Hari Ketujuh: Menemukanmu (Bagian 1)

untuk emlismia,

terima kasih sudah menemukan ceritaku.

***

HARI ketujuh.

Hari di mana hukuman kurungan-kamarku akhirnya selesai.

Cuaca hari ini sangat cerah. Langit begitu biru dan tak berawan, seolah turut mendukung perayaan besar Centauri yang diadakan pertama kali semenjak sepuluh tahun terakhir.

Ketegangan yang terasa di dalam dinding istana kini tergantikan oleh semangat dan keceriaan. Aku menerima ucapan selamat ulang tahun dari nyaris semua orang, mulai dari Sir Rowen, kepala pelayan wanita, seluruh pekerja istana yang berpapasan denganku, para ksatria, para menteri, bahkan Paman.

Sejak pagi-pagi, jadwalku sudah padat oleh agenda. Hari ini Sir Leonis yang bertugas mengawalku, sementara Stefan dan Victor harus membagi fokus karena mereka juga bertugas menerima dan memeriksa hadiah-hadiah ulang tahunku.

Bicara soal hadiah, aku betul-betul dibuat kewalahan oleh jumlah barang yang kuterima dari para tamu, kerabat, juga yang datang dari rakyat. Seluruh barang itu diletakkan di aula serbaguna di Sayap Timur yang memang sengaja dipersiapkan untuk ini, dan belum mencapai waktu makan siang, gunungannya sudah nyaris mencapai langit-langit aula.

Aku juga menghadiri acara tatap muka dengan para tamu dan perwakilan rakyat di Ruang Tahta yang memberikan ucapan selamat kepadaku secara langsung. Walaupun ini adalah acaraku, Ayah juga turut hadir di sana setelah kembali dari kegiatan berkuda di pagi harinya. Sejujurnya, aku semakin bingung dengan sesi berkudanya yang belakangan ini semakin sering, terutama hari ini. Dia seharusnya disibukkan dengan bermacam agenda, terutama di hari ini, namun dia masih bersikeras melakukannya.

Carina dan Raja Castor juga hadir, namun karena hadiah dari Eridanus telah tiba sejak hari pertama kedatangan mereka, keduanya hanya datang untuk memberiku ucapan selamat. Ketika Raja Castor dan Carina maju ke depan singgasana dan memberi hormat padaku dan Ayah, tatapanku tak dapat lepas dari sang Putri.

Gadis itu tampak luar biasa memesona dalam gaun biru-perak yang dikenakannya, mencocokkan dengan warna khas Centauri. Rambut sebahunya yang biasanya hanya dijepit sederhana di satu sisi kini digelung kecil di belakang kepala dengan beberapa helai yang mengikal dibiarkan terjatuh di sisi-sisi wajah, membuatnya terlihat begitu manis.

Saat Raja Castor akhirnya mohon diri dari hadapan kami, tatapanku dan Carina sejenak bertemu. Tetapi gadis itu malah mengalihkan pandangannya sebelum berbalik mengikuti ayahnya kembali ke kerumunan tamu.

Ketika sesi pertemuanku dengan para tamu akhirnya selesai, Sir Leonis dengan sigap menghampiriku dan memberitahu jadwalku berikutnya. Aku harus menghadiri sarapan dengan ayahku bersama para tamu kehormatan. Diam-diam aku masih memperhatikan ujung gaun Carina yang menghilang di balik pintu Ruang Tahta sambil menyesali kegiatanku yang begitu padat menghalangiku berbincang sejenak dengannya. Walaupun kami akan bertemu lagi saat sarapan, mustahil bagi kami untuk mengobrol kasual di sana.

Dan sesuai dugaanku, sarapan pagi itu bersama para tamu kehormatan berlangsung... membosankan. Sebagai tuan rumah, aku dan Ayah duduk di kepala meja panjang yang berlawanan sehingga kami terpisah jauh dan tidak mungkin mengobrol. Aku melakukan percakapan ringan sepanjang sarapan dengan tamu kehormatan yang duduk paling dekat denganku, Duke Elbenn--Kepala Menteri Centauri--dan istrinya. Syukurlah aku sudah cukup mengenal keduanya, mereka merupakan pribadi yang cukup ramah sehingga obrolan yang terjadi tidak terasa 'dipaksakan'.

