# ingin mengeluh
Aku ingin mengeluh, tetapi mereka sering melarang.
Aku ingin mengeluh untuk sekadar melepas penat.
🍂🍂🍂
"Ban, ini beneran boleh tidur di kamar, terus yang punya rumah tidur di sofa?"
"Iya."
"Ban, ini selimutnya ketipisan. Ada yang lebih tebal?" ucap Septa sepuluh menit kemudian.
"Bentar aku tukar dulu."
"Ban, aku mau minum. Minta tolong ambilkan bisa?"
Ucapannya sangat sopan, tetapi Bani yang baru saja meletakkan punggungnya di sofa harus bangun lagi dan mengambil air untuk Septa."
"Ban, banyak nyamuk. Susah tidurnya, gimana?"
Lagi-lagi Septa memanggilnya sesaat setelah mata Bani mulai terpejam. Mau tidak mau ia bangun dan menyalakan obat nyamuk elektrik. Sungguh situasi malam tadi sangat tidak berpihak kepadanya.
Bani yang terbiasa tidur dengan disiplin harus terjaga sampai hampir tengah malam. Barulah saat semua yang Septa mau terpenuhi, lelaki itu bisa terlelap dan berlayar di alam mimpi.
Alarm berbunyi untuk kesekian kalinya, tetapi Bani yang tidur di sofa ruang tengah masih saja bergelung di bawah selimut. Ia terduduk dengan tiba-tiba ketika mendengar suara Giant yang mengeong keras dan menabrakkan tubuhnya ke kandang.
Bani menarik napas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya. Ia melirik ke arah jam dinding. Gelap sudah berganti terang dan ia masih melapisi tubuhnya dengan selimut. Sungguh tidak seperti biasanya.
Lelaki dengan baju tidur bermotif garis itu berjalan perlahan menuju kamar mandi. Isi kepalanya masih dipenuhi dengan suara Septa yang memanggil sampai nyaris tengah malam.
"Sep, mau ngantor apa enggak? Kalau enggak ntar aku yang izinkan."
Septa yang berada di kamar dengan kaki terganjal bantal menggeliat dan menguap ketika mendengar suara Bani. Ia melirik ke sekeliling dan langsung tersadar ini bukan kamarnya.
Ia menyandarkan tubuhnya pada ranjang sambil mengamati kakinya yang berwarna merah muda agak keunguan di beberapa bagian. Belum lagi bengkak di kakinya semakin menjadi.
"Kayaknya enggak bisa kerja, deh. Izinin, ya?"
"Oke! Aku siap-siap. Untuk hari ini stok makanan masih cukup. Atau nanti pas makan siang ke rumah sakit? Takut kakimu ada retak atau gimana."
"Enggak usah. Dikompres saja nanti biar kempesan dikit bengkaknya."
"Giant enggak aku keluarin biar aman. Aku nanti pulang telat. Masih ada keperluan lain. Chat saja misal ada yang dibutuhkan."
Ucapan Bani kadang terdengar, kadang tenggelam karena si pemilik rumah berbicara sambil sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Setelah semua dirasa siap dan memastikan sekali lagi tidak ada yang tertinggal, Bani berpamitan.
"Bawa motorku, Ban," ucap Septa sambil melemparkan kunci motornya.
Bani menangkapnya dengan sigap, "Sebenarnya aku enggak perlu, tapi makasih. Mungkin bisa berguna nanti pas ada keperluan. Titip rumah sama Giant."
Septa menggabungkan jari telunjuk dan ibu jarinya pertanda menyanggupi apa permintaan Bani. Begitu menutup pintu rumahnya, sebuah alarm lain berbunyi lagi. Ini adalah pengingat untuk kebutuhan tubuhnya.
Dikeluarkannya sebuah benda dari saku celana, kemudian melihat dengan saksama berapa angka yang tertera. Pantas saja badannya terasa sedikit lemas. Bani bergegas turun dan mencari tempat untuk bersantai sesaat sebelum berangkat ke kantor.
Ia mampir di salah satu minimarket di dekat rusun. Beruntung Septa memberikan kunci motornya, ternyata itu sangat membantu. Ia langsung membeli sebungkus roti dengan isian cokelat, sekaleng susu beruang dengan iklan naga, kemudian mengambil satu batang cokelat.
Cukup kayaknya, nih, batin Bani sambil berjalan menuju kasir. Setelah membayar, Bani duduk di kursi yang disediakan sambil mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada nomer seseorang.
"Halo, pagi, Mbak. Minta tolong proses izin sakit untuk sekretaris Pak Chiko. Atas nama Septa Triawan karena kemarin kecelakaan. Terima kasih, Mbak."
Selesai memutus sambungan telepon, Bani menikmati makanannya kemudian melanjutkan perjalanan menuju kantor untuk melalui hari yang lumayan panjang.
