti balikin jadikan bonus buat Bani," ucap Pak Chiko.

"Tumben Kakak enggak sayang duit?"

"Itu pan duit kamu, bukan duit Kakak." Pak Chiko merasa menang karena ucapannya tadi.

Bani yang masih terbaring di brankar merasa mendapat suntikan penyemangat melihat akurnya dua bos putra dari keluarga Hutama. Untuk saat ini semuanya sudah bisa dianggap selesai, tetapi masih belum berakhir. Setidaknya, keinginan untuk membenarkan kesalahan baik individu atau kelompok sudah terlaksana. Ia bisa menjadi jembatan. Ia juga bisa menjadi penghubung. Lalu, apalagi yang dicari?


🍂🍂 🍂

Day 20 - END

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 23 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top