Namun tetap saja, beberapa detik sekali aku mendapati diriku mencuri pandang ke arah Raja Castor dan anak perempuannya, yang duduk dekat dengan Ayah. Entah mengapa, aku merasa agak jengkel mendapati gadis itu tak menoleh ke arahku sekalipun. Itu membuatku bertanya-tanya apakah percakapan kami semalam di bawah pohon magnolia hanyalah khayalanku semata dan apakah gadis itu diam-diam masih marah padaku--

"--dan pastilah Ratu Andromeda akan menyukai menu ini!"

Lamunanku seketika terputus.

Tatapanku naik dari piring pai-ku untuk melihat siapa yang barusan mengatakannya. Raja dan Ratu Canopus, yang duduk di dekat Ayah dan berhadapan dengan Raja Castor serta Carina, tengah tersenyum memandangi menu di hadapan mereka. Sang Ratu berbicara dengan hangat kepada Ayah, sama sekali tak menyadari ketegangan yang terlanjur menyebar di dalam ruangan.

"Bila mengingat pertemuan kami dulu sekali, Yang Mulia, beliau mengungkapkan kepada saya bahwa pai rhubarb adalah kesukaannya. Mungkinkah Anda mempertimbangkan ini dan memilihnya untuk mengenang almarhumah Ratu?"

Aku meletakkan garpuku perlahan, menyaksikan wajah-wajah kaku dari para pelayan di sekitar kami. Kemudian aku memberanikan diri melihat Ayah.

Pria itu menyeka mulutnya dengan serbet dalam diam, namun aku dapat menangkap rahangnya yang mengeras.

Ketika sang Ratu akhirnya menyadari atmosfer yang berubah di sekelilingnya, dan berkata perlahan, "Astaga, apakah saya mengatakan sesuatu yang salah?"

Ayah hanya tersenyum simpul dan berkata pada sang Ratu, "Centauri adalah salah satu pengekspor rhubarb terbesar saat ini. Tentulah bukan hal yang aneh mendapatinya menjadi salah satu menu andalan yang disajikan. Bicara soal ekspor, bagaimana dengan perkebunan anggur dengan mutu luar biasa dari Canopus?"

"Anda terlalu memuji, Yang Mulia." Raja Canopus tersenyum, dan seketika ketegangan kembali mencair.

Canopus memang merupakan kerajaan yang letaknya paling jauh, bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan tetangga kami lainnya. Sehingga tak mengherankan bila Raja dan Ratu Canopus tidak tahu menahu soal topik tabu di dalam istana Centauri.

Aku dapat merasakan pandangan bersimpati dari beberapa tamu yang kini tertuju kepadaku. Tamu-tamu lainnya mengetahui soal kecanggungan yang tengah terjadi namun tak sanggup mengatakan apa-apa. Aku memainkan potongan pai-ku dengan garpu sembari tertawa pahit dalam hati.

Aku bahkan tak pernah tahu pai rhubarb adalah kesukaan Ibu.

Sepanjang sisa sarapan, aku tidak mampu lagi menikmati menu-menu yang disajikan. Lidahku seolah berubah mati rasa dan seperti ada batu sebesar kepalan tangan yang tersangkut di tenggorokanku. Sejujurnya, ingin rasanya bangkit dari kursiku dan melarikan diri dari ruangan yang menyesakkan ini, tetapi aku tidak bisa.

Ini hari pentingku. Aku tidak boleh mengacau.

Kemudian, waktu sarapan yang berlangsung luar biasa lamban itu akhirnya selesai. Aku mengikuti para tamu satu persatu keluar dari ruang makan melalui pintu dan memasuki koridor untuk menuju ruang duduk.

Namun ketika nyaris mencapai ambang pintu menuju ruang duduk, langkah kakiku melambat hingga akhirnya terhenti.

"Yang Mulia?" Sir Leonis menghampiriku yang tertinggal di belakang.

Bongkahan batu di tenggorokanku sudah semakin besar.

Aku tak tahan lagi.

Tanpa mengucapkan apapun, aku berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan dari ruang duduk.

