Titik Nadir

Cerpen ini adalah cerpen kolaborasi dari tiga penulis I_Majid, zuraida27thamrin dan AinurRofiqoh489



Tengah malam, Norman telah kembali ke rumah. Membuka pintu dan melihat putrinya yang berumur lima belas tahun terlelap dalam tidurnya. Hanya sekedar mengintip, menelan salivanya kuat-kuat untuk sekedar mengembalikan aliran darah di otak. Menyelaraskan adrenalinnya yang sempat mengerang tak karuan. Saat satu jam yang lalu, dirinya melakukan dosa yang tak terampuni.

Norman pergi ke kamar mandi, menatap wajahnya di depan cermin dimana westafel biru teraliri air dari keran yang terbuka. Wajahnya terbasuh, mengambil sabun antiseptic dan menggosokkan noda darah yang sudah mengering leher dan juga punggung tangan. Norman menggosok, menggosok, dan terus menggosok jika perlu sampai kulitnya terkelupas dan berdarah.

Giginya tergertak kuat, mengesalkan dirinya sendiri yang telah berbuat diluar batas. Manusia macam apa yang sedang melihat dirinya sendiri di depan cermin. Bibirnya gemetar, melirih dalam keremangan lampu kamar mandi. Matanya sedikit demi sedikit menyayu, cairan bening menetes dengan sendirinya. Membiarkan wajahnya tampak mengasihani diri sendiri.

"Aisyah, maafin aku... maafin..." suara parau Norman hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Terserap oleh udara yang ia hirup sendiri.

Jangan pernah katakan kau mencintai istrimu jika tidak pernah melewati suka dan duka bersama. Bukan, Norman bahkan meninggalkan duka terlalu banyak pada istrinya. Suka cita hanyalah sebagian kecil yang menjadi bahan penghias rumah tangga mereka sejak satu tahun terakhir. Setelah tahun-tahun sebelumnya, tahun dimana mereka membesarkan Naira dengan kebahagiaan penuh. Menumbuhkan akhlak yang baik pada putri tunggal mereka hingga menjadikan Naira gadis yang penuh santun dan berakhlak muslimah.

Namun kekhilafan ini dimulai sejak dua bulan yang lalu. Saat Norman sudah merasa bosan dengan fisik istrinya yang mulai ringkih akibat penyakit gagal ginjal. Saat Norman mulai lelah harus bolak balik Rumah Sakit untuk mengantar Aisyah melakukan rutinitas cuci darah setiap tiga kali seminggu. Sejak Aisyah tidak lagi kuat melayani Norman di atas ranjang, dan sejak Aisyah tidak sanggup lagi memberikan senyum terbaik dan semanis saat mereka baru menikah-senyum yang terlihat perih karena tetap saja kalah dengan rasa sakit yang ia derita.

Atika, wanita muda berusia dua puluh lima tahun itu, hanya sebagai sekretarisnya saja pada awalnya. Tapi ternyata pesona Atika yang selalu terlihat cantik dan segar membuat Norman tidak bisa berhenti memikirkan gadis tersebut. Ia sempat berpikir-kegilaan melirik wanita lain disaat ia masih berstatus sebagai suami dan ayah di keluarganya-merupakan kesalahan terbesar. Kesalahan yang akan menimbulkan masalah baru.

Pada kenyataannya, ia tidak bisa menahan tangannya saat Atika secara tak sengaja terpeleset di atas lantai yang basah karena jus milik atasannya tumpah. Norman menangkap tubuh mungil Atika, harum parfumnya terendus sempurna ke dalam hidungnya, tatapan mata Atika menghipnotis mental warasnya. Norman terpikat hanya dalam waktu singkat.

Meskipun usianya sudah tiga empat puluh tahun, Norman ternyata salah satu pria yang ketampanan dan karismatiknya semakin memesona para wanita. Norman masih memiliki lesung pipi manis yang memikat, suaranya yang lembut dan-yang terpenting adalah, kemapanannya. Tidak ada perempuan yang kagum padanya, maka bersalahkah Atika jika jatuh cinta pada atasannya sendiri? Yang justru mengundang hasratnya untuk memiliki Norman lebih dalam, lebih dekat dan lebih intim.

Dua bulan, adalah waktu yang cukup untuk mengalihkan hati Norman dari Aisyah. Ia selalu datang ke kantor tepat waktu hanya untuk bertemu dengan Atika lebih cepat. Ia pulang larut malam hampir setiap malam hanya untuk bersenang-senang dengan Atika, berdalih lembur dan meeting untuk kelanjutan proyek kedepan katanya pada Aisyah.

