Hari Kelima: Perjalanan Rahasia (Bagian 1)
untuk aloonalien,
yang update karya-karyanya kudoakan semakin sering.
***
KEESOKANNYA, sore hari.
Situasi di dalam istana semakin sibuk. Para pekerja mondar-mandir di lorong dengan wajah-wajah tegang, terkadang membawa barang-barang seperti pot bunga, tumpukan kain seprei untuk dipasang di kamar-kamar para tamu, dan macam-macam keperluan tamu lainnya.
Dapur merupakan tempat tersibuk menjelang acara, hingga Ayah harus mempekerjakan koki-koki tambahan--tentu saja koki yang dipilih merupakan yang terbaik di Centauri dan harus melalui berbagai tes kelayakan kerja dan memiliki segudang rekomendasi dari pihak-pihak terpercaya.
Begitu pula dengan para ksatria. Keamanan istana semakin diperketat dengan menambah jam-jam patroli dan memposisikan penjaga di titik-titik baru. Ibaratnya, bahkan serangga yang terbang keluar-masuk istana akan diketahui saking ketatnya pengamanan.
Tentu saja semua hiruk-pikuk itu tidak kusaksikan secara langsung, karena aku masih mendekam di dalam kamarku dan nyaris mati bosan. Semua itu dilaporkan oleh Duke Alphard, yang saat ini tengah berdiri di hadapanku.
"...dan kabarnya, warga desa akan mengadakan festival kembang api malam ini, sebagai bentuk perayaan pembuka untukmu." pria jangkung dan kurus itu melepaskan kacamata bundar berbingkai tipis dari puncak hidungnya, setelah selesai membacakan seluruh laporan dari beberapa lembar perkamen.
"Betapa irinya." komentarku sengit.
"Ayahmu menyuruhku melaporkan semuanya padamu agar kau tidak ketinggalan situasi terakhir." kata pria itu dengan tatapan jaga-nada-bicaramu.
"Apa yang Ayah katakan kepada para tamu ketika melihatku tidak hadir menyambut mereka?" aku bertanya, menyeruput tehku.
"Yang sebenarnya." katanya, melipat dan menyelipkan perkamen itu ke dalam saku jubah ungu gelapnya, "Kau yang dihukum karena jatuh ke danau dan membahayakan diri. Kecuali bagian kau bersama Carina. Dia dan Raja Castor setuju itu terlalu sensitif dan dapat memicu gosip atau konflik tak diinginkan."
Aku hanya mendengus.
Pria itu menatapku lurus, kemudian menggeleng-geleng. "Di saat-saat seperti ini kenapa kau begitu ceroboh?"
"Paman tahu aku tidak pernah bersikap begini sebelumnya." sahutku defensif, "Jangan tatap aku seolah aku ini pangeran bengal yang kerjaannya melanggar aturan setiap saat."
Duke Alphard adalah adik dari ibuku. Ketika Ayah dan Ibu menikah, para menteri sepertinya melihat potensi dan kecerdasannya, maka dia dipanggil ke istana dan Ayah menawarinya posisi. Terbukti, pria itu memang cakap di bidangnya hingga sekarang menjabat sebagai Penasehat Resmi Kerajaan.
Dan pria itu selalu melarangku memanggilnya dengan sebutan formal, kecuali kami berada di situasi yang resmi.
"Apakah karena Carina?"
Lamunanku buyar, "Apa?"
"Putri Carina." Paman mengulang sambil duduk di hadapanku, "Tentu saja aku tahu keponakanku selalu bersikap tenang dan berkepala dingin sebelum ini. Jadi, apakah kecerobohanmu yang mendadak ini timbul karena pengaruh dari gadis itu?"
Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela, merasa mendadak wajahku memanas. "Jangan konyol."
"Aku tidak menghakimimu, Orion." Paman terkekeh, "Justru aku senang kau akhirnya bersikap sesuai umurmu."
Aku menatapnya ragu, "Kau tidak marah?"
"Marah? Untuk apa?" Paman bertanya balik, kemudian menambahkan dengan ringan, "Bahkan Carina saja tidak tampak marah soal itu. Kalau dari pengamatanku, dia malah lebih terlihat... muram belakangan ini."
"Muram?"
"Ketika tiba di Centauri, ekspresi sang Putri selalu cerah, tapi semenjak hukumanmu, setiap jamuan makan bersama, dia selalu melirik ke arah kursimu yang kosong di dekat Raja dengan raut sendu..."
Aku terkesima mendengarkan fakta baru ini, namun aku tetap berupaya memasang wajah datar di depan pamanku, "Itu mungkin karena dia merasa bersalah soal kejadian di danau."
"...dan dia bahkan sudah dua kali menemui ayahmu sendirian, berusaha membujuknya agar meringankan hukumanmu."