"Y-Yang Mulia?" Sir Leonis memanggilku dengan bingung.

"Perlu waktu sebentar. Jangan ikuti aku." kataku tanpa menoleh, tak mengindahkan tatapan keheranan dari beberapa pelayan yang kulewati saat aku nyaris berlari menyusuri koridor, menuju satu-satunya tempat yang terpikirkan olehku.

Aku dapat merasakan degup jantungku melambat ketika kakiku menyeberangi halaman berumput menuju pohon magnolia. Seperti biasanya, pemandangan pohon itu entah mengapa selalu berhasil menenangkanku. Padahal itu hanya pohon tua yang sama. Yang selalu diam, tak bergerak maupun berbicara.

Aku berjalan mendekati pohon besar itu, menyentuhkan satu telapak tangan dan dahiku ke batangnya, memejamkan mata, merasakan gemerisik dedaunan di atasku dan hembusan angin menyambutku. Bongkahan batu di dalam tenggorokanku perlahan menghilang.

Tiba-tiba aku menangkap suara langkah seseorang dari arah belakangku.

Sir Leonis? Tidak, bukan. Langkahnya ringan dan ragu-ragu di atas rumput.

"Aku akan mengumumkan kedatanganku kalau aku jadi kau, Carina."

Langkah di belakangku terhenti.

Aku membuka mata dan berbalik, menatap gadis bergaun biru-perak yang tengah berdiri tak jauh di depanku sambil agak mencengkeram rok gaunnya.

"Aku bertanya pada Sir Leonis dan dia bilang kau ingin sendiri. Tapi kakiku mengkhianati pemikiranku." ujar Carina perlahan.

Aku hanya diam.

Carina berjalan beberapa langkah mendekat.

"Orion, apakah kau butuh seseorang untuk bicara?" tanyanya lembut.

Aku mengernyit, "Apa maksudmu?"

Carina menatapku.

"Kau tahu maksudku."

Aku balas memandangi mata cokelat teh-nya yang saat ini menatapku lurus-lurus, "Jadi kau menyadarinya."

"Tentang ibumu? Kau memberitahuku di danau waktu itu, bahwa ayahmu tidak pernah membicarakan tentang beliau."

Dia mengingatnya.

"Dan lagi-lagi, kau menatapku seolah berpikir bahwa aku adalah manusia paling mustahil untuk bersikap peduli." Carina menghela napas.

"Salah."

"Apa?"

"Aku tidak berpikir seperti itu. Aku menatapmu sambil berpikir bahwa kau adalah gadis yang tak pernah gagal mengejutkanku." ungkapku.

Carina mengalihkan pandangannya, "Tukang bohong."

"Pertama 'tukang intip rok', sekarang 'tukang bohong'... selanjutnya apa lagi?" kekehku.

"S-Sudahlah, aku minta maaf." Carina buru-buru berkata.

Selama beberapa saat, kami tidak saling bicara. Carina hanya memainkan rumput dengan ujung sepatunya, sementara aku masih tak mampu melepaskan pandanganku dari gadis itu.

"Terima kasih Carina, sudah menyusulku dan mengkhawatirkanku." aku akhirnya membuka suara, "Tetapi aku sudah jauh lebih baik. Tempat ini selalu berhasil menenang--"

Aku terdiam.

"Tunggu, aku tidak ingat aku mengatakan soal tempat ini ke Sir Leonis tadi." kataku bingung, "Bagaimana kau mengetahui aku ada di sini?"

Kali ini ganti Carina yang mengernyit heran.

"Memangnya di mana lagi kau akan berada selain di sini?"

Dia tahu.

Mengapa dia tahu segalanya?

Aku memandanginya selama beberapa saat. Menimbang-nimbang pertanyaan yang sudah bercokol di kepalaku sejak insiden di danau.

"Carina, bolehkah aku... bertanya sesuatu padamu?"

Carina mengangkat alisnya.

Aku menambahkan, "Mungkin ini hal yang cukup sensitif dan aku sangat mengerti bila kau tidak ingin menjawabnya. Tetapi sejujurnya, sudah agak lama hal ini mengganjal pikiranku."

