Hari Kelima: Perjalanan Rahasia (Bagian 2)

untuk NatWinchesterrr,

yang kerennya setara dengan Tom Holland waktu pakai kacamata Edith.

***

DESA di malam hari itu begitu riuh dan hidup, dipenuhi warga dari berbagai kalangan yang mengobrol dan tertawa-tawa. Atap-atap rumah bata sederhananya dihiasi bendera berbagai warna dan corak yang disusun pada seutas tali, tersambung dengan atap-atap lain. Lentera-lentera hias dinyalakan di berbagai titik, sehingga menghasilkan deretan cahaya yang mengagumkan di sekitar kami.

Kios-kios yang menjajakan aneka makanan dan barang-barang didirikan, ramai oleh para pendatang maupun warga desa dan anak-anak. Aku dan Carina berjalan menyusuri kios-kios itu, membaur dengan kerumunan. Kepala Carina sibuk tertoleh ke sana ke mari saking tidak ingin melewatkan detail sekecil apapun.

Terhibur karena melihat gadis itu begitu bersemangat, aku memanggilnya dan menunjuk ke arah sebuah kedai minum tak jauh di depan kami, "Kita bisa duduk di luar kedai sambil memesan sesuatu, dan kau bisa menikmati situasi sekitar pelan-pelan."

"APA?!" Carina tak mendengarku di tengah keriuhan.

"AYO KITA KE KEDAI!" seruku dengan lebih keras.

"KEDENGARANNYA SEMPURNA!" Carina tersenyum cerah padaku.

Aku terdiam.

Senyumannya.

Senyuman yang lebar dan cerah, dan membuatku mendadak kehilangan fokus.

Dia sangat--

"Orion? Kau baik-baik saja?"

Langkah Carina terhenti dan dia menatapku cemas.

Aku menggeleng-geleng.

Astaga, ada apa sih denganku?!

Ketika tiba di kedai, kami memilih duduk di meja di luar. Seorang pelayan menghampiri kami dan menawarkan menu. Carina memesankan dua gelas mead hangat dengan kadar alkohol paling rendah yang dicampur sedikit lemon.

"Hanya satu gelas." tegasku padanya ketika minuman kami datang, "Kita belum boleh minum alkohol, secara teknis."

"Aye-aye, Pangeran." Carina mengangkat gelasnya untuk mengajakku bersulang. Menyerah, aku mengangkat gelasku dan membenturkannya dengan gelas Carina.

"Orion, ini luar biasa." kata Carina, setelah menyesap mead-nya.

"Minumannya?" tebakku, meletakkan gelas.

"Minumannya. Suasananya. Semuanya." Carina tertawa. Dia menatap sekeliling dengan kagum sebelum menghela napas lembut, "Kuharap suatu hari aku bisa ke sini dengan Ayah dan kakakku. Dan kuharap ibuku di surga tidak marah melihatku menyelinap ke sini bersama pangeran negara tetangga tanpa pengawalan."

Aku jadi teringat percakapan kami di danau tempo hari tentang ibunya. Begitupun sepertinya dengan Carina, karena suasana di antara kami berubah sendu. Kemudian gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku gaunnya.

"Hampir lupa. Terima kasih untuk saputanganmu." Carina mengulurkan saputangan yang terlipat rapi di tangannya kepadaku.

"Simpan saja. Kau tidak tahu kapan kau akan membutuhkannya. Walaupun secara pribadi aku berharap kau tidak akan pernah membutuhkannya lagi." kataku seraya menyesap mead-ku.

Carina menurunkan tangannya perlahan, tetapi aku masih dapat merasakan tatapannya tertuju padaku.

"Apa...?" tanyaku jengah.

Carina hanya tersenyum dan menggeleng, "Bukan apa-apa."

Kemudian, terdengar alunan musik keras dari arah alun-alun. Perhatian orang-orang juga teralih, sama seperti kami. Lalu beberapa orang yang mengenakan kostum berwarna cerah berjalan berkeliling desa, memukul-mukul gendang kecil dengan kayu sambil sibuk berseru mengumumkan, "Saksikanlah! Panggung pementasan lakon 'Pangeran Centori dan Misi Penyelamatan Putri Erida!'"

"Bukan hanya kau rupanya yang hobi mengarang nama yang terdengar parah." komentarku sambil mengernyit sementara Carina terbahak-bahak.

"Ini pasti hiburan yang bagus. Ayo!" Carina bangkit dan menarik tanganku. Aku buru-buru meletakkan beberapa keping koin di atas meja dan berlari bersama gadis itu menuju alun-alun.

