# cobaan teman itu berat

Manusia itu ada saja cobaannya.
Enggak diuji rumah tangga, diuji pekerjaan.
Enggak diuji perkara istri, diuji sama anak.
Enggak diuji soal nikah, diuji keuangan.
Masih ada yang enggak diuji?
Kamu masih hidup apa sudah mati?

🍂🍂🍂

Matahari sudah mulai condong ke barat. Beberapa pegawai sudah tampak membereskan meja kerjanya. Sementara itu, di atas meja Bani masih berserak beberapa contoh produk yang harus dibereskan.

"Sep, minta tolong bantu beresin, bisa?"

"Aku urus pekerjaanku, kamu urus pekerjaanmu. Enggak ada bantu membantu," ucap Septa.

"Bantu bawain ke loker, dah. Ntar juga ngelewatin ruang penyimpanan 'kan?"

Septa menggeleng. Ia mengemas barangnya dan meninggalkan ruangan dengan langkah kaki yang tergesa-gesa mengabaikan Bani yang memang membutuhkan bantuan supaya tidak bolak-balik membawa barang yang dimaksud.

Tanpa berharap banyak akhirnya Bani membawa kardus berisi contoh produk itu satu persatu. Memang sudah nasibnya mendapat teman yang kadang baik, tapi kadang juga membuatnya naik darah.

Lelaki dua puluh empat tahun itu bergegas mengemasi bawaannya. Ia sudah merancang apa saja yang akan dilakukan di rumah bersama dengan anak bulu kesayangannya. Bukannya apa-apa, pulang lebih awal adalah nikmat tersendiri untuk pekerja kantoran, meski hanya selisih beberapa menit dari jam pulang kantor biasanya.

Perjalanan Bani menuju rumah memang lebih mudah dengan berjalan kaki. Namun, jika hampir semua kantor pulang di jam yang sama, maka seperti inilah suasananya. Jalanan menjadi lebih padat dengan suara klakson yang saling bersahutan.

Belum berapa lama ia berjalan kaki, di kejauhan tampak kerumunan manusia membentuk lingkaran. Ada aura kemarahan dari beberapa orang yang berdiri di trotoar.

Bani perlahan menembus kerumunan dan berhasil melihat apa yang ada di depannya. Seorang pemuda dengan kemeja hijau pastel tengah terduduk sambil memegang kakinya. Di sisi kanannya orang-orang berusaha menegakkan kembali motor yang jatuh bersamanya.

"Ini untuk pejalan kaki, Mas. Bukan untuk jalan alternatif motor."

"Sudah tahu fungsinya 'kan? Jangan-jangan SIM dapat nembak lagi."

Suara orang-orang itu menyalahkan lelaki yang masih kesusahan untuk berdiri. Bani langsung mendekat dan membantunya.

"Makas—haish, ngapain sih?" ujar Septa ketika melihat seseorang yang membantunya untuk bangkit.

"Bantuinlah. Memang mau apa?" ujar Bani sambil mengambil tas ransel yang tergeletak di dekat kaki Septa.

"Ini temannya? Minta tolong diajari, ya, kalau terburu-buru pastikan dulu jalanan ini yang bikin keluarganya. Dia nyerobot wilayah pejalan kaki," ujar seorang pejalan kaki dengan penampilan yang kurang lebih sama seperti Bani dan Septa.

Bukannya meminta maaf, Septa justru memasang wajah kesal dan berdecak mendengar omelan dari orang-orang sekitarnya.

"Kamu itu salah, jangan malah seolah orang lain yang salah jalan," ucap Bani sambil membungkuk pada beberapa orang sambil mengucapkan kata maaf beberapa kali.

Bani mengambil alih motor Septa dan menurunkannya ke sisi jalan supaya tidak menghalangi orang yang akan lewat. Sementara itu si pemilik motor berjalan dengan langkah kaki pincang dan menepi.

Kerumunan langsung terurai kembali setelah Bani memastikan tidak ada korban luka lainnya. Ia berlari menuju ke pedagang keliling yang menjual air kemasan. Ia membeli dua botol sekaligus.

"Minum dulu, nih. Kaget kan? Makanya, jalan itu di jalannya. Lah hak pejalan kaki kamu serobot, ya gitu jadinya."

"Diem dah, nggak usah banyak omong. Nih mo balik gimana? Kaki keseleo."

"Halah, rusun dekat sini aja kan? Aku yang bawa motornya," ujar Bani dengan penuh keyakinan."

"Bisa?" Septa memasang wajah ragu-ragu karena ia tidak pernah melihat Bani mengendarai motor.

"Dulu sih pernah bawa motor, pas SMA. Kayaknya masih bisa."

