Hari Ketujuh: Menemukanmu (Bagian 3)
untuk RennaLotary,
yang sangat humble dan sangat berdedikasi terhadap karya-karyanya.
***
PEMANDANGAN nyaris di seluruh bagian istana malam itu terlihat benar-benar... gemerlap.
Hampir di setiap senti koridor yang kulewati dihiasi buket-buket bunga berwarna biru dan putih, dengan pita-pita perak yang dijalin indah dan saling tersambung satu sama lain. Lampu-lampu kristal, pajangan, patung-patung yang menghiasi istana di sana-sini telah dibersihkan hingga memancarkan kilau yang lebih dari biasanya. Lantai-lantai marmer digosok bersih sampai-sampai aku nyaris dapat melihat pantulanku sendiri ketika berjalan. Dan ketika melintasi halaman tengah istana, aku dapat melihat hasil jerih payah para tukang kebun istana dari rerumputan yang terpangkas rapi dan semak hias yang dipotong dengan bentuk-bentuk indah.
"Gugup?" tanya ayahku, yang sudah berdiri bersebelahan denganku di depan pintu besar menuju Aula Utama yang tertutup.
"Anehnya, ya." aku berusaha membenahi lipatan kerah seragam hitamku yang tidak lurus. "Melebihi saat menjelang pidatoku tadi siang, bahkan."
Sir Rowen sudah hendak menghampiriku untuk membantu merapikan kerah, namun Ayah mengangkat sebelah tangannya untuk mencegah Sir Rowen. Lalu Ayah sendiri yang membantuku.
"Cemas akan dansamu dengan Carina nanti?" tanyanya dengan pelan seraya meluruskan kerahku. Terselip nada jahil pada suaranya.
Aku merasakan tengkukku memanas, "Kau tahu aku mengajaknya?"
"Oh, seorang raja dituntut untuk tahu segalanya, Orion." dia selesai dengan kerahku dan menepuk pundakku dengan satu tangannya sebelum kembali menghadap ke depan, "Termasuk soal perjalanan rahasiamu ke desa bersama Carina."
Leherku sampai berbunyi saking cepatnya aku menoleh menatap Ayah dengan syok, "Apa?! B-Bagaima--?"
Namun tanpa memedulikan kepanikanku, Ayah mengangguk ke salah satu ksatria dan berkata, "Kami siap."
Lalu terdengar suara mengumumkan dari balik pintu, "Yang Mulia Raja Cygnus dan Yang Mulia Pangeran Orion dari Centauri memasuki ruangan!"
Pintu besar di hadapan kami terbuka. Ayah melangkah memasuki ruangan, lalu aku menyusul beberapa langkah di belakangnya.
Keringat dingin menuruni pelipisku sementara kami berdiri bersebelahan di bordes puncak tangga menuju aula dansa. Ayah tahu soal malam itu?!
"Apakah Paman yang memberitahumu?" bisikku dari sudut mulut sambil berusaha tetap mempertahankan senyum di wajah, karena perhatian seluruh tamu undangan tengah tertuju kepada kami.
"Oh. Rupanya Alphard tahu soal itu."
Topeng pura-pura ceriaku langsung runtuh begitu mendengarnya. Aku menatap ayahku dengan panik, "Tolong jangan salahkan dia. Itu murni keputusanku dan jika kau ingin menghukumku tolong jangan libatkan--"
"Sudahlah, Orion. Nikmati saja dulu malam ini. Ini malam perayaanmu." Ayah mengedip padaku, "Soal itu akan kita bicarakan besok. Pagi-pagi sekali."
Aku hanya mampu menelan ludah mendengarkan ultimatum ayahku.
Kemudian Ayahku memberi sambutan dan ucapan terima kasih kepada para tamu. Setelah pidato singkatnya selesai, kami bersama-sama menuruni tangga menuju aula dansa untuk menyapa para tamu secara bergilir. Untunglah, aku berhasil mengingat nama dan wajah semua undangan sehingga Paman tidak perlu lagi berdiri dekat-dekat di belakangku untuk mengisiki bocoran.