Carina mengangguk sambil tertawa sedikit, "Aku tidak keberatan. Dan terima kasih untuk peringatan awalnya, Orion."

Aku ragu-ragu sebentar sebelum menyuarakan pertanyaanku.

"Pernahkah kau membicarakan soal mendiang ibumu dengan ayahmu... setelah beliau meninggal?"

Aku bisa melihat Carina nampaknya telah memperkirakan bahwa hal itu yang ingin kutanyakan, karena dia tidak terlihat terkejut.

"Ya." jawab Carina, setelah terdiam selama beberapa saat. "Terkadang."

Mendengar jawaban dari gadis itu, dua perasaan menyergapku. Yang pertama adalah kelegaan, karena itu berarti Carina memiliki seseorang untuk diajak bicara soal ibunya. Yang kedua adalah... rasa iri. Iri karena Carina memiliki seorang ayah yang... bersedia untuk berbicara.

"Itu bukan hal yang mudah, pada awalnya." Carina melangkah mendekati batang pohon, "Terlebih ibuku meninggalkan kami saat melahirkanku. Rasa bersalah itu tetap ada hingga sekarang. Dan aku yakin, Ayah juga memiliki hantu-nya, sekecil apapun itu."

Aku memperhatikan gadis itu menyentuhkan telapak tangannya ke batang pohon magnolia-ku, seperti yang kulakukan beberapa saat yang lalu.

Carina melanjutkan pelan, "Tetapi aku dan Ayah sama-sama mengetahuinya, dan berjanji bila suatu saat hantu-hantu itu membuat kami tersesat, kami harus saling menemukan satu sama lain."

Gadis itu mendongak ke arah puncak magnolia dan tersenyum.

"Anggap saja seperti aku menemukanmu di bawah pohon ini." katanya.

Saling menemukan.

Aku terperangah.

"Oh."

Carina menurunkan pandangannya hingga mata kami bertemu.

Aku memandangi Carina takjub.

"Apa?" tanyanya bingung.

Pemahaman merayapiku, "Kurasa..."

Carina mengerutkan dahi, "Kau rasa... apa?"

"...aku perlu Reggie."

Carina semakin mengernyit bingung, "Kudamu?"

Astaga, gadis ini mengingat segalanya, batinku lagi-lagi takjub.

"Ya, aku akan mengajak Ayahku berkuda." simpulku, hendak beranjak pergi.

"A-Apa? Sekarang?" Carina mengikuti derap langkahku dengan terburu-buru, "Tetapi pidatomu..."

"Dimulai dalam dua jam, aku tahu." kataku. Kemudian aku berhenti dan menghadap Carina. Aku menatap gadis itu lurus-lurus.

"Carina, terima kasih sudah menemukanku di pohonku."

Dia tersenyum dengan ekspresi yang masih agak bingung. "Tentu, Orion. Tetapi--"

Aku meraih satu tangannya dan mengecup buku-buku jemarinya dengan lembut.

"Maaf karena aku tidak bisa menemanimu kembali ke kastil, tapi aku perlu bergegas. Sampai nanti, Tuan Putri."

Carina hanya terbengong-bengong sementara aku berlari menyeberangi halaman belakang untuk kembali ke arah ruang makan. Ketika menemui Sir Leonis yang menungguku di lorong, aku menyuruhnya untuk mengambilkan Reggie dan kuda ayahku, Alpha, dari kandang kuda.

Selama berlari menyusuri lorong, kepalaku dipenuhi hal-hal yang baru kupahami setelah mendengarkan perkataan Carina.

Aku belum pernah sesadar ini, bahwa masalah yang terjadi antara aku dan ayahku pada dasarnya memang serupa dengan yang dialami Carina dan ayahnya.

Pernahkah aku menyempatkan diri untuk berpikir bahwa... mungkin saja Ayah memiliki 'pohon'nya sendiri? Dan mungkin saja selama sepuluh tahun ini, dia selalu menunggu di 'pohon'nya... menunggu seseorang untuk menemukannya?

Paman benar. Aku terlalu keras kepala.

Memang aku yang harus memulainya, pembicaraan itu.

Karena mungkin saja... seseorang yang selama ini ditunggu Ayah adalah aku.

👑


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top