Kami menerobos kerumunan hingga tiba di deretan paling depan--akibat kegigihan Carina--dan melihat bahwa panggung kayu kecil telah dibangun persis di tengah alun-alun, dengan beberapa pemain musik di belakangnya yang duduk dan telah bersiap. Sementara narator dari pertunjukkan sedang berkoar-koar di panggung untuk menjelaskan mengenai lakon ini.

"Pada jaman dahulu, seorang pangeran tampan dari kerajaan makmur bertemu dengan seorang putri cantik dari kerajaan musuh..."

"Awal yang lumayan." aku menanggapi pelit, sementara Carina hanya mengulum senyum.

"Kau hanya senang karena penggunaan kata 'tampan', bukan?"

"Kau juga senang karena kata 'cantik', bukan?" balasku, walaupun dalam hati tak bisa menyangkal kebenarannya.

"Ayah sang Putri, atau sang Raja, berniat menggunakan kecantikan putrinya untuk memancing sang Pangeran ke dalam istana musuh dan mencelakakannya." si narator melanjutkan, "Namun tak disangka, sang Putri betul-betul jatuh cinta pada Pangeran dan memohon pada ayahnya untuk membatalkan niatnya. Murka, sang Raja mengurung Putri di menara tertinggi dengan pengawasan seekor naga yang ganas..."

Aku dapat mendengar kekehan geli Carina dari sebelahku.

"Mampukah sang Pangeran menyelamatkan sang Putri, dan mengalahkan naga milik sang Raja?! Saksikan sekarang juga!"

Aku memasukkan sekeping uang ke dalam topi yang disodorkan para pemain drama kepada para penonton sebelum pementasan dimulai. Kemudian musik pembuka dimainkan.

Penonton sudah berkumpul di sekitar panggung, bersiap menyaksikan pertunjukkan, namun entah mengapa para pemain tampak kebingungan dan panik.

"Tampaknya ada suatu masalah." aku mengamat-amati kekacauan di panggung.

"Si bodoh Rosier itu menghilang lagi!" teriak salah satu pemain dari belakang panggung dengan panik, "Kita tidak punya Pangeran!"

"Apa?!" kata si mandor pertunjukkan, "Dasar pemuda tukang mabuk tidak berguna--!"

Sontak gumaman memprotes berdatangan dari arah penonton.

"Huuuu!"

"Payah!"

"Kembalikan uang kami!"

Aku tengah memperhatikan kerumunan di sekitar kami yang ribut menyerukan protes-protes kepada para pemain lakon ketika tahu-tahu Carina menarik lenganku ke atas dan berteriak sekencang-kencangnya ke arah panggung.

"DIA BISA MENGGANTIKAN PANGERANNYA!"

Aku melongo syok dan buru-buru menarik lenganku dari genggaman Carina, sementara para penonton mulai bersorak riuh menyemangatiku.

Aku mendesis pada Carina, "Apa kau sudah gila?!"

"Ayolah, Orion! Ini bisa jadi ajang latihanmu tampil di depan umum! Kau tidak akan punya masalah berpidato di hadapan rakyatmu bila kau berhasil melewati ini! Anggap saja ini pelajaran keempatmu; 'menunjukkan keberanian dan kharisma seorang pangeran'! Bagaimana?" Carina balas berbisik sambil menatapku dengan binar semangat di matanya.

"Ayo, Anak Muda! Tunjukkan nyalimu!" salah seorang pria dari kerumunan penonton berseru, diiringi sorakan menyemangati dari yang lainnya.

"Yeah! Siapapun pastilah tidak akan buruk-buruk amat dibandingkan si Rosier-Rosier ini!" timpal yang lain.

"Lihat, Orion? Kau pasti bisa!" Carina menyemangati.

Aku mengepalkan tanganku geram dan menatap Carina lurus-lurus, "Kau akan berhutang padaku untuk ini."

"Apapun!" Carina menyahut ceria dan mendorongku ke arah panggung, "Sekarang naiklah!"

Aku berjalan menuju tangga panggung dan menaikinya dengan amat sangat ogah-ogahan, diiringi tepukan dan suitan dari penonton. Sembari berdoa dalam hati agar wajahku tidak dikenali penduduk desa, aku menurunkan tudungku dan menerima pedang kayu dari salah satu pemain untuk properti yang kugunakan.

