Hari Ketiga: Insiden Kecil
untuk alzamikra,
yang penuh perhatian dan sering menyapa.
***
LANGKAH-LANGKAH kakiku lebar dan mantap ketika berjalan di sepanjang lorong-lorong panjang berkarpet dan menaiki anak-anak tangga menuju kamar ayahku, keesokan paginya.
Dua ksatria yang menjaga pintu tampak sedikit heran melihatku mendatangi kamar raja sepagi ini. Mereka buru-buru menunduk menghormat.
"Y-Yang Mulia Orion, Yang Mulia Raja baru saja kembali dari berkuda dan sedang berganti pakaian--"
Berkuda sepagi ini? Lagi-lagi?
"Ini darurat." ceplosku asal. Salah satu ksatria hendak mengetuk pintu, namun aku tak membuang-buang waktu dan mendahului mereka mengetuk pintu putih besar itu dengan buku-buku jariku.
"Ayah, ini aku." aku mengumumkan, "Bisakah aku berbicara denganmu sebentar?"
Ada jeda diam selama beberapa saat.
"Masuklah."
Salah satu ksatria membukakan pintu untukku dan aku melangkah masuk, melihat Ayah sedang berpakaian dibantu oleh Sir Rowen. Dia berdiri membelakangiku menghadap cermin besar di dekat jendela.
"Apakah ini darurat?" tanya Ayah, menatapku bingung melalui pantulan cermin.
"Ya, bagiku setidaknya." gumamku tak tahan lagi, "Aku sudah memutuskan bahwa aku akan menyerahkan tanggung jawabku sebagai pendamping Putri Carina selama kedatangannya kepada Duke Alphard."
Ayah mengangkat alisnya tinggi sekali.
"Mengapa?"
"Apa kau sudah mendengar tentang kekacauan kecil di lapangan berlatih para ksatria kemarin siang?"
"Ya, aku mendengar laporannya dari Sir Leonis..."
"Apa kau mendengar detailnya?" desakku.
"Kenapa?"
"Dia gadis yang agak..." aku menggertakkan gigi menahan kata-kataku, "...kemarin dia mendadak meminta Victor untuk berpura-pura menawannya dengan pedang di leher, lalu memintaku untuk berduel melawan Victor demi membebaskannya! Kami terpaksa menurut demi menjaga perasaannya, tetapi teater dadakan itu malah berujung ke ajang taruhan para ksatria untuk menentukan siapa pemenangnya... dan ketika aku lengah di tengah duel, dia menyandung kaki Victor supaya aku unggul... dan ketika aku memprotes tindakannya yang curang, gadis itu mendadak berdeklarasi bahwa dia akan mengajariku cara untuk menjadi pangeran yang tidak naif!"
Ayah terkekeh pelan, "Kau jarang sebawel ini."
"Ayah."
Ayah berbalik menghadapku dan melambai pada Sir Rowen agar dia meninggalkan kami berdua, "Aku sudah mendengar garis besarnya dari Sir Leonis kemarin, seperti yang kubilang padamu. Dan ya, dengan cukup detail. Carina memang gadis yang berjiwa bebas, seperti ayahnya. Dia tidak suka berbasa-basi, namun aku yakin dia tidak pernah bermaksud jelek."
"Dia mengatakan bahwa aku pangeran yang naif." ulangku, tersinggung.
Ayah memandangku lurus-lurus, "Jadi apakah menurutmu kau pangeran yang sama sekali tidak naif?"
Aku kehilangan kata-kata.
"Orion." Ayah berjalan mendekat, "Akan tiba waktunya nanti ketika kau menjadi seorang raja dan menggantikanku, dan kau akan menerima beragam jenis sindiran, cercaan, bahkan hinaan, dari orang-orang yang tidak menyukaimu. Ada kalanya kau hanya perlu mengabaikannya, seperti yang seringkali kulakukan, namun ada kalanya pula kau perlu mendengarkan dan mengintrospeksi diri."
