Episode 15 / Tujuan Pertama

"Selamat pagi, semua." sapa pria paruh baya dengan seragam futuristik di tepi jembatan.

"Pagi, Pak Lilang."

Elios berjabat tangan dengan nahkoda sekaligus pilot yang terlihat seperti pria usia lima puluhan itu. Tidak bisa langsung memastikan usia seseorang dari dunia paralel hanya dengan melihat fisiknya seperti yang biasa kita lakukan di bangsa ini.

Pak Lilang, ini baru pertama kali aku bertemu dengannya. Lani dan Zandar sempat berkenalan dengan beliau di "study tour" sebelumnya. Ya, aku tidak ikut saat itu karena suatu urusan.

"Sebuah kehormatan untuk menemani perjalanan keluarga kerajaan di Dunia Tanah yang indah ini." celetuk Pak Lilang, menoleh ke Lucius. "Ini dapat menjadi pengalaman yang menyenangkan di usia senja saya, Yang Mulia."

Lucius tertawa kecil. Miss Anna dan Elios mengangguk.

"Kehormatan itu milik kami, Pak Lilang." Miss Anna menoleh. "Saya rasa Anda sudah mengetahui ketiga anak ini, bukan? Tapi ada satu yang belum bertemu dengan bapak di pertemuan kita beberapa waktu lalu."

Pak Lilang menoleh, melihat kami bertiga. Setelah berpikir, akhirnya dia berjalan mendekati kami.

"Senang berjumpa dengan kalian lagi, Lani dan Zandar." Pak Lilang menyapa, lalu menatapku. "Dan salam kenal, Putri Afya. Jika tidak keberatan, bolehkah saya memanggil Anda dengan nama?"

Aku mengangguk, tersenyum. "Tentu, pak. Itu akan membuat suasananya lebih hangat,"

Setelah berkenalan denganku, Pak Lilang mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam transportasi.

"Semoga para penumpang menikmati perjalanan."
Beliau menjelaskan beberapa sistem yang membolehkan kapal ini dapat beralih menjadi pesawat terbang dengan bahasa yang mudah dipahami anak remaja. Pengetahuan yang menurutku hanya mimpi di sini.

"Boleh aku bertanya?"

Orang-orang menoleh ke Zandar.

"Kalau boleh tahu," tanyanya dengan wajah serius, "kenapa pak Lilang membawa sarung pedang kosong?"

Suasana hening sejenak, seringai menghias wajah Pak Lilang.

"Oh, hanya itu yang kamu tanyakan, Zandar?" Pria dengan fisik paruh baya itu tertawa pelan. "Bapak kira kamu tidak mengerti penjelasan tadi, ternyata kamu cukup teliti,"

Pak Lilang menyentuh pinggangnya, dan sarung pedang itu langsung muncul. Warna hitam dengan garis hijau menyala. Sepertinya bahan kulit futuristik.

"Sarung pedang ini hanya terlihat 'kosong', tapi benda ini mampu memilih tuannya yang dinilai layak. Hanya itu yang bisa kukatakan, Nak."

Zandar mengangguk mengerti. "Tidak apa. Terima kasih sudah menjawab, pak."

Pedang yang dapat memilih tuannya? Pedang bermata satu itu jelas spesialaku menyimpulkan dari bentuk sarung, meski itu bukanlah yang sebenarnya. Seperti apa bentuk pedang itu? Besok lusa aku akan mengetahuinya.

***

"Kita akan segera memasuki area Samudera Pasifik. Mohon agar para penumpang tetap berada di tempat duduk dan memakai sabuk pengaman." Terdengar pengumuman dari speaker.

Sejak kami melewati batas perairan negara, transportasi yang awalnya kapal berubah menjadi pesawat jet. Segera memasuki mode menghilang di atas udara.

"Hei, giliran siapa selanjutnya?" tanya Elios, mendongak menatap orang-orang di sekeliling meja.

"Oh, giliranku!" Lani segera menaruh dua kartu di atas meja. "UNO!"

"Sial!" Aku berteriak, memukul meja. Kenapa kartu hitam menyebalkan itu yang muncul?

Zandar dan Lucius tertawa puas, memasang wajah kemenangan.

Jelas-jelas kartu mereka berdua lebih dari sepuluh, mereka masih bisa tertawa.