"Ucapkan saja apa yang terpikirkan olehmu, kami akan improvisasi. Tapi jangan terlalu melenceng ke luar plot." gumam si mandor di dekat telingaku sambil meletakkan mahkota palsu di kepalaku. Aku mengangguk seadanya dengan tenggorokan kering dan tangan yang berkeringat karena gugup.

Aku memejamkan mataku dan menarik napas dalam-dalam.

Anggap saja ini kelas membaca puisi... anggap saja para penonton adalah si tua Lady Beatrice yang ada banyak...

Kemudian pertunjukkan dimulai.

Adegan dimulai dengan sang Raja yang bermonolog di singgasananya, menyusun rencana untuk memancing Pangeran Centori jatuh ke dalam jebakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialognya bersama sang Putri yang pada awalnya setuju dengan rencana ayahnya, walau berat hati.

Kemudian adegan berganti. Beberapa orang membawa properti berbentuk pepohonan. Dua orang yang berperan menjadi ksatria menyikutku agar aku berjalan memasuki panggung, diikuti mereka.

"Cuaca yang cerah, bukan, Yang Mulia?!" kata salah satu ksatria, menyikutku lagi sampai-sampai aku berpikir jangan-jangan rusukku akan membiru seusai pementasan.

"Ah, ya. Kau benar. Belum pernah kulihat hari seindah ini." sahutku otomatis, entah bagaimana suaraku terdengar natural. Mungkin akibat seringnya menanggapi basa-basi dari para ksatriaku sendiri.

Kemudian tak jauh di depanku, Putri Erida terjatuh dan mengaduh, "Ah! Kakiku!"

"Yang Mulia! Anda dengar itu? Seperti ada suara teriakan!" salah satu ksatria menoleh ke sana kemari seolah mencari-cari sumber suara sambil berusaha menyikutku. Tapi kali ini aku berhasil menghindar. Aku yang mulai jengkel dengan upaya sikut-menyikut ini menyahut dengan ketus.

"Berhenti bersikap dramatis. Kau tidak lihat wanita itu meminta tolong di depan hidungmu?"

Terdengar tawa dari kerumunan penonton. Dalam hati aku terkaget-kaget. Apa tadi itu lucu?

"Ah, Anda benar Yang Mulia." kata si ksatria malu.

Merasa sedikit mendapat suntikan kepercayaan diri dari reaksi penonton tadi, aku melangkah mendekati si Putri yang menangis tersedu-sedu--aktingnya buruk sekali--dan berlutut di hadapannya, "Nona Cantik, apa yang Anda lakukan di hutan ini sendirian?"

"A-Aku seorang Putri dari kerajaan sebelah dan aku tersesat..."

"Ke mana para pengawal Anda?"

Si Putri tampaknya berusaha mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaanku yang melenceng dari naskah, "M-Mereka diserang oleh sekawanan bandit dan aku berhasil meloloskan diri..."

"Bandit?" aku mengulang, "Di mana mereka? Mungkin para ksatriaku bisa--"

Aku merasakan sodokan menyakitkan di rusukku, lagi-lagi. Aku menoleh dengan kesal ke arah si ksatria, yang berkata tanpa suara.

Tidak ada bandit!

"Kaki saya!" rintih Putri Erida, menyelamatkan keadaan. "Kaki saya terkilir. Saya tersandung ketika melarikan diri. Saya tidak bisa kembali ke istana sendiri. Maukah Anda berbaik hati mengantar saya ke sana?"

Aku terdiam sejenak, "Hm, entahlah Tuan Putri... masalahnya setelah ini ada rapat penting yang saya harus hadiri. Mungkin ksatria saya bisa--"

"Oh, kakiku!" si Putri melolong semakin mengibakan, menyebabkan penonton tertawa lagi.

"Maaf, Tuan Putri. Saya hanya mencoba berpikir secara realistis dan sejujurnya, saya cukup sibuk. Tetapi melihat kondisi kaki Putri, saya jadi berpikir ulang." aku berusaha mengembalikan dialogku ke jalur yang benar, "Victor, apa jadwalku setelah ini?" tanyaku pada salah satu ksatria, dalam hati meminta maaf pada Victor betulan di dalam kastil karena meminjam namanya.

Ksatria itu menunjuk dirinya sendiri dengan tampang bodoh karena tebakan nama itu pastilah meleset, "Saya, Yang Mulia?"

"Tidak, aku berbicara pada rerumputan di belakangmu... tentu saja kau!"

Tawa penonton semakin keras.