Aku terdiam meresapi perkataan Ayah. Jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu perkataannya benar, tetapi egoku masih terlalu tinggi untuk dapat mengakuinya secara terang-terangan.
"Aku yakin Carina tidak pernah bermaksud buruk. Dia hanya... memiliki caranya sendiri yang mungkin tidak mudah diterima begitu saja oleh orang lain." ujar Ayah lagi.
Aku menghela napas panjang, "Tapi dia ingin memberikan pelajaran-pelajaran kepadaku tentang bagaimana caranya menjadi pangeran yang layak... sementara dia sendiri seorang putri."
"Dan apakah kau akan mundur dan menyerah, atau meladeninya dan membuktikan bahwa kau bisa lulus dari... 'pelajaran-pelajaran' yang diberikannya kepadamu?" Ayah berbalik untuk kembali menghadapi cermin sambil mengancingi kemejanya, seulas senyum samar menghiasi sudut bibirnya, "Seorang Centauri tidak akan ciut nyalinya hanya karena tantangan yang diberikan seorang putri berusia lima belas tahun."
Aku balas menatap Ayah dengan semangat baru yang berkobar di dadaku.
Ayah benar. Aku seorang Centauri dan aku bukan pengecut. Itu hanya Carina dan permainan konyolnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Sir Rowen kembali muncul dan memberitahu, "Yang Mulia, tamu dari Kerajaan Canopus sudah tiba."
"Ah, ya." Ayah menatapku lagi, "Kita akan sibuk sampai setelah makan siang untuk menerima tamu-tamu yang berdatangan. Kau sudah menghapal nama-nama dan wajah-wajah para Canopus?"
"Kuharap aku tidak mengacau." ujarku sedikit gugup.
"Alphard akan membantumu bila kau dalam masalah." pria itu berkata.
"Aku tahu." desahku.
👑
Ada sebuah pohon magnolia besar yang tumbuh di halaman belakang istana Centauri. Pohon itu memiliki batang yang besar dan sudah tua.
Ayah pernah bercerita padaku bahwa pada masa kepemimpinan Raja Sirius--Raja terdahulu sebelum Ayah, alias kakekku--pernah ada pembicaraan untuk menebang pohon itu karena posisinya yang sedikit 'mengganggu pemandangan' halaman berumput istana yang cantik. Kakek menentangnya habis-habisan, bersikeras bahwa pohon itu merupakan 'maskot' dari istana Centauri dan peninggalan dari buyutnya. Benih itu ditanam ketika istana masih terdiri dari bangunan utama saja dan keberadaannya sudah seperti bagian dari istana itu sendiri. Akhirnya, wacana itu dibatalkan dan pohon magnolia itu bertahan hingga sekarang.
Setiap musim semi hingga awal musim panas, bunga-bunga putih dengan rona merah muda lembut di pohon itu bermekaran dengan cantik, memesona setiap mata yang memandangnya.
Selain cantik, pohon itu juga merupakan tempat bernaung yang ideal bagiku. Karena lebatnya bunga dan dedaunan, bahkan di tengah hari yang terik sekalipun, duduk-duduk di bawah pohon itu masih terasa sejuk.
Seperti saat ini.
Makan siang bersama para tamu kerajaan baru saja selesai dilakukan dan aku cukup dibuat kewalahan dengan obrolan dan basa-basinya. Apalagi kali ini perhatian para tamu menjadi lebih banyak tertuju padaku, si Pangeran-Yang-Akan-Berulang-Tahun. Karena itu aku memutuskan untuk mencuri waktu ke halaman belakang yang jarang dikunjungi ini untuk duduk-duduk di bawah pohon magnolia sembari membaca buku.
Seperti biasa, Stefan dan Victor menunggu tak jauh dari sini dan akan menjemputku dalam satu atau dua jam, memberiku cukup waktu untuk bersantai sendirian.