Ketika akhirnya aku dan ayahku menghampiri dua sosok yang sudah sangat kukenali, jantungku berpacu dengan cepat.
Aku sudah tahu bahwa warna khas kerajaan Eridanus adalah hijau dan emas, tetapi ketika melihat pasangan ayah dan putri itu mengenakan warna itu, mereka masih berhasil membuatku terpukau.
Raja Castor tampak berwibawa dengan seragam hijau berselempang emasnya. Malam ini, untuk pertama kalinya aku betul-betul melihatnya seperti selayaknya seorang raja yang patut disegani. Bukannya aku tidak menghormatinya selama ini, namun entah mengapa pandanganku terhadapnya seringkali lebih mengarah ke perasaan yang kekeluargaan, didukung sifat Raja Castor yang kebapakan. Seolah dia merupakan kerabat dekat yang kehadirannya kusukai.
Dan ketika pandanganku akhirnya jatuh pada sosok Carina, dalam balutan gaun elegan berwarna hijau zamrud dengan sentuhan renda dan bordir berwarna emas, juga rambut sebahunya yang digerai alami dengan hiasan mahkota bunga yang juga berwarna emas pada puncak kepalanya, otakku mendadak terasa macet.
Aku hanya mampu berdiri mematung memandanginya.
Dia terlihat begitu cantik.
Terdengar dehaman dari sampingku, membuatku tersadar dari bengongku.
"Dansanya akan segera dimulai." ayahku mengumumkan, entah mengapa terdengar seperti menahan tawa.
"Ayo, Cygnus. Mari kita temukan pasangan-pasangan kita dan biarkan muda-mudi ini menemukan suara-suara mereka kembali." Raja Castor menepuk bahuku dan keduanya kemudian meninggalkan kami di tengah aula.
Aku dan Carina berdiri saling berhadapan, sama-sama tidak bersuara di tengah keriuhan obrolan para tamu undangan di sekeliling kami. Dan gadis itu masih saja menghindari mataku.
Sambil berusaha mengindahkan kata-kata Stefan tadi siang yang kembali terngiang di kepalaku, aku memutuskan memecah keheningan.
"Sepatu yang mempesona." celetukku.
Carina bergerak gelisah, "Sepatuku?"
"Sejak tadi kau terus memandangi sepatumu, kurasa kau ingin aku memujinya?" tanyaku sok polos, membuat Carina akhirnya mendongak memandangku dengan kesal.
Berhasil lagi.
"Apakah itu sebuah sindiran, Yang Mulia?" sepasang mata cokelatnya menyipit.
"Kurang lebih. Bisakah kau berhenti memanggilku begitu? Kedengaran aneh dan canggung."
Kemudian, kerumunan di sekeliling kami perlahan bergeser ke tepian aula dan semua orang berhenti berbicara, tanda dansa akan segera dimulai. Aku dan Carina turut bergeser ke pinggir. Tak lama, alunan biola yang lembut mengisi keheningan. Aku melihat Ayah dan Duchess Deneva, sepupunya, melangkah ke tengah aula dan memulai dansa pertama. Kemudian Raja Dan Ratu Canopus mengikuti, disusul Raja Castor dan pasangannya.
Perhatianku kembali kepada Carina, yang tengah memperhatikan ayahnya berdansa di kejauhan. Senyuman kecil terbit di bibir merah mudanya yang terlihat begitu lembut...
Jantung! Tenanglah!
Aku berdeham pelan, lalu membungkuk dan mengulurkan tanganku.
"Tuan Putri, maukah kau berdansa denganku?"
Carina menyambut uluran tanganku.
"Padahal tadi kau melarangku memanggilmu 'Yang Mulia'..." katanya dengan kedua pipi memerah.