Setelah itu, segalanya berlangsung dengan lumayan lancar. Aku berhasil melakoni peran si Pangeran Centori Yang Kelewat Realistis dengan cukup baik. Hanya saja pada adegan adu pedang dengan sang Raja mendekati akhir, aku harus melambatkan gerakan-gerakanku untuk menyesuaikan dengan kemampuan si aktor Raja, karena aku seharusnya nyaris kalah sebelum akhirnya sang Putri membantuku dengan cara memukul belakang kepala ayahnya menggunakan sepatu hak tinggi hingga pingsan.

Dan pada adegan terakhir, seharusnya aku mencium sang Putri. Tetapi aku memutar otak cepat dan memutuskan bahwa solusi terbaik menghindari keharusan itu adalah dengan kembali bersikap realistis.

"Maaf, Putri Erida." kataku, memundurkan wajahku. "Kau sangat cantik dan memikat dan sebagainya, tetapi kurasa aku perlu mengenalmu lebih jauh sebelum melakukan hal-hal yang... sedikit ekstrim."

"Sedikit ekstrim?" tanya sang Putri bingung.

"Aku tidak bisa menciummu begitu saja. Kita baru bertemu beberapa jam."

"Kami cinta pangeran yang tidak memanfaatkan keadaan!" salah seorang gadis dari kerumunan penonton berteriak, diiringi seruan-seruan mendukung dari gadis-gadis lain. Aku mengulum senyum.

"Jadi, mari ikut bersamaku ke istana. Akan kukenalkan dengan orangtuaku dan kita bisa mengobrol lebih santai. Tentunya setelah rapat pentingku yang uh... sempat tertunda. Bagaimana?"

"Tentu, Pangeran! Apapun untukmu yang telah menyelamatkanku!"

Tepat saat itu, sang mandor meniupkan terompet dan para pemusik memainkan lagu sebagai tanda penutup lakon. Diiringi tepukan dan suitan riuh penonton, para aktor termasuk diriku membungkuk hormat bersama-sama dan mengucapkan terima kasih.

Panggung dipenuhi lemparan bunga dan si mandor mengucapkan terima kasih secara personal kepadaku sambil bersikeras membayarku dengan menjejali beberapa keping uang ke dalam saku mantelku, yang tak kuasa kutolak. Sementara para aktor lainnya kelihatannya siap memburu dan mengganyang si Rosier yang menghilang entah ke mana itu.

Ketika menuruni tangga panggung untuk menghampiri Carina, beberapa penonton mengerubungiku dan memberikan tepukan-tepukan di bahu untuk memuji kenekatan dan kelihaianku. Beberapa gadis juga menghampiriku untuk memberikan bunga.

"Senang melihat aktingmu, Tampan!" salah satunya berseru sambil melambai pergi, para gadis lainnya mengikuti sambil terkikik-kikik.

Carina menghampiriku dengan ekpresi campuran antara puas, bangga, dan tengah menahan tawa.

"Terima kasih untuk pelajaran mendadaknya yang menguras emosi dan kewarasanku." gumamku, masih agak jengkel.

"Selamat! Pelajaran keempat yang berhasil kau lewati dengan kepala yang membesar dan tampang sumringah." Carina meledek, "Lihat, buktinya kau dapat banyak penggemar baru!"

Dia menunjuk kumpulan bunga mawar di tanganku.

"Boleh pinjam saputangan?" tanyaku. Carina tampak agak bingung, namun dia mengeluarkan saputanganku dari sakunya dan menyerahkannya padaku. Aku menggunakannya untuk membungkus tangkai-tangkai mawar itu menjadi satu dan mengikatnya hingga menyerupai buket bunga. Aku mengamat-amati hasil karyaku sebentar, lalu menyerahkannya kepada gadis itu, "Untuk guru yang lumayan berbakat."

Carina tampak tidak menduga-duga akan mendapatkan hadiah 'spontan' itu dariku. Dia tampak kehilangan kata-kata.

Untuk pertama kalinya, aku membuatnya kehilangan kata-kata, pikirku penuh kemenangan.

"T-Terima kasih." Carina menerima buket itu, "Tetapi mengapa kau membungkusnya?"

"Tangkainya tidak dibersihkan dengan begitu baik." kataku sambil menepuk-nepukkan telapak tanganku untuk menyingkirkan bekas-bekas serpihan halus yang menempel, "Nanti tanganmu bisa terluka."

Carina terdiam selama beberapa saat. Kemudian dia membuka mulutnya, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba terdengar suara musik dimainkan tak jauh dari panggung.