Aku merebahkan diri ke atas rumput, meletakkan buku yang sedang setengah kubaca dalam posisi tertelungkup di atas dada. Bunga-bunga yang mekar di antara ranting-ranting dan dedaunan terlihat begitu cantik. Aku menikmati pemandangan itu sambil tiduran, angin sejuk berhembus menyenangkan menyapu kulitku.
Sesekali aku melihat serangga kecil beterbangan. Beberapa hari yang lalu aku melihat kepik hinggap di punggung tanganku. Hari ini yang datang rupanya seekor lebah. Dia terbang hingga ke dekat puncak pepohonan. Aku mendengarkan dengung samarnya sambil memejamkan mata.
Ah, sungguh waktu yang tenang dan damai--
"AAAAAH!"
Mataku sontak membuka.
Aku mendudukkan diri dengan waspada mendengar jeritan itu. Terdengar begitu dekat, namun aku tidak bisa menemukan asalnya. Kemudian terdengar bunyi-bunyi berisik dari balik batang pohon magnolia, di belakangku.
Masih dalam posisi duduk, aku mencondongkan badanku ke balik batang pohon hendak melihat ada apa, namun pandanganku tiba-tiba tertutupi sebuah kain besar yang menubruk wajahku dari depan.
"Ufh!"
"Oh!"
Kain besar yang menutupi wajahku itu menjauh, dan setelah pandanganku tidak lagi terhalangi, aku melihat bahwa itu ternyata...
...bagian depan sebuah rok.
Rok dari gaun yang dikenakan Putri Carina, yang saat ini tengah menunduk memandangiku dengan raut terkejut bercampur panik.
"Oh... astaga..." dia menekap mulutnya dan buru-buru berlutut di hadapanku, memegangi kedua tanganku, "Aku tidak tahu kau ada di sini, Orion! Aku minta maaf!"
Aku hanya mampu mematung.
"Masalahnya aku sedang duduk-duduk di bawah pohon, tapi tiba-tiba seekor lebah besar terbang menuju wajahku..."
"Carina--"
"...dan tahu-tahu hinggap di pipiku! Aku panik dan mengusirnya tapi dia malah terus terbang mendekat..."
"Carina..."
"...makanya aku lari dan tak sengaja menabrakmu... oh Tuhan, aku bisa melihat lebah itu!"
"Carina... apa kau keberatan?" potongku, melirik kedua tanganku yang sedari tadi dicengkeramnya dengan amat erat hingga aliran darahku rasanya terputus. Melihat arah pandangku, Carina buru-buru menarik tangannya.
"Aku benar-benar minta maaf, Orion..."
"Tidak apa-apa." gumamku, dalam hati bertanya-tanya mengapa sejak awal pertemuan kami, entah bagaimana aku selalu terlibat insiden kurang menyenangkan yang melibatkan rok gaunnya, "Kenapa kau ada di sini?"
"Aku melihat pohon cantik ini dari salah satu jendela koridor. Sepertinya tempat yang nyaman untuk duduk-duduk, maka aku ke sini sehabis makan siang dan--tidak, pergi kau lebah!"
Aku mendengar sesuatu berdengung di dekat kepala kami, dan gadis itu sontak bangkit dan berlari kabur ke arah pepohonan.
"Tidak!" Carina memekik panik sambil berlari.
Gawat, dia bisa tersesat!
"Carina!" aku memanggil, berlari menyusulnya.
Gadis itu melesat menyeberang halaman berumput jauh di depanku dan bisa kulihat dia memasuki area hutan kecil yang membatasi halaman istana dengan danau.
Selama beberapa menit aku berlari mengikuti jejaknya, dan akhirnya menembus pepohonan, mencapai bukaan hutan, dan berhasil menemukan Carina tengah berdiri membelakangiku menghadap danau. Pundak gadis itu naik-turun karena kelelahan akibat berlari--dan juga mungkin akibat korsetnya--namun semakin mendekatinya, aku bisa melihat raut wajahnya yang berbinar.