Aku mengulum senyum sementara kami berjalan bersama ke tengah lantai dansa dan berputar hingga berhadapan satu sama lain. Kami saling memberi hormat, dan melangkah mendekat. Carina meletakkan satu tangannya di bahuku sementara aku meletakkan satu tanganku di pinggangnya. Sementara tangan-tangan kami yang lain saling menggenggam. Kami dapat merasakan tatapan-tatapan dari para tamu di sekitar kami. Lalu kami melangkah serempak mengikuti alunan musik.
"Jadi." kataku memulai percakapan demi mencairkan suasana di antara kami yang canggung, "Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu."
Carina mengangkat alis, "Untuk apa?"
"Telah memberiku pencerahan di bawah pohon magnolia siang ini." kataku, mengangkat sebelah lenganku sementara Carina berputar pelan di bawahnya, "Kau memberiku inspirasi saat mengatakan kau dan ayahmu 'menemukan satu sama lain'. Jika itu terjadi padamu dan ayahmu, kupikir situasiku dan ayahku mungkin agak mirip dengan itu. Dan dugaanku benar."
Carina mengerjap, "Kau menemukan 'pohon' ayahmu?"
Aku memandangi gadis itu dengan kagum.
Dia mengerti.
"Ya. Aku menemukannya di 'pohon'nya. Dan kami bicara soal ibuku. Itulah sebabnya pidatoku berjalan dengan lancar. Dan... kami bisa membicarakan beliau dengan terbuka, mulai sekarang."
Carina tersenyum menatapku, kedua mata cokelat teh-nya sedikit berkaca-kaca.
"Aku turut bahagia untukmu, Orion." katanya tulus.
Genggaman tanganku pada tangannya semakin erat, "Terima kasih."
Carina menurunkan pandangannya, "Dan... aku ingin mengatakan bahwa aku bangga mendengarkan pidatomu tadi siang. Pidato yang begitu hangat dan memukau. Begitu mencerminkan seorang pangeran yang rendah hati, di balik segala kekayaan dan ketampanan yang--"
"Jadi Stefan benar." potongku.
"Apa?"
"Dia berpikir kau menganggapku tampan tadi siang. Rupanya benar."
Ekspresi kesal yang sama dengan yang ditunjukkan Carina padaku siang tadi muncul kembali di wajahnya saat ini, "Kau benar-benar sok polos atau memang kelewat bodoh?"
"Sudah dua kali kau mengataiku bodoh, Carina. Pangeran pada umumnya seharusnya sudah memberikan hukuman pada orang yang menjelek-jelekkan keluarga kerajaan." protesku, "Kau beruntung ini aku, si rendah hati."
"Ternyata kau memang bodoh." gumam Carina sambil berputar lagi di bawah lenganku.
"Nah-nah. Tiga kali."
"Lagipula memangnya kau sendiri tidak--"
"Jadi, menurutmu aku tampan?"
Carina menghela napas tak sabar, "Gadis-gadis memandangimu dengan pandangan memuja. Kau bisa cek sendiri, sekarang cobalah lihat ke sekelilingmu."
Aku menarik lembut pinggang Carina hingga tubuh-tubuh kami berdiri semakin dekat. Aku menolak memutuskan pandanganku darinya.
"Tidak mau." kataku, tersenyum miring.
Aku bisa melihat kepanikan di wajah Carina ketika dia menurunkan pandangannya dari mataku ke bahuku. Dia bergumam dengan suara kecil, "Ini tidak adil."
Aku mengernyit, "Apanya?"
"Kau dan ketampananmu! Bagaimana bisa?" Carina menyerah, "Tadi siang kau mengenakan seragam serba putih yang membuatmu terlihat sangat... bersahaja dan berkilauan seperti malaikat. Lalu kau muncul malam ini dengan seragam serba hitam yang sangat bagus dan begitu cocok dengan rambutmu, dan semakin menonjolkan warna biru pada matamu... membuatmu terlihat seperti titisan Pangeran Kegelapan yang luar biasa memikat atau semacamnya..."
"Jika Victor atau Sir Leonis mendengar semua itu, aku akan habis jadi bahan tertawaan." komentarku geli.