Ya, kami bermain kartu UNO untuk menghabiskan waktu. Sudah berjalan tujuh ronde selama tiga jam terakhir—tiga ronde di laut dan empat di udara—dan Miss Anna yang memenangkan lima ronde berturut-turut.

Aku mengambil tempat Miss Anna di ronde keenam. "Sebaiknya aku duduk menonton, kalian semua masih jauh untuk mengalahkanku." Miss Anna berkata seperti itu saat sudah menampar jiwa Elios dengan empat kartu hitam dan empat kartu warna '+2' lainnya.

Elios mengunyah cemilan dari bungkusan kelima, mengatur dua puluh lima kartu di atas meja. Dia sejak tadi... mendapat kartu yang tidak menjanjikan.

"Astaga, kalian tertawa dengan kartu sebanyak itu?" Aku mengambil kartu dari dek, lalu menurunkan dua kartu dengan angka sama. "Tingkat percaya diri kalian masih tinggi, heh."

"Tentu saja, aku belajar dengan cepat." Lucius segera mengeluarkan kartu-kartu reverse miliknya. Zandar yang melihat gerakan itu lantas tersenyum, mengeluarkan tiga kartu kembarnya.

"Mereka tidak gampang menyerah dalam permainan, tapi langsung tumbang mendengar teori Einstein." Miss Anna menanggapi, duduk sambil mengerjakan sesuatu di layar hologram.

Kami semua tertawa pelan, kembali melanjutkan permainan.

Sepuluh menit berlalu dengan cepat. Dan pemenang ronde ketujuh adalah... Lani.

"Dari mana kamu belajar taktik bermain kartu seperti itu. La?" Tanyaku penasaran, tidak bisa menghilangkan rasa kagumku.

"Eh, aku baru main hari ini."

"""HAH? SERIUS?!""" Kami—kecuali Miss Anna—berseru serempak.

Lani mengangguk dengan wajah polos. "Untuk apa aku berbohong?"

"Ka-kalah dari pemula..." Elios dan Lucius menatap meja dan kartu, terlihat suram.

Wow, kamu menekan saklar mereka, Lani. Aku menatap keduanya dengan mulut menganga.

"Sebentar lagi kita akan memasuki daerah garis Terminator. Bersiap untuk melewati portal manual menuju kota Watawato, Dunia Bayangan."

Baiklah, waktu bermain sudah habis. Aku melepas sabuk pengaman, lalu berdiri. Aku menyentuh permata di sabuk, dan pakaianku berubah menjadi baju serba putih dengan hiasan warna merah dan kuning keemasan. Baju ini aku dapatkan saat pertama kali pergi ke Dunia Cahaya dari Elios. Lani dan Zandar melakukan hal yang sama.

Pesawat bergetar pelan saat melewati portal, lalu kembali stabil.

"Pesawat akan mendarat di Balai Kota Watawato. Selamat menikmati perjalanan kalian!" Suara ramah Pak Lilang terdengar, berpamitan.

"Elios, Pak Lilang tidak tinggal dengan kita?" Aku refleks bertanya.

Elios menggeleng. "Pak Lilang... Punya urusan lain di Zoltria. Tapi beliau akan menjemput kita saat pulang nanti, tenang saja!"

Aku ber-oh pelan, mengangguk pelan.

Sepertinya hal itu hanya ada di antara mereka dan Pak Lilang. Lebih baik aku tidak bertanya lebih jauh.

Saat aku kembali menatap ke depan, terdengar suara riuh dari luar. Aku melihat siaran televisi dari kamera yang terpasang di sisi pesawat.

Astaga! Apa ada festival hari ini? Ribuan orang berkumpul di lapangan hijau seluas setengah lapangan bola, mengelilingi landasan yang telah disiapkan wali kota.

Saat pesawat mengambang tiga puluh senti di atas landasan, pintu perlahan terbuka.

Kami sampai di kota Watawato, di Dunia Bayangan.
***
Maaf baru update sekarang, dan sampai telat 3 bulan. Seharusnya sekarang sudah sampai di pertengahan cerita. 😭🙏🏻

Akan kuusahakan untuk publish secepat mungkin agar buku ini selesai di akhir tahun/awal tahun 2021.

Please support me by vote and follow! {^~^}

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top