"Aku tidak tahu kalian punya danau di belakang istana..." katanya, terkagum-kagum menatap danau yang permukaan airnya berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Aku berdiri di sampingnya dan jadi ikut menikmati pemandangan, "Ya, danau yang cantik. Aku dan ayahku biasanya berkano di musim panas. Terkadang membawa pancingan untuk memancing ikan-ikan kecil. Kami tidak menangkapnya, ikan itu kami kembalikan--"
"Kano!" Carina melihat ke arah perahu kano yang berjejer di tepian danau, terikat tali di dermaga kayu kecil. Gadis itu tahu-tahu menarik tanganku dan membawaku mendekati perahu.
"Kau bisa mendayungnya?" tanya Carina dengan mata bersinar-sinar penuh semangat.
"Tidak terlalu mahir, tetapi--"
"Ayo kita naik!"
"Carina, bila kau ingin berkano, aku perlu meminta izin kepada ayahku dan meminta beberapa pengawal untuk--"
"Oh, ayolah... persiapannya akan makan waktu dan merepotkan!" Carina membujuk, "Sebentar saja?"
Aku menatap jajaran perahu-perahu kano itu. Sebetulnya memang sudah agak lama aku tidak menaikinya...
"Orion, kumohon?" Carina menatapku penuh harap.
Aku menyerah, "Baiklah. Sebentar saja. Setelah itu kita kembali."
Carina bersorak senang, sementara aku berjalan ke perahu terdekat dan membantunya naik ke dalam perahu. Setelah memastikan Carina telah duduk dengan aman di hadapanku dan kakiku berpijak mantap di dalam perahu, aku melepaskan ikatan tali dari tiang di dok kayu, lalu ikut duduk dan mencelupkan dayung ke dalam air untuk mulai mendayung.
Mempertimbangkan keamanan, aku membawa kano tidak terlalu jauh dari tepian, tetapi dari titik itu kami tetap memiliki pemandangan yang cukup bagus ke seluruh area danau.
"Wow." Carina mendesah kagum menikmati pemandangan air yang berkilauan dan pepohonan yang mengitari danau, "Seandainya istana Eridanus memiliki danau secantik ini, aku akan berkano setiap hari."
"Kau hanya akan bosan jika terlalu sering melakukannya." kekehku, menarik dayung ke dalam perahu hingga kami mengambang diam di tengah danau.
Carina beralih memandangku, "Akhirnya aku melihatmu tersenyum."
Kata-katanya membuatku terdiam.
"Apakah kunjunganku adalah hal yang menyulitkan bagimu?" Carina tersenyum, tetapi kali ini aku bisa melihat senyumannya tidak mencapai matanya, "Aku... minta maaf jika aku melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak sepatutnya. Mungkin aku terlalu bersemangat ingin menghapus kernyitan dari dahimu, tetapi malah berujung menambahkannya."
Aku memperhatikan Carina. Gadis itu tidak menatap mataku selama mengatakan semua itu, dia hanya memainkan serat kayu yang nyaris terkelupas di pinggiran perahu dengan jemarinya.
"Aku banyak mendengar tentangmu dari Ayahku, dan sejauh ini aku selalu mendengar hal yang positif. Oleh karena itu aku cukup menantikan kunjungan ini. Dan ketika bertemu denganmu, aku semakin yakin bahwa kau pemuda yang baik, dan aku ingin berteman denganmu. Tetapi nampaknya aku mengacaukannya dengan melakukan hal-hal yang... setelah kusadari... sangat tidak anggun dan--"
"Aku juga minta maaf, karena telah bersikap dingin padamu dua hari ini." celetukku, memotong perkataan Carina yang panjang. Aku menghargai kejujurannya, karena itu aku tidak ingin mendengarnya menjatuhkan harga dirinya lebih jauh lagi, "Kurasa sikapku yang menyebalkan ini karena... segala persiapan pesta ini membuatku tertekan. Namun tetap saja, itu tidak membenarkan sikapku yang tidak pantas kepadamu. Jika ibuku masih hidup, beliau pasti sudah memarahiku karena perlakuanku terhadapmu."
