3

"Eh, Sar, lo lihat pulpen gue nggak?"

Mata Lisha masih celingak-celinguk menatap sekelilingnya mencari bolpoinnya. Entah tadi terpental atau ia lupa menaruhnya dimana, Lisha tidak tahu. Kolong mejanya kosong, tangannya yang meraba menyimpulkan di sana hanya berisi bungkus permen yang entah kapan ia nikmati isinya. Sementara kepalanya tidak berani melongok ke bawah meja. Bahkan sekedar menoleh ke samping saja takut. Jadi yang dilakukannya hanya bertanya pada teman semejanya. Berharap ia merawatkannya.

"Nggak tahu. Coba cari di bawah." Ia melirik gurunya yang tengah serius mengajar. "Atau pakai punya gue dulu aja nih."

"Oh, oke. Pinjam bentar ya. Nggak dipakai, 'kan?"

Ia menoleh dan tersenyum. "Sans, gue masih ada yang lain kok."

"Makasih ya." Sari mengangguk.

Fokus Lisha dan Sari kembali pada guru Bahasa Indonesia yang merupakan pembina klub jurnalistik, Bu Eny. Beliau memang belum cukup garang dibanding kumpulan guru BP mereka. Namun tetap saja, sebelas IPA 2 ini tunduk pada semua guru. Itulah kenapa sedaritadi hening di sini.

Bisa dibilang, kelas itu merupakan kelas yang paling taat, kalem dan tidak neko-neko. Classy. Bahkan mereka lebih berkelas dari sebelas IPA 1 dalam bersikap, walaupun kesayangan guru ialah cucu-cucu einstein—IPA 1—itu.

Kalau ditanya siapa kumpulan manusia goa SMAN Harapan jawabannya bukan IPA 1, melainkan kelas Lisha. Kelas di mana para manusia kurang update (walau hanya sebagian) dan ambisius berkumpul. Tidak peduli banyak dengan orang lain dan cenderung egois ialah sifat sebagian besar penghuni kelas IPA 2.

"Jadi, untuk mencari—" Penjelasan Bu Eny terpotong.

Di depan kelas, seorang pria berumur 45 tahun dengan pakaian khas guru berdehem. "Maaf Bu, mengintrupsi."

"Pak Deni," jawab Bu Eny dengan senyum kecut.

Sebenarnya guru bahasa Indonesia itu enggan memberikan sisa jamnya pada Pak Deni sang pembina BP. Ia yakin pasti waktunya akan digunakan untuk ceramah kedisiplinan yang tak perlu ditekankan pun pasti mereka laksanakan. Kan percuma. Namun, melihat seorang siswa di sampingnya, ia pun mencoba merelakannya.

Nampak Bu Eny berdiri mengemasi buku-buku milik beliau. Sambil merapikan, beliau menatapi murid-muridnya, "Baiklah, cukup sekian untuk hari ini karena akan dilanjutkan oleh Pak Deni. Terimakasih."

"Ya, Bu," koor sekelas.

Setelah pamit dan memberi salam, Bu Eny melenggang pergi. Pak Deni pun mengambil alih kelas diikuti seorang pemuda yang lebih tinggi darinya.

Langkah pemuda itu begitu santai, tetapi entah bagaimana bisa membuat beberapa siswi mengunci padangan mereka padanya. Termasuk Lisha. Gadis itu mengantupkan bibirnya rapat-rapat menatapnya. Pikirannya terpenuhi oleh rasa penasaran dan ketidak percaya.

"Baiklah langsung saja. Kalau kebanyakan prolog nanti jadi lama seperti di kelas sebelas IPA 1." Pak Deni menarik napas panjang sebelum bicara panjang lebar. "Kalian pasti sudah tahu bahwa akan ada beberapa murid pindahan di sekolah kita. Nah, salah satunya akan masuk ke kelas kalian." Beliau beralih pada pemuda tadi. "Perkenalkan diri kamu."

Sang pembina BP yang katanya killer pun akan sedikit melunak pada kelas sebelas IPA 2. Apalagi kalau moodnya sedang bagus. Dijamin tak ada kata killer mengikuti.

"Saya Tirtan Malik Adrian." Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas. "Panggil Adrian."

Sari yang memperhatikan murid pindahan itu menoleh pada Lisha. "Namanya bagus ya. Orangnya juga lumayan," komentarnya.

Lisha menjawab dengan anggukan kecil. Ia masih speechless oleh kedatangan pemuda bernama Adrian itu.