"Abang udah gak sayang sama Aisyah ya?" pertanyaan itu mengusik Norman yang hendak memejamkan matanya untuk tidur. Kedua matanya menangkap manik mata istri yang sudah enam belas tahun dinikahinya.

Norman merubah posisi tidurnya ke kanan, membuat wajah mereka saling berpandangan. "Kenapa kamu nanya gitu? Kamu istriku, Ai... jelas aku sayang sama kamulah." Norman tidak bohong. Norman tidak sedang bersandiwara, dia memang menyayangi Aisyah, hanya saja... tinggal beberapa persen.

"Belakangan abang sering pulang larut malam, dan gak pernah menanyakan keadaan Ai lagi. Abang bahkan lupa jadwal control Ai hari ini. Dan bukan hari ini saja bahkan." Aisyah mengulas perasaan secara gamblang, membuat Norman harus berusaha tampak iba meski lagi-lagi hanya empat puluh persen saja barangkali.

"Abang sibuk, Ai... abang harus cari uang lebih banyak kan? Untuk biaya berobatmu, biaya sekolah Naira, kebutuhan kita... abang minta maaf kalau kesibukan abang malah membuatmu sedih."

Aisyah mengerutkan dahinya, wajah berharapnya terlalu kentara. "Ai takut... abang pulang larut malam bukan untuk urus kerjaan, tapi__"

"Tapi apa?" sela Norman, "jangan mikir yang macam-macam. Abang gak mungkin mencintai perempuan lain selain Ai."

"Ai gak bilang begitu."

Glek, Norman terjebak dengan kalimatnya sendiri. Secepatnya Norman tersenyum untuk menghilangkan kecanggungan. "Abang ngerti, Ai. Maafin abang gak bisa nemenin kamu ke rumah sakit tadi, besok-besok, abang janji bakal kasih waktu buat Ai, buat Naira, kita liburan bareng? Ai mau?" Norman menyelipkan rambut lurus Aisyah ke belakang telinga. Memanjakan istrinya sebagaimana ia memanjakan anak gadisnya. Meski pada kenyataanya, ia melakukan hal yang lebih mesra hanya pada Atika.

Aisyah mengangguk bersamaan dengan senyum yang mengudara. "Lusa? Kita liburan ke puncak saja yang dekat, Naira pasti senang."

"Naira pasti senang, Ai juga..."

"Janji?"

Sebilah senyum penenang tercetak di wajah Norman, ia berhasil meyakinkan istrinya, berhasil menyembunyikan penghianatannya atas cintanya sendiri. "Janji..." jawabnya mantap. Dan merekapun tertidur bersama pelukan yang tak melerai.

****---****

Entah sudah berapa kali, Aisyah memergoki pesan singkat yang berbunyi sangat intim dari telfon genggam suaminya. Nomor tak bernama. Namun selalu saja berulang dari nomor yang sama. Aisyah tahu betul, meskipun berulang kali pula suaminya berdalih bahwa pesan itu adalah pesan nyasar, salah sambung atau orang iseng.

Aisyah memaksa dirinya untuk percaya. Apapun yang dikatakan Norman. Namun, makin lama hatinya terasa makin sakit, bahkan rasanya lebih sakit dari gagal ginjal yang dideritanya. Insting perempuan itu kuat, terlebih jika menyangkut dengan orang-orang yang dicintainya.

Semakin hari, Aisyah semakin menaruh curiga terhadap Norman. Bagaimana tidak, Suami yang telah dinikahinya selama tujuh belas tahun itu menunjukkan perubahan sikap yang drastis. Norman jadi sering pergi ke kantor terlalu awal dan pulang terlalu malam. Norman juga sering sekali mengikuti meeting di luar kota sampai berhari-hari hingga ia melupakan jadwal rutin untuk menemani Aisyah cuci darah. Setiap kali Aisyah mencoba bertanya mengenai perilaku suaminya itu, Norman selalu berdalih bahwa ia bekerja sangat keras belakangan untuk membiayai pengobatan Aisyah. Aisyah sangat ingin mempercayai suaminya, hanya saja hati kecilnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya.

Pada suatu pagi di musim peghujan, seperti biasanya Norman berangkat pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Naira berangkat ke sekolah. Norman membawa sebuah koper berukuran sedang dan sebuah tas kerja keluar dari kamar dan menempatkanya dengan rapi pada jok belakang mobilnya.

"Abang jadi berangkat hari ini?" Aisyah membuka percakapan. Wajah wanita itu lebih pucat dari biasanya.

"Iya, Ai. Mendadak client abang menelfon tadi subuh. Minta bertemu hari ini juga, ada proyek penting kayaknya," sahut Norman tanpa memandang istrinya. Ia sedang sibuk mematut diri di depan cermin.