Kami berdua sama-sama terdiam. Selama beberapa saat, yang terdengar hanyalah suara permukaan air yang berombak kecil karena angin dan bunyi burung-burung dari arah pepohonan.
"Ratu Andromeda sangat disayangi, ya." Carina memecah kebisuan, "Andaikan aku memiliki kesempatan untuk mengenalnya, akan menjadi suatu kehormatan bagiku."
"Ya." aku menatap Carina lembut, "Dia pasti akan senang mengenalmu. Demikian pula denganku, aku akan merasa terhormat bila dapat mengenal mendiang Ratu Cassiopeia."
Carina mengerjap dan menundukkan wajahnya.
Aku memaki diriku sendiri atas ketidakpekaanku.
"Maaf, aku tidak bermaksud..."
"Tidak. Aku hanya..." gadis itu mendongak. Sepasang mata sewarna teh-nya tampak berkaca-kaca, "Tidakkah kau merindukan ibumu, terkadang?"
"Seringkali." jawabku seraya mengeluarkan saputangan dari saku atasanku dan mengulurkannya kepada Carina. Aku jadi teringat sapu tangan milik gadis itu yang masih berada di kamarku, lupa kukembalikan sejak duel kemarin di lapangan.
Airmata Carina akhirnya terjatuh dan cepat-cepat dihapusnya menggunakan saputanganku. Dia menggumamkan 'terima kasih' dengan pelan.
"Tapi terkadang, aku berpikir apakah hanya diriku yang merindukannya?" kekehku pahit.
Carina mengerjap, "Apa maksudmu?"
"Ayahku tidak pernah membicarakan tentang mendiang ibuku, selama sepuluh tahun ini. Ayah adalah pria yang hebat, namun tetap saja... kuharap aku bisa mengobrol dengannya soal Ibu."
Aku terdiam. Entah mengapa aku jadi menceritakan masalah sensitif yang terjadi antara Ayah dan diriku kepada Carina. Syukurlah gadis itu nampaknya mampu membaca situasi, karena dia tidak bertanya lebih jauh.
Ketika aku mendongak, perhatian Carina teralih pada suatu titik di belakang bahu kananku.
"Orion, bunga apa itu?"
Aku mengikuti arah pandangnya dan melihat kumpulan bunga berwarna biru terang yang tumbuh di permukaan air dekat tepian danau.
"Itu blue iris." kataku, "Bunga kebanggaan Centauri."
"Apakah kita bisa mendekat? Aku ingin melihatnya lebih jelas." pinta Carina, masih terdengar sengau.
Aku mengangguk dan menurunkan dayung kembali, membawa kano kami ke kumpulan bunga itu. Setelah berada cukup dekat, Carina mencondongkan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk menarik salah satu batangnya, hanya untuk melihatnya lebih baik, tanpa memetiknya.
"Bunga yang can--oh tidak."
"Apa?" tanyaku kebingungan.
"Oh tidak... OH TIDAK... LEBAH ITU--TIDAK!"
Carina bangkit dan melambai-lambaikan tangannya liar ke sekeliling kepalanya berusaha mengusir si lebah, menyebabkan perahu bergoyang.
"Carina! Jangan berdiri menda--!"
"AAAAAAAH!"
BYUUUR!
Perahu oleng ke kiri dan kami berdua tercebur ke dalam danau.
Kepalaku mencapai permukaan air dan aku terbatuk-batuk, berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Tenggorokanku sakit dan telingaku serasa tersumbat akibat kemasukan air. Aku menoleh ke sana kemari, memanggil dengan panik. "CARINA!"
"Aku di sini!" aku berbalik dan melihat gadis itu berenang-renang tak jauh di belakangku sambil terbatuk-batuk. Aku menghampirinya namun Carina mencegahku, "Jangan khawatir... aku bisa berenang! Naiklah ke perahu lebih dulu."