Kali ini aku gagal menahan diri. Aku terduduk tegak, "Dia melakukan itu?"
Paman mengulum senyum, "Tapi tentu saja ayahmu tidak mengabulkannya. Dia bersikeras bahwa hukuman ini diberikannya untuk membuatmu jera."
Bahuku merosot dengan lesu. Melihat reaksiku, Paman berujar lagi dengan nada yang lebih lembut, "Dengar, aku yakin kau pasti sudah mengetahui apa maksud dari Cygnus mengundang Raja Castor dan anak perempuannya, dan memintamu secara personal untuk mendampingi sang Putri selama berada di sini..."
Aliansi politik, pikirku otomatis dan nyaris pahit.
"...tetapi aku kenal kakak iparku. Dia tidak mengundang Carina dan mengenalkannya denganmu hanya demi alasan kerajaan. Dia menginginkan yang terbaik untuk Centauri, dan juga untukmu. Apa kau tahu betapa seringnya dia membicarakan masalah calon pendampingmu di masa depan ketika rapat dengan kami semua? Dan berapa banyak profil para putri yang sudah diperiksa dan ditolakinya sejak kau baru lahir? Dia benar-benar memikirkan semua ini dengan matang."
Aku hanya diam.
"Dan ketika dia mendengar Raja Castor, sahabat baiknya, memiliki anak perempuan kurang lebih setahun setelah kelahiranmu, dia benar-benar terlihat lega. Itu pertama kalinya aku melihat seorang ayah yang jauh lebih panik dibandingkan si ibu soal mencari calon pendamping untuk anaknya."
Calon pendamping.
"Jadi menurutku wajar saja dia berlaku agak keras padamu. Kurasa dia... sedikit kecewa padamu karena tidak memikirkan resiko atau bahaya yang bisa terjadi akibat insiden itu. Dia tidak ingin Raja Castor menganggap kau ini semacam... pangeran sembrono dan congkak yang menyebabkan putri bungsunya nyaris tenggelam." Paman menutup ceritanya.
Aku masih memandangi langit di luar jendela. Jemari tangan kananku berderap mengetuk meja dengan perlahan. Walaupun aku yakin sepenuhnya bahwa seluruh hal yang baru saja diceritakan Paman untukku adalah benar dan dugaan-dugaannya soal tindakan ayahku memang masuk akal, perasaanku tetap tidak bisa dibohongi.
"Aku agak menyesali mengapa bukan Ayah sendiri yang mengatakan kepadaku soal semua itu." gumamku pelan. Kemudian menambahkan dengan senyum pahit, "Jangankan soal itu. Bahkan dia tidak pernah mengungkit-ngungkit soal Ibu, selama sepuluh tahun ini."
Ekspresi Paman berubah muram.
Itu memang benar. Topik sekecil apapun mengenai Ratu Andromeda seolah tabu di dalam istana. Ayah tak pernah membicarakan soal malam kematian Ibu, ataupun kenangan-kenangan semasa hidupnya. Selama ini, aku 'mengenal' sosok Ibu melalui Paman, atau beberapa anggota kementerian yang cukup dekat dengannya semasa hidup. Dan aku berhasil menyimpulkan bahwa Ibu adalah seorang Ratu yang tegas dan berpendirian kuat. Namun bila itu menyangkut diriku atau Ayah, dia adalah seorang istri dan ibu yang penyayang.
Namun lagi-lagi, mengapa aku harus mengetahui tentang ibuku dari orang lain?
"Aku tidak ingin membangkang. Aku menghormati keputusan ayahku. Bahkan menyangkut calon pendampingku. Aku juga ingin berusaha melakukan yang terbaik untuk Centauri. Tetapi aku ingin setidaknya dia mengatakannya langsung di depan hidungku." ujarku tajam.
"Orion..." kata Paman perlahan, "Tidakkah sebaiknya kalian berdua saling bicara?"
Apakah aku yang harus memulainya, pembicaraan itu?
Aku bangkit dari kursi. Di tengah-tengah emosiku, tercetus sebuah keinginan liar yang kemungkinan besar dapat membuatku terkena masalah yang jauh lebih besar dibanding hukumanku saat ini.
"Paman, aku ingin kau membantuku."
Paman hanya mampu menatapku dengan pasrah dari kursinya.
"Aku tidak akan menyukai tentang apapun ini, bukan?" katanya.
👑
"Carina?"
"Dia sudah menunggumu di pohon magnolia."
"Mantel untuk kami?"
"Aku sudah menyiapkannya di bekas kandang kuda. Orion, tidak bisakah kau mempertimbangkan kenekatan ini lagi?"