"Client? Menghubungi abang subuh-subuh?" Aisyah megerutkan alisnya tidak percaya.

"Yah, mana abang tahu kenapa dia hubungi abang subuh-subuh. Lagipula, meeting-nya kan di luar kota, Ai, bisa jadi client abang ngasih abang kesempatan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dulu sebelum meeting. Ya kan?"

Norman mendekati istrinya dan menggenggam tangan kurus wanita itu. "Kenapa wajah Ai cemberut begitu?"

"Abang batalkan saja rapatnya. Abang udah lama lho nggak nemenin Ai ke Rumah sakit. Hari ini jadwal Ai cuci darah, Bang. Ai pengen sekali ditemani kayak dulu lagi. Ai takut bang, waktu Ai gak lama lagi..." ucap Aisyah dengan suara bergetar. Satu bulir air mata terbit dan mengalir di pipi putihnya yang tirus.

Norman terhenyak. Sesuatu di dalam lubuk hatinya terasa sakit. Namun, ia juga tak mampu menepis bayangan Atika dari pikirannya. Ia sudah berjanji untuk menghabiskan waktu bersama Atika beberapa hari di sebuah Hotel. Bayangan gadis berkulit kuning langsat dengan bibir ranum itu berkelebat di kepalanya, bahkan saat ia sedang bersama Aisyah seperti saat ini.

Ia memeluk istrinya erat, berusaha menenangkan wanita yang mulai terisak dihadapannya itu. "Abang hanya pergi selama dua hari Ai. Abang janji, setelah ini abang akan selalu menemani Ai cuci darah. Ai akan sehat dan berumur panjang, percaya sama abang. Abang juga minta maaf karena gak menepati janji sama kamu dan Naira buat liburan ke Puncak gara-gara meeting mendadak tempo hari. Tapi Abang janji, minggu ini kita akan liburan ke Puncak," katanya seraya mengecup sekilas puncak kepala istrinya.

Kata-kata Norman lagi-lagi bagaikan mantra yang dapat menenangkan hatinya. Aisyah tidak menampik bahwa perasaannya masih gusar dan tidak tenang. Ia masih tidak dapat mempercayai perkataan suaminya itu. Bagaimanapun juga telah banyak janji yang telah norman ingkari.

Aisyah berusaha menahan tangisnya. Ia berusaha untuk terlihat tegar saat ia melepas kepergian Norman sepagi itu. Perasaannya menangkap sesuatu yang janggal. Belum jauh, mobil Norman beranjak, tiba-tiba nada dering ponsel terdengar memecah lamunan Aisyah. Wanita itu terkejut dan segera mencari-cari asal suara deringan ponsel tersebut. Ia sangat mengenal nada dering ponsel itu. Rupanya ponsel Norman tertinggal.

Aisyah mendekati tumpukan baju tidur yang tergeletak di atas ranjang. Ia meraba-raba ke dalam tumpukan itu. Telapak tangannya meraih benda pipih yang merupakan asal nada derin. Aisyah mengamati layar ponsel yang bercahaya, tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak bernama. Nomor yang dulu sering mengirimi suaminya pesan-pesan bernada intim.

Aisyah mendadak gugup. Jantungnya berdetak tak karuan melihat tanda sebuah pesan masuk dan beberapa panggilan tak terjawab di layar ponsel tersebut. Dengan jari bergetar, ia menekan tanda pesan masuk untuk membukanya. Mata Aisyah terbelalak, wajahnya memerah begitu membaca isi pesan tersebut.

"Kamu dimana, Mas Norman? Jadi kan kita nginap di Ibis? Aku sudah siap dari tadi, Nih. Kita ketemu di kantor atau kamu jemput aku di kosan? Buruan, Sayang. Aku udah kangen banget, nih. Luv Atika."

Bagai tersambar petir, Aisyah mendadak limbung. Genggamannya pada ponsel Norman melemah hingga benda pipih itu meluncur sukses menghantam lantai geranit di bawahnya. Sementara tubuh wanita itu jatuh terduduk di samping tempat tidur.

"Mama?! Mama kenapa?!" jerit Naira. Gadis itu langsung menghampiri sang mama dan membantunya duduk di atas tempat tidur. "Mama kenapa? Mama sakit? Naira temani ke dokter ya? Papa mana Ma?"

"Mama...mama gak apa-apa, Naira," jawab Aisyah dengan suara gemetar. Aisyah berusaha keras menahan hatinya yang sakit. Ia tidak ingin Naira megetahui tentang perselingkuhan ayahnya, sebelum Aisyah memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Norman benar-benar berselingkuh. "Mama akan ke rumah sakit sebentar lagi. Kamu jangan khawatir."