"Jangan konyol! Gaunmu akan memberatkan tubuhmu!" geramku sambil berenang ke arahnya dan menarik lengannya, menuntunnya berenang ke dekat perahu. Aku membantunya menaiki perahu dengan susah payah. Betul saja, gaunnya yang basah dan berat membuatnya kesulitan memanjat naik.
Akhirnya setelah berjuang sekuat tenaga, kami berhasil berguling masuk ke dalam perahu.
Kami berdua sama-sama tergeletak berantakan, kelelahan dengan rambut yang melekat ke kepala kami, berbau amis, serta basah kuyup.
"Jangan khawatir..." aku terengah, "... aku tidak mengintip ke dalam rokmu."
Carina tertawa. Tawanya lama kelamaan semakin kencang dan menulariku. Akhirnya kami berdua tertawa lepas karena kekonyolan yang baru saja terjadi, hingga perutku sakit dan kami sama-sama kehabisan napas.
Setelah berhasil menguasai diri, aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk mendayung kembali ke tepian danau di sisi yang berbeda dan membawa kami kembali ke dok kayu. Menyadari bahwa kami telah pergi sedikit terlalu lama dari seharusnya, aku mengikatkan tali perahu ke tiang di dok dengan tergesa dan menarik tangan Carina agar berlari bersama-sama memasuki hutan.
"Bilang padaku bila kakimu sudah tidak kuat, aku akan menggendongmu." kataku seraya kami berlari.
"A-Apa?!" ujar Carina panik dengan wajah memerah, "Aku tidak selemah itu, tahu!"
"Tetapi luar biasa penakut terhadap lebah..."
"Aku pernah disengat waktu masih kecil dan wajahku bengkak seminggu..." ujar gadis itu defensif sambil masih berlari, "...aku jelas-jelas tidak ingin mengambil resiko kau yang melihat wajah bengkakku... ini soal harga diri seorang perempuan!"
Aku tertawa.
Kami akhirnya tiba kembali ke pekarangan istana, melewati pohon magnolia dan bergegas menuju pos tempat Stefan dan Victor berjaga.
"Yang Mulia?! Tuan Putri?!" Victor melotot syok menatapku dan Carina bergantian ketika kami berlalu melewati mereka, "Apa yang terjadi... mengapa Anda basah ku--"
"Kami mencari-cari ke seluruh taman namun tak menemukan Anda, Pangeran." Stefan menyusul sambil berusaha mencerna situasi ini, "Bagaimana--"
"Terjatuh di danau. Ceritanya nanti saja. Bantu kami menyelinap ke dalam istana lewat pintu pekerja." perintahku cepat tanpa mengerem langkahku.
Keduanya menuntun kami ke pintu kayu kecil di sudut Gedung Utara, memasuki lorong panjang dengan banyak akses yang biasanya digunakan pekerja istana untuk lalu lalang tanpa terlihat anggota kerajaan. Dari sini, kami bisa mencapai kamarku tanpa perlu melewati lorong utama, tetapi sebelumnya aku harus mengantar Carina ke pintu yang tersambung ke Sayap Barat agar dia bisa kembali ke kamarnya--
"Punya waktu untuk menjelaskan penampilan kalian, Orion?"
Aku dan Carina sama-sama membeku. Kami berbalik perlahan dan melihat mimpi buruk kami menjadi kenyataan.
Ayahku dan Raja Castor--beserta beberapa pengawal, juga Sir Leonis dan Duke Alphard--telah berdiri di belakang kami.
Oh, sial.
"Astaga, Orion..." Duke Alphard menatapku dan Carina dengan raut syok, "Apa yang terjadi?"
"Ayah, Raja Castor, Duke Alphard." sapaku otomatis, menegakkan diri seolah tak terjadi apa-apa dan ini hanyalah pertemuan tak sengaja kami di lorong, "Aku hanya sedang hendak mengantar Carina kembali ke kamarnya."
