11. Lembaran Baru
"Ray, kamu harus tahu juga. Dulu sekali Vikra juga sering mengalah sama kamu. Jadi ikhlaskan saja ya." Perkataan Ayah Raymond kembali terngiang di benaknya. Memang ada benarnya. Vikra dan Raymond termasuk saudara yang berhubungan sangat dekat, ditambah orang tua mereka yang sama-sama anak tunggal. Vikra dari dulu suka mengalah dari hal kecil sampai besar. Terutama perusahaan cabang peninggalan kakek mereka. Raymond tahu sebenarnya dulu Vikra sangat berminat di bidang garmen tapi karena Raymond juga suka akhinrnya Vikra mengalah dan memilih bidang jasa iklan.
Sekali lagi Raymond mengusap rambutnya dan kembali merapikan dasinya, menatap cermin dan memantapkan hati kembali ke pabrik garmennya. Semoga dia bisa ikhlas karena seharusnya ya memang harus biasa saja. "Ahh, gue kan yang mantannya paling banyak dari Kak Vikra jadi pasti lebih mudah lagi menemukan yang baru."
Padahal hampir saja cinta mati...
______
Nalina tampak sendu di antara obrolan menyenangkan para karyawati itu. Kebanyakan mereka yang baru berkerja menyukai pesona Vikra. Namun, tak berlaku untuk Nalina. Entah dia sebal dan benci melihatnya walau seusai makan malam itu Vikra minta maaf atas sikapnya selama ini. Dia juga jadi memikirkan permintaan Mama Gea, Mamanya Vikra untuk mengenal Vikra dan memberikan kesempatan pada Vikra.
Malam itu Mama Gea bercerita tentang patah hati Vikra hingga depresi karena kehilangan tunangannya dulu. Wanita cantik itu bersyukur dan berterima kasih karena belum setahun Vikra sudah bisa memiliki semangat hidup lagi dan lepas dari depresi karena pertemuannya dengan Vikra.
Nalina juga sekarang jadi merenungi hidupnya dan pekerjaan kantor jadi sedikit terabaikan. "Memang secinta itu dia dulu sama Zia?" tanya Nalina bermonolog. Tak disangka ada yang menjawab.
"Ciee... galau ya." Uly menghampiri meja kerjanya dengan penampilan modis seperti biasa.
Nalina tersadar dan mengerjap lalu menatap Uly. "Eh, engg...gak."
Uly manyun dan kembali berkata, "Ah, kok enggak? Galau aja yuk biar gue ada temennya gitu. Karena Aa Ray udah gak di sini lagi. Dia sudah pergi, meninggalkan duka yang perih. Aaaaaa... Rayyy... hikss... Walau ada boss baru yang ganteng juga tetap Aa Ray di hati."
Nalina tampak meringis karena teriakan Uly terlebih penekanan di kata 'Aa Ray'. "Kak Uly, Pak Ray masih hidup kali. Sedih sampe segitunya."
Sedangkan para karyawan lain agak terdiam mendengar curhatan Uly tapi tetap kembali ngerumpi ria sambil kembali ke bilik kerja masing-masing. Tak lama setelah itu Uly menyusul dengan gaya lari yang lucu. Nalina harus menahan tawa melihat tingkah wanita cantik itu.
Beberapa menit kemudian telepon di atas mejanya berbunyi. "Halo, selamat siang." Nalina menjawab agak santai karena dari nada bunyi panggilan berbeda yang berarti panggilan berasal dari dalam satu perusahaan.
"Datang ke ruangan saya." Jawaban Vikra dari ruangannya yang lagi-lagi membuat Nalina kesal. Karena dari tadi pagi ada saja alasan tak penting memanggilnya. Nalina menghela nafas dan memejamkan mata beningnya untuk meredakan gejolah emosi. Setelah itu membuka mata, melakukan pemanasan kecil pada tubuhnya lalu berjalan ke ruangan Vikra.
"Selamat siang menjelang soree, Pak Vikra. Ada hal kecil apa lagi ya?" tanya Nalina dengan nada sopan dibuat-buat dan meninggikan nada di kata sore.
Vikra menatap dengan Nalina. Ternyata tatapan pria itu agak sedikit membuatnya takut juga padahal Nalina tahu Vikra hanya menatap tapi seolah terkesan ingin menantangnya. "Ohhh, gak apa-apa. Silakan kembali lagi ke bilik kamu."
Nalina membuka lebar mulutnya dan melotot. "Maaf, kok Bapak semakin tidak jelas ya."
"Cuma mau lihat kamu aja masih ada di sini apa gak,"ucap Vikra lalu tertawa kecil. Ekspresinya berubah cepat.
"Baiklah kalau begitu permisi ya, karena Bapak sudah melihat saya, "ujar Nalina dengan senyum yang harus dia atur lagi dengan apik.
Namun, tepat sebelum membuka pintu Vikra kembali menyahut. "Nal, bisa kan kalau Cuma kita berdua gak usah pakai panggilan formal seperti itu?"
Nalina hanya diam menatap pintu kayu coklat di depannya. Tangannya masih memegang hendel pintu lalu gadis itu keluar tanpa menjawab pria yang memberikan dia pertemuan awal yang tak menyenangkan.
Saat tinggal dirinya sendiri Vikra kembali sendu. "Tenang ini baru awal. Aku yakin bisa membuka lembaran baru sama kamu."
_______
Devan ternyata masih menemuinya sore itu ketika Nalina pulang dari kantor. Yang lebih mengejutkan saat Devan mengikutinya diam-diam hingga di jalan yang agak sepi pria itu menghadang jalannya. "Ina, aku mohon jangan seperti ini, "pinta Devan yang menahan motor Nalina ketika ingin pergi.
"Kak, udah deh. Aku ... pusing banget sekarang, hidup aku sekarang bukan cuma kakak lagi. Tolong aku juga mohon jangan seperti ini juga sama aku." Nalina menatap sayu pada Devan. Raut wajahnya menyiratkan kejenuhan yang pekat.
"Ina, kamu kenapa jadi berubah begini sih?! Kamu benar udah gak mau kasih aku kesempatan lagi?" tanya Devan yang masih berusaha memohon.
Nalina mengernyit lalu melepas helmnya dan memukul kepala Devan. "Kesempatan apa sih, Kak? Lebih baik kesempatan kakak itu sekarang jadi suami dan Ayah yang baik untuk keluarga kakak sekarang."
Namun, Devan malah sedikit tersenyum walau tubuhnya agak lemas karena Nalina masih memanggilnya kakak. Tak lama keadaan mereka berdua dikacaukan oleh sebuah mobil coklat sedan yang tiba-tiba muncul. Bahkan hampir menabrak Devan.
Lalu si pemilik mobil keluar dengan setelan kerja yang masih rapi. "Maaf hampir... sengaja nabrak."
Nalina memutar bola matanya ketika menoleh ke belakang siapa yang datang. Lagi-lagi Vikra, tapi dia tak sendiri .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top