Benar kata orang, kalau ada biasa saja, tetapi ketika tiada dirindukan. Seperti itulah yang dirasa Bani karena ruang kerjanya yang mendadak sepi. Septa ternyata berpengaruh juga dalam harinya.
Ternyata Septa adalah salah satu pemberi warna. Ya, warna karena selalu bersitegang dengannya. Warna karena hanya Septa yang menjadi antagonis dalam hidupnya.
Baru saja Bani hendak bersantai, tiba-tiba seorang yang beberapa hari ini dihindari muncul di hadapannya. Pak Anton tampak tersenyum melihat ruang kerja Bani sepi.
"Sendiri? Gimana sama penawaran saya? Yakin enggak minat?"
"Pak, ini sudah kesekian kalinya Pak Anton menawarkan, saya tetap tidak berminat."
"Oh, ayolah! Apa susahnya, sih? Kan enggak jauh beda, masih sama-sama keluarga Hutama yang mempekerjakan kamu."
"Beda. Pak Chiko dan Pak Anton berbeda."
"Saya tuh cuma pengin kamu yang nangani perusahaan karena kinerja kamu bagus dan juga berpotensi ke depannya. Padahal kakak saya mempekerjakan kamu tidak manusiawi, kenapa kamu betah?"
"Ada yang namanya kesetiaan, Pak. Dan itu yang tidak ternilai. Permisi, Pak. Saya duluan karena ada keperluan lain."
Bani melirik wajah Pak Anton untuk sejenak. Padahal mereka seumuran, tetapi wajah lelaki yang baru saja berbicara padanya itu tampak lebih tua. Meski ditolak berkali-kali, rupanya sikap Pak Anton masih sama. Pantang menyerah sampai sukses menyeret Bani pindah ke perusahaannya.
Setelah memastikan Pak Anton tidak membuntutinya, Bani menelepon Patra dan memintanya untuk menunggu sebenatar. Begitu sampai di parkiran kantor, Patra melambai dari kejauhan. Bani berlari kecil menghampiri Patra juga Sesha yang ternyata sudah menunggu.
"Lama amat, sih? Ortu sudah sampai di stasiun, nih," ucap Patra kesal.
"Sori, Pak Anton tadi tiba-tiba muncul."
"Masih nawarin buat pindah?" tanya Sesha.
Bani mengangguk sambil berusaha menormalkan deru napasnya. Ia segera menegakkan tubuhnya ketika merasa lebih baik.
"Ini aku bawa motor Septa, nanti gimana?"
"Lah, akur? Gini dah, Sesha ke apartementku pake motor Septa, terus kita berdua jemput ortu. Gimana?"
"Oke! Soal Septa kamu masih utang penjelasan, Ban," ucap Sesha.
Gadis berambut ekor kuda dengan kacamata bulat itu langsung tancap gas setelah mengambil alih kunci motor Septa dari tangan Bani. Sedangkan Bani dan Patra langsung bergegas menuju stasiun karena sudah diburu waktu.
Di tengah perjalanan, Bani lebih banyak diam. Selain karena harinya menyita banyak energi, kepalanya masih tidak bisa berhenti berpikir kenapa Pak Anton begitu gigih untuk membujuknya.
Sementara itu, Patra yang berada di belakang kemudi sudah mengoceh banyak hal, tetapi tidak mendapat tanggapan dari Bani.
"Ban, kenapa diam? Aku kek ngomong sama tembok loh!"
"Capek jadi manusia. Cosplay jadi pohon saja boleh enggak?"
"Oh, gitu? Aku turunin sini saja kalau memang mau, tuh pohon di tengah alun-alun mumpung kesepian." Mulut Patra begitu licin menanggapi perkataan asal dari Bani.
"Pengin sambat, tapi hidup sudah kebanyakan sambat. Enggak sambat ini ya, gimana?" ucap Bani dengan pandangan masih terfokus ke luar jendela.
"Ngeluh saja kalau memang perlu. Sambat enggak sambat, hidupmu emang penuh keluhan."
Ucapan Patra seketika membuat Bani menoleh, "Sialan!"
"Lah, bener, to?"
"Karepmu, Tra!"
Patra tertawa lebar. Kalau sudah begini, berarti mood Bani sudah mulai kembali normal. Keduanya melanjutkan perjalanan dengan banyak bercanda. Sampai di satu titik, Bani kembali terdiam.
"Tra, orang tuaku butuh banyak biaya untuk nebus tanah keluarga. Apa aku terima saja tawaran Pak Anton?"
Suara decitan rem dan hentakan mobil yang tiba-tiba berhenti membuat kepala Bani nyaris saja menyentuh dashboard.
"Enggak usah ngadi-ngadi, Ban!" ucap Patra dengan wajah serius.
🍂🍂 🍂
Day 8
Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 11 April 2023
Na_NarayaAlina
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top