"Dengan sekujur tubuh yang basah kuyup?" sambung Ayah, menaikkan alis. Pandangan dari mata birunya tajam dan kaku.
Ini bahaya.
Aku memejamkan mataku, menyerah. Tidak ada gunanya mencoba meloloskan diri dari apapun sekarang. Aku membuka mata dan menjelaskan, "Aku mengajak Carina melihat-lihat danau dan menaiki kano tanpa izin, karena kemampuan mendayungku yang kurang baik, aku membuat perahu oleng dan kami berdua terjatuh ke danau. Aku minta maaf atas keteledoranku, aku siap menerima hukuman apapun."
Aku bisa mendengar tarikan-tarikan napas kaget dari sekitarku, termasuk dari Carina. Gadis itu menoleh memandangku dengan sorot tak percaya, tangannya yang masih berada di dalam genggamanku menegang.
"Tidak!" Carina menatap ayahku dan Raja Castor dengan panik, "Ayah, Raja Cygnus... sama sekali tidak begitu! Yang terjadi adalah akibat aku yang memaksa Orion menaiki kano dan aku pula yang menyebabkan perahu itu oleng..."
"Carina hanya mencoba menutupi kesalahanku." potongku, memberikan tatapan penuh arti kepadanya agar dia diam saja, "Jika saja aku memanggil beberapa pengawal untuk mengawasi kami..."
"...Orion sempat berusaha mencegahku tapi aku tidak mendengarkan!" Carina menyambar lagi, "Dan dia juga yang bersusah payah membantuku naik ke perahu..."
"Carina hanya--"
"Orion tidak--"
"CUKUP." Ayahku memotong racauan kami dengan suara menggelegar, "Orion, kau telah melakukan sesuatu yang sangat ceroboh dan dapat membuat Carina celaka. Sang Putri bisa saja tenggelam karena berat dari gaunnya."
Carina hendak memprotes, "Tetapi Yang Mulia, Orion tidak--"
"Renungkan perbuatanmu di dalam kamarmu. Kau tidak kuizinkan keluar dari kamarmu hingga malam pesta ulang tahunmu, Orion." ujar Ayah tegas.
Carina tampak hendak menangis.
"Ini memang kecelakaan kecil yang tak sengaja terjadi." Raja Castor menatapku iba, "Walaupun begitu aku setuju bahwa ini tindakan ceroboh, dan itu juga berlaku terhadapmu, Nona Muda." pria itu memandang Carina dengan tegas, "Aku perlu bicara denganmu nanti, berdua saja. Hukumanmu akan kuberikan setelah kita kembali ke Eridanus."
"Maafkan aku, Ayah. Raja Cygnus." Carina membungkuk dalam-dalam. Carina lalu menegakkan diri dan menatapku dengan wajah banjir airmata, "Orion, maafkan aku..."
"Jangan khawatir." aku tersenyum menenangkan, kemudian berbisik rendah. "Aku jadi terhindar dari keharusan menyambut para tamu yang nama dan wajahnya belum kuhapal."
Mendengar itu, airmata Carina malah semakin deras.
"Stefan, antarkan Putri Carina ke kamarnya. Pastikan para pelayan membawakan air mandi hangat dan teh panas untuk sang Putri. Dan Victor..." Ayah menatapku sekali lagi dengan tajam, "...pastikan anakku tidak lenyap ke mana-mana lagi setelah ini, antar langsung ke kamarnya dan jaga pintu kamar sang Pangeran tanpa jeda hingga malam pesta tiba."
"B-Baik, Yang Mulia." Victor melirikku simpati.
Aku melepaskan tanganku dari tangan Carina. Setelah memberi anggukan menenangkan kepada Carina yang masih terisak-isak, aku berbalik menuju ke arah yang berlawanan, dengan Stefan mengikuti tak jauh di belakangku dalam diam.
👑
The Knights
leonis: art by kay-jo-mackie
stefan: art by taratjah
victor: art by vasirasart
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top