Septa nyaris saja beranjak meninggalkan Bani karena merasa tidak yakin dengan apa yang Bani ucapkan. Yang benar saja? Dari SMA sampai sekarang sudah berapa tahun berlalu dan Bani dengan enteng berkata 'sepertinya masih bisa.' Apa tidak mengantarkan nyawa pada malaikat maut kalau seperti itu?

"Bercanda. Aku punya SIM, masih aktif juga."

Meski masih terselip ragu-ragu, Septa akhirnya memilih untuk menuruti Bani. Ia berjalan pelan dengan sebelah lengan berpegang pada tangan Bani. Sangat kocak, tadi ia menolak membantu Bani, tetapi sekarang ialah yang harus dibantu.

Perjalanan menuju rusuh seharusnya tidak lebih dari lima belas menit. Namun, kemacetan sore hari membuat mereka harus rela memelankan motor dan menempuh hampir empat puluh lima menit untuk sampai di rusun tempat tinggal Septa.

Motor sudah terparkir, Septa juga sudah turuh dari motor dan menerima kunci motornya dari Bani. Belum juga melangkah jauh, Septa terdiam sambil menatap bangunan tinggi dihadapannya. Seketika ia meneguk ludah.

"Sep, aku pulang dulu, ya? Jangan lupa dibersihkan lukanya dan dikompres biar enggak bengkak. Lekas sehat."

Septa menoleh pada Bani. Wajahnya mendadak sendu. Ia lupa bahwa rusun tempat ia tinggal tidak memiliki lift, meski lift barang sekalipun. Ia tidak pernah terpikir pilihannya untuk tinggal di lantai teratas justru menjadi boomerang untuknya, terutama untuk situasi yang genting.

"Na-naiknya gimana? Kamarku di paling atas, Ban."

"Ya pakai lift lah!"

"Di sini enggak pakai lift."

Bani langsung menggaruk kepalanya begitu menyadari situasi yang rumit ini. Kedua lelaki itu akhirnya sama-sama terdiam. Bani masih berpikir bagaimana cara membawa Septa ke rumahnya,

"Nginep di tempatku dulu gimana? Semalam saja sampai mendingan."

"Enggak, ah. Ntar ngerepotin!"

"Lebih repot mana sama naik tangga sampai lantai empat?"

Septa menghela napas, perkataan Bani memang banyak benarnya. Ia akhirnya mengangguk, tetapi sebelum itu Septa meminta Bani untuk tetap naik ke rumahnya dan mengambil beberapa barang yang dibutuhkan.

Hubungan dua manusia ini unik, kadang saling kesal, kadang saling benci, tetapi kadang saling membutuhkan. Hanya saja gengsi yang sering menjadi penghalangnya.

Bani melakukan panggilan video dengan Septa yang menunggu di lantai dasar. Ia memulai pencariannya untuk menemukan barang-barang yang dimaksud. Berbekal arahan dari Septa yang berada di seberang telepon ia berhasil mengumpulkannya.

Canggung. Begitu situasi yang tercipta ketika Septa memasuki rumah Bani. Tatanannya jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Lebih rapi dan juga terasa lebih nyaman.

"Tunggu di sini, aku ambil obat dulu sambil nanti dibersihkan lukanya."

Septa menurut dan duduk di sofa. Ia sedikit kaget karena seorang Bani ternyata penyuka binatang. Giant langsung dilepas dari kandang begitu Bani memasuki rumahnya.

"Nama kucingnya siapa?"

"Giant. Jangan coba nyapa, dia enggak suka dengan orang baru."

"Aw, nyakar nih kucingnya."

"Makanya jangan didekati."

"Dia yang dekat-dekat."

Septa memilih untuk mengakhiri perdebatannya ketika Bani datang dengan baskom berisi air hangat dan obat untuk luka luar serta salep untuk luka lebamnya.

Bani tidak akan pernah menyangka bahwa malamnya kali ini akan sangat berbeda karena kedatangan tamu yang tidak diundang. Apalagi bisa dikatakan tamunya ini sedang sakit.

Ia langsung menyiapkan beberapa suguhan yang bisa dinikmati. Setidaknya hal itu bisa membuat tamunya nyaman tinggal bersamanya.

Untuk ukuran seorang tamu, sepertinya Septa sangat tidak direkomendasikan untuk kembali tinggal bersamanya. Sebab hanya dalam waktu dua jam saja, kesabaran Bani mendadak berkurang.

Beberapa kali Septa memanggilnya hanya untuk hal-hal yang sebenarnya bisa ia lakukan.

"Ban, ini banyak nyamuk."

"Ban, tolong ambilkan minum."

"Ban, selimutnya terlalu tipis."

"Ban, Giant terlalu berisik. Aku enggak bisa tidur."

Ini baru sedikit, kejadian itu terus terulang sampai menjelang tengah malam.

🍂🍂 🍂

Day 7

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 10 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top