Setelah Carina menyimpan buket bunga dariku di dalam saku mantelnya, kami bersama-sama mendatangi sumber suara. Setibanya di sana, kami melihat bahwa para pemain musik dari pertunjukkan tadi kini sudah berada di dekat air mancur yang menandai pusat alun-alun desa. Mereka memainkan musik bertempo cepat, dan orang-orang mulai berdansa lincah di sekitar kami. Mula-mula sedikit, kemudian makin lama makin banyak.

"Ayo, Nak! Jangan bengong saja!" seorang wanita paruh baya menggamit kedua tanganku dan mengajakku menari memutari air mancur, sementara aku melihat Carina diajak berdansa dengan seorang bocah laki-laki. Butuh beberapa saat bagiku untuk mempelajari ritme dan gerakannya.

Berputar, bergandengan, berdansa menyamping, menandak-nandak dan berhenti, lalu bertepuk-tepuk, lalu kembali lagi ke urutan yang sama.

Aku terus berganti-ganti pasangan dan beberapa kali berpapasan dengan Carina, namun pada putaran kelima, aku menarik lengan Carina ketika kami berpapasan dan menjadikannya pasanganku.

"Maaf!" seruku pada seorang pemuda yang barusan berpasangan dengan Carina, namun dia hanya terkekeh santai sambil menggandeng pasangan barunya.

"Orion!" Carina tertawa-tawa. Wajahnya memerah karena terlalu banyak berdansa.

"Orenzo." ralatku, nyengir lebar sembari memutar tubuh gadis itu, "Kau lupa namaku, Caren?"

Kami tertawa-tawa dan terus berdansa hingga sedikit pusing, tidak lagi saling berganti pasangan. Lalu ketika musik akhirnya melambat dan berakhir, kami berdua berhenti, bertepuk tangan bersama yang lain.

"Kau lolos pelajaran kelima." kata Carina sedikit kehabisan napas, namun dapat kulihat rasa lelah akibat menari tak menyurutkan semangat yang terpancar di wajahnya, menularinya padaku.

"Apa itu?" tanyaku sama terengahnya, bahkan tidak repot-repot mempertanyakan kapan dia menyebutkan soal pelajaran baru itu sebelum ini.

"Pedansa yang baik." jawabnya sambil tertawa, "Dan kemampuan membaur yang hebat di tengah rakyat."

Aku menyunggingkan cengiran puas. "Takkan berhasil melakukannya tanpa bantuan dari guruku."

Kami saling tersenyum selama beberapa saat, kemudian suara ledakan dan cahaya-cahaya beraneka warna di langit menarik perhatian kami.

"Kembang apinya!" aku mendongak dan menyaksikan pertunjukkan cahaya di atas kami dengan kagum.

Memang ini bukan kali pertama aku menyaksikannya secara langsung dari desa. Tetapi entah mengapa, kali ini adalah kali yang paling menyenangkan.

"Orion."

Aku menoleh mendengar Carina memanggilku. Ketika tatapan kami bertemu, aku dapat melihat pantulan warna-warna kembang api di langit pada sepasang mata cokelat jernih gadis itu. Mata yang balas menatapku sedemikian intens, hingga aku merasa jantungku berjungkir balik.

Kemudian, gadis itu meletakkan satu tangannya di pundakku dan berjinjit untuk memberikan kecupan lembut di pipi kiriku.

Mungkin sekitar lima detik, sebelum Carina menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya dari pundakku. Dia menghindari pandanganku, dan bisa kulihat rona merah menjalari pipinya yang pucat. Kami hanya berdiri saling berhadapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk mendongak menatapku.

"Terima kasih untuk malam ini." ujarnya sambil tersenyum tulus. Lalu dia cepat-cepat menunduk lagi dan berbalik hendak pergi, "Sebaiknya kita segera kembali ke istana..."

"Hutangmu." aku menyeletuk setelah tersadar dari trans-ku.

Carina berbalik, "Apa?"

"Kau bilang 'apapun' tadi, untuk membayar hutangmu padaku."

Carina mengerjap, "Well, selama itu masih masuk akal dan tidak--"

"Itu bukan pertanyaan."

Dalam satu gerakan cepat, aku menarik lengan Carina hingga gadis itu menubruk tubuhku.

Lalu satu tanganku yang lain meraih tengkuknya, membawa wajah-wajah kami semakin dekat.

Dan aku menciumnya.


👑

The Memes

Constant prayer that someday I'll take down these sad memes when I finally be able to enjoy Orion & Carina's lovey dovey moments purely without a tinge of jealousy.

*cry bombay*


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top