"Victor dan Sir Leonis tidak akan berani menertawai seorang pangeran."
"Bagaimana denganmu?" ujarku sementara kami berputar di tempat, "Kau juga sangat tidak adil."
"Maaf?"
"Dengan penampilanmu malam ini. Tidak, bukan hanya malam ini. Bahkan sejak saat aku pertama kali melihatmu di dekat kereta kuda yang terperosok lubang..."
"Apa maksudmu?"
"Kau sangat cantik, Carina. Membuatku nyaris tak percaya kau benar-benar nyata."
Carina terdiam.
Tepat setelah itu, gerakan dansa mengharuskan kami untuk memisahkan diri sejenak, membuatku tak dapat melihat reaksi dari gadis itu secara langsung. Namun ketika gadis itu kembali ke dalam dekapanku, dia hanya mampu menatapku tanpa berkata-kata.
Maka aku meneruskan.
"Juga matamu. Mengingatkanku akan warna permukaan teh yang begitu kusukai."
Rasanya sangat melegakan mengungkapkan hal yang seminggu belakangan ini terus bercokol di kepalaku.
Tetapi sekaligus sangat menyiksa, karena saat ini gadis di hadapanku hanya memandangiku dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Ucapanku berdasar." tambahku, berusaha mengabaikan rasa maluku yang mendadak menyeruak ke permukaan dengan membalikkan kata-katanya, "Para pemuda di sekitar kita memandangimu dengan tatapan memuja, yang... sebetulnya agak mengkhawatirkan, jika aku boleh jujur. Kau bisa cek sendiri."
Lagi-lagi, Carina menurunkan pandangannya. Dia memelototi bahuku dengan rona merah yang menjalari pipinya. Kemudian dia kembali memasang ekspresi kesal yang sudah kuhapal itu, dan sejujurnya, membuatnya terlihat begitu menggemaskan.
"Tidak mau." gumamnya pelan kepada bahuku.
Setelah musik berakhir, Carina memisahkan diri dariku dengan begitu cepat dan melebur ke kerumunan. Aku tak kuasa menyusulnya karena segera setelahnya, ayahku memanggilku dan mengajakku berbincang dengan beberapa bangsawan. Selama obrolan yang panjang dan menyiksa itu, mataku terus menyusuri kerumunan. Tetapi aku tidak dapat melihat mahkota bunga emas milik Carina di manapun.
Yang membuatku semakin cemas, Raja Castor juga bergabung dengan obrolan kami saat ini, sendirian.
Ke mana sih, dia?
Apakah dia sakit?
"...dan ya, pertemuan itu memang tidak bisa diundur lebih lama lagi. Karena itu kami harus kembali ke Eridanus besok siang..."
Fokusku seketika teralih pada sepotong perkataan Raja Castor barusan.
"Anda akan kembali ke Eridanus besok siang?" aku menyeletuk otomatis, mengabaikan tatapan-tatapan yang kini tertuju padaku.
Raja Castor menatapku terkejut, "Ya, sayangnya. Kupikir kami sudah memberitahukannya sebelumnya?"
Aku terdiam. Memang benar, Ayah atau Paman pernah memberitahuku sebelum ini bahwa Raja Castor dan Carina akan kembali ke Eridanus segera setelah hari perayaan ulang tahunku, sementara beberapa tamu lainnya ada yang menginap satu atau dua hari lagi.
Hanya saja... mengapa rasanya terlalu cepat?
Sepanjang sisa pesta malam itu, aku tak bisa mengalihkan pikiranku dari Carina. Melalui Sir Leonis, aku tahu bahwa gadis itu ternyata menitipkan pesan kepada ayahku untuk kembali ke kamar lebih dulu, karena dia merasa terlalu lelah berdansa.
Dalam hati, aku menyangsikan alasannya itu.
Apakah dia membenciku?
👑
Orion di kamar sambil nyabutin kelopak bunga satu-satu:
"Benci...
Tidak...
Benci...
Tidak...?"
🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top