Pak Deni mengangkat sebelah alisnya. "Itu saja?" Adrian mengangguk. "Baiklah, berhubung saya ada acara beberapa menit lagi, saya tinggal saja ya. Harusnya saya masih banyak waktu di sini kalau IPA 1 tadi tidak banyak nanya. Jadi sisa jam Bu Eny saya harap kalian manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ketua kelas, catat kalau ada yang keluar tanpa ijin yang bener."

"Ya, Pak."

Pak Deni menoleh pada Adrian. "Kamu cari bangku kosong sana. Kelas ini genap sekarang."

Seiring kepergian Pak Deni, Adrian melangkah menuju bangku kosong—tepatnya kosong sebelah—di belakang Lisha. Saat berada di samping bangku depan gadis tersebut, ia merasa kakinya menginjak sesuatu. Ia memunggut bolpoin berwarna hitam dengan label bertuliskan 'Arlisha A NISA' tertempel rapi di sana. Tanpa bertanya, ia langsung meletakkannya di meja Lisha.

"Makasih," ujar Lisha dengan senyum simpul.

Adrian tak menjawab. Bahkan melirik pun tidak. Ia melangkah melewatinya begitu saja membuat Lisha sedikit kecewa. Segala sapaan yang telah ia susun dalam otaknya berantakan.

***

"Lish! Dipanggil Iren."

Lisha yang tengah mengemasi buku Kimianya jadi terdiam begitu saja. Entah mengapa terdengar aneh mengetahui Iren memanggilnya terlebih dahulu. Biasanya jam istirahat pertama seperti sekarang Iren habiskan bersama squad alias geng dari kelasnya.

Ia menoleh ke arah pintu. Di sana ketua kelas sebelas IPA 2, Doni tengah berbincang-bincang bersama dua pemuda dan seorang gadis yang diketahui sebagai siswa kelas sebelas IPA 1.

Pantas saja. Di sana juga ada Eden dan ... Alvin? Iya, Lisha tidak salah lihat. Pemuda yang tengah ternganga lebar itu memang Alvin—si menyebalkan dari trotoar becek. Kalau hanya Iren dan Eden sih, Lisha yakin pasti ada hubungannya dengan mading dan juralistik, mengingat mereka memang satu ekskul juga satu kelompok. Namun, sekarang terdapat Alvin juga, apa urusannya coba? Ikut jurnalistik saja tidak.

Apa jangan-jangan benar yang dikatakan Iren bahwa dia ingin mencomblangkannya dengan Alvin. Apalagi Alvin ini salah satu antek Eden.

Lisha menggeleng-geleng melupakan pikiran absurdnya. Ia kembali pada buku-bukunya di meja kemudian memasukannya ke dalam tas. Barulah melenggang keluar memenuhi panggilan.

"... Bu Eny mayan santai," komentar Eden entah tengah membicarakan apa.

"Iyelah lo berdua anak kesayangannya. Lah gue?"

"Anak kesayangan dari mana?" sahut Iren sewot. "Hukuman juga dibonusin. Masa iya gue ..." Iren pun mulai berujar dengan

Alvin lah yang pertama menyadari kehadiran Lisha sementara Eden dan Iren yang masih bercengkrama dengan Doni. Pemuda itu nyengir begitu saja melihat wajah kaku Lisha.

"Itu wajah apa pakaian, Sha? Pake ditekuk segala."

"Suntuk."

Iren mengalihkan perhatiannya. "Lo bisa suntuk juga, Sha?"

"Duluan, ya." Doni menepuk pundak Eden sekali sebelum berlalu.

Iren hanya menjawab 'ya' singkat diikuti anggukan Eden. Sementara Alvin sendiri masih terfokus pada Lisha yang terdiam malas.

"Cari bahan mading, Ren?"

"Yoi," jawab Alvin. "Sambil ngantin."

Lengan Alvin tiba-tiba ditepuk oleh sohibnya sendiri. "Dia nanya sama Iren, gobs. Tau malu napa."

"Bodo. Gue cuma wakilin doang. Lagian Iren ratunya lemot kalo jawab."

"Alvin?" tanya Lisha sambil mengerutkan kening.

"Iya??" jawab Alvin penuh harap.

"Maksud gue Alvin ikut? Dia anggota baru?"

Iren melirik Alvin kemudian terdiam. "Alvin?" Detik berikutnya ia jadi cengengesan tidak jelas. "Ahahahaha, tuh anak cuma mau ikut makan doang kok. Sans aja."

"Oh." []





cerita berakhir di sini hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top