Ketika Paman menanyakan itu malam harinya setelah diskusi kami, aku sudah setengah memanjat keluar tembok balkon, dengan hanya mengenakan tunik biru gelap paling sederhana yang kumiliki dan celana serta boots cokelat yang biasa kukenakan ketika berlatih pedang. Mataku menelusuri jalurku ke bawah, ke arah semak-semak yang harus kumasuki bila aku mendarat dengan sukses, dan ke arah dua orang penjaga yang berpatroli di dekat situ.
"Kau yang bilang sendiri kau tidak ingin membangkang." Paman mengingatkanku.
"Aku hanya ingin menukar jerih payahku selama ini menjadi anak penurut dengan satu hal nekat sekali saja, Paman." kataku.
"Setidaknya bawalah pengawal..." Paman masih tak menyerah.
"Aku akan membuktikan padamu bahwa aku bisa nekat tanpa ceroboh." gelengku tegas.
Paman menghembuskan napas putus asa, "Kau benar-benar keras kepala, seperti Andromeda."
Aku mendongak menatap Paman dan nyengir, "Senang mengetahuinya."
Lalu dengan nada frustasi Paman berkata, "Tiga jam. Hanya itu yang kujanjikan padamu. Aku akan meyakinkan Stefan bahwa kau di sini menulis naskah pidatomu denganku. Dan aku akan mengusir setiap pelayan yang mencoba masuk. Bila lebih dari waktu itu, aku akan melaporkan kelakuanmu pada Cygnus."
"Aku tahu." kataku, hendak memanjat turun, namun Paman menahan lenganku.
"Kau bawa belatimu?"
Aku menepuk tas kecil di pinggangku, "Selalu."
"Dan kumohon jangan lupakan fakta bahwa kau pergi bersama seorang putri bungsu dari Raja Eridanus." ancamnya serius.
Aku menyunggingkan senyum meyakinkan, "Aku mengerti. Sampai jumpa tiga jam lagi."
Lalu aku memanjat turun.
👑
"Orion? Apa itu kau?"
Suara bisikan Carina seolah terdengar seperti gong yang dipukul nyaring di tengah keheningan malam seperti saat ini. Aku berhasil melewati patroli ksatria dan mengendap-endap menuju halaman tempat pohon magnolia-ku berada. Untunglah halaman belakang itu memang jarang dilalui orang, apalagi di malam hari, karena itu aku dapat bergerak lebih leluasa.
Carina mengenakan gaunnya yang paling sederhana dan tidak mencolok, sesuai pesan yang kutitipkan kepadanya melalui Paman. Kami berdua berlari tanpa suara menuju bekas kandang kuda dan di sana sudah ada mantel berkerudung untuk dikenakan gadis itu dan aku.
"Jangan menutupinya terlalu rapat." saranku, "Orang lain malah akan curiga jika seperti itu."
"Orion, apa kau yakin soal ini?" tanya Carina, "Aku tidak ingin kau terkena masalah lagi."
"Bagaimana denganmu? Kau muncul di sini, kupikir kau tidak akan mau ikut." aku mengangkat sebelah alis sambil menaikkan tudung mantelku.
"Kau pikir aku akan menolak tawaran melihat festival kembang api di desa dan memilih mendekam di kamarku?" Carina balas bertanya menantang, "Kau salah besar, Pangeran."
Kami bertukar senyum penuh persekongkolan dan bersama-sama berjalan keluar dari kandang kuda lalu memutari kandang reyot itu dengan hati-hati. Aku memimpin jalan sambil separuh merunduk hingga kami mencapai dinding persis di belakang kandang yang memiliki lubang berbentuk setengah lingkaran. Lubang itu tadinya difungsikan bagi pengawas kuda yang perlu membuang sampah jerami tanpa perlu repot-repot melalui pintu yang cukup jauh.
Lubang itu hanya muat untuk dilalui satu orang, maka aku memberitahu Carina, "Aku akan keluar duluan dan menarikmu nanti."
"Baiklah."
Aku menunduk dan menyelipkan tubuhku masuk ke dalam lubang, kemudian setelah separuh berada di luar, aku berbalik dan mendorong dinding dengan telapak tanganku untuk menghela sisa tubuhku keluar. Aku mendarat dengan sukses di tanah yang kering dan--untungnya--sudah bebas sampah jerami. Kemudian aku membantu Carina yang sudah separuh keluar dengan menarik lengannya. Sialnya, kakiku terpeleset daun kering dan akibat tarikanku, aku terhuyung ke belakang dengan membawa serta Carina yang lengan-lengannya masih kupegangi.
Kami berdua terjatuh bertumpukkan di atas tanah diiringi erangan kesakitan.
"Aw!" Carina mengaduh.
"Sial!" umpatku.
Carina--yang masih berada di atas tubuhku--menatapku kaget, "Ini pertama kalinya aku mendengarmu menyumpah."
"Aku cukup sering menyumpah serapah... dalam hati." gumamku canggung karena melihat wajah Carina yang begitu dekat, "Dan ngomong-ngomong, bisakah kau..."
"Oh, maaf."
Carina buru-buru bangkit dan membantuku berdiri. Wajahnya sedikit merona, aku tidak tahu apakah itu karena malu atau bersemangat dengan perjalanan ini. Sementara aku? Aku tengah berupaya keras agar debaran jantungku kembali normal dan dalam hati memaki diriku sendiri karena sempat menginginkan kami tetap berbaring lebih lama dengan posisi seperti tadi...
Kendalikan dirimu, Orion! batinku jengkel sambil menggertakkan gigi.
"Apakah aku seberat itu?" tanya Carina separuh memprotes, sementara kami berjalan beriringan di antara pepohonan menuju setapak yang mengarah ke jalur Amrose. Bila berjalan kaki sekitar lima belas menit berlawanan arah dengan istana dan pusat kota, kami akan mencapai desa.
"Tidak. Kau seringan bulu."
Carina terdiam sejenak, "Kok kedengarannya malah mengesalkan."
Aku terkekeh.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke festival ini?" tanya Carina penasaran ketika kami sudah melangkah memasuki jalan setapak. Kami sedikit terbantu oleh cahaya bulan dan lampu gantung yang dipasang setiap beberapa meter di sepanjang tembok istana, "Kau sedang terkena masalah karenaku dan sekarang kau malah cari masalah lain."
"Entahlah," sahutku, tidak sepenuhnya jujur. "Keinginan memberontak setelah sekian lama? Ditambah, kau juga bilang di sini akan membosankan..."
"I-itu hanya perkiraan awalku!" Carina buru-buru meralat. Aku tersenyum puas mendengarkan kepanikan dalam nada suaranya, "Lagipula bukannya aku tidak menyu--"
"Ada kereta menuju desa." perhatianku mendadak teralih pada kereta kuda yang berderap mendekat. Aku mengulurkan tanganku untuk memberi isyarat menumpang dan si kusir menghentikan keretanya.
"Sudah penuh, anak muda." kata pria tua itu malas-malasan.
Aku merogoh sakuku dan mengeluarkan dua koin emas dan melemparkannya ke arah si kusir, yang berhasil menangkapnya pada detik-detik terakhir, "Kau yakin?"
Si kusir memutar bola mata dan menggedikkan kepalanya, menyuruh kami agar naik. Di dalam rupanya sudah ada beberapa penumpang lain. Aku dan Carina duduk berhadapan dengan seorang ibu dan anak laki-lakinya.
"Halo! Malam yang cerah, ya." Carina tahu-tahu membuka percakapan, "Cuaca yang cocok untuk menonton kembang api. Apa kalian juga akan ke sana?"
"Anakku menangis meminta ke sana." si ibu tersenyum, "Daripada pusing mendengarkan rengekannya, lebih baik kukabulkan. Lagipula festival di desa terkenal lebih semarak dibandingkan di kota. Suasananya lebih hangat dan padat oleh orang-orang yang sibuk menari."
"Ini kali pertama bagiku." kata Carina berbinar-binar, kemudian dia beralih menatapku. "Kalau kau sudah berapa kali, Or--Orenzo?"
Aku mengangkat alisku tinggi sekali. Orenzo? "Tiga kali. Namun ini kali pertama aku pergi tanpa penga--tanpa ayahku, jika kau tahu maksudku... Caren."
Carina melayangkan pandangan tidak setuju padaku, kentara sekali dia meledek kreativitasku dalam memilih nama. Aku hanya memutar bola mata. Rupanya cekcok internal kami tertangkap oleh si ibu. Wanita itu terkekeh dan berkata, "Kalian pasangan yang manis."
"Kami bukan pasangan!" sahut kami bersamaan dan terlalu nyaring, membuat seisi kereta dipenuhi kekehan dan wajah kami dilingkupi uap panas.
Tak lama kemudian, kereta berhenti bergerak dan si kusir mengumumkan bahwa kami telah tiba di desa. Aku membantu Carina turun dan kami bersama-sama terkesima menyaksikan pemandangan menakjubkan di hadapan kami.
Aku berbalik menghadap Carina dengan sikap sok resmi, lalu berdeham sambil menawarkan sikuku kepadanya.
"Anda sudah siap, Tuan Putri?" tanyaku pelan sambil tersenyum miring.
Carina menegakkan bahunya dan ikut bersikap formal, lalu mengaitkan tangannya di sikuku, "Aku selalu siap, Yang Mulia."
👑
The Official Advisor & The Loving Uncle
Psst. I lowkey fangirling over Alphard. He's so uwu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top