Setelah berhasil meyakinkan Naira, bahwa dirinya baik-baik saja, sore harinya Aisyah memutuskan untuk menyusul Norman ke Hotel Ibis. Jika pesan singkat itu benar-benar berasal dari selingkuhan suaminya, maka dapat dipastikan Norman ada di Hotel Ibis saat ini. Aisyah bergegas menemui supir pribadinya dan meminta pemuda itu mengantarkannya ke Hotel Ibis. Awalnya pemuda itu tampak ragu karena harusnya ia mengantar Aisyah ke rumah sakit sore ini. Namun, Aisyah berdalih bahwa mendadak dia harus menemui teman lamanya dari luar kota yang menginap di Hotel Ibis.

Selama perjalanan menuju Hotel Ibis, Aisyah berusaha keras menahan tangisnya. Ia tidak ingin supirnya tahu tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Aisyah kerap menggigit bibirnya untuk menahan hatinya yang bergejolak tak menentu, sementara tangannya meremas gaun merah marun yang saat itu ia kenakan. Ia bertekad, ia harus memastikan semuanya hari itu juga. Ia tidak ingin lagi memendam prasangka atas perubahan sikap suaminya selama ini.

Perjalanan menuju Hotel Ibis yang harusnya tidak sampai memakan waktu satu jam dari tempat tinggalnya, terasa sangat lama dan menyedihkan. Aisyah membuang tatapan kosong ke luar jendela mobil selama perjalanan. Hingga akhirnya mobil yang membawanya memasuki daerah parkiran Hotel Ibis. Kesadaran Aisyah kembali. Dengan tergesa ia menghampiri resepsionis dan bertanya tentang keberadaan tamu bernama Norman. Namun, ternyata resepsionis tak mau memberikan informasi sembarangan mengenai identitas dan kamar tamu yang menginap.

Aisyah terduduk lesu di salah satu sofa yang berada di pojok ruang tunggu Hotel Ibis. Ia merasa putus asa dan nyaris beranjak dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ekor matanya menatap sosok tampan yang sangat ia kenal melangkah masuk ke dalam Hotel. Pria itu adalah suaminya, Norman. Betapa hancur perasaan Aisyah saat itu juga, ketika melihat suaminya itu ternyata tidak sendiri. Seorang gadis cantik bergelanyut manja di salah satu lengan suaminya. Gadis itu tampak tertawa bahagia, begitu pula suaminya.

Aisyah berlari mendekati mereka dengan berurai air mata. Sakit yang teramat sangat bersemayam di dadanya. Sakit yang tak berdarah.

"Abang...! BANG NORMAN!" teriaknya parau.

Sontak Norman dan gadis muda yang bersamanya menoleh ke arah suara yang ditimbulkan Aisyah. Norman terkejut. Mulutnya ternganga. Ia tak menyangka akan bertemu istrinya. Sementara gadis bernama Atika semakin erat bergelanyut pada rangkulan Norman.

"Ai, ngapain kamu di sini?" Tanya Norman dengan wajah merah padam karena marah dan menahan malu.

"Abang, seharusnya Ai yang bertanya, kenapa abang di sini? Dan siapa dia, Bang?!" Aisyah berteriak marah.

Orang-orang di sekitar lobi hotel mulai memperhatikan mereka. Norman mendadak gusar dan menatap tidak enak ke sekelilingnya.

"Katanya Abang ada meeting di luar kota sama client. Jadi ini client penting yang menghubungi abang subuh-subuh buta?!" Aisyah tak dapat lagi menahan emosinya. Kemarahan dan rasa sakitnya telah memuncak. "Jawab Ai, bang?!"

Norman semakin gelagapan. Ia juga sangat malu diteriaki istrinya seperti itu di depan banyak orang. Amarahnya tersulut melihat Aisyah yang berteriak memarahinya di tempat umum.

"Sebaiknya kita bicarakan ini di kamar," sahut Norman berusaha untuk terlihat setenang mungkin.

Ia melepaskan rangkulanIanya pada Atika dan meminta gadis itu pergi. Entah apa yang dikatakan Norman pada gadis itu, namun gadis itu dengan mudah menurutinya. Atika pergi meninggalkan Norman dan Aisyah tanpa raut bersalah sama sekali. Setelah kepergian Atika, Norman mendekati istrinya dan berusaha membujuk Aisyah untuk ikut bersamanya ke dalam kamar Hotel tempatnya menginap.

Aisyah tak henti-hentinya menangis sepanjang perjalanan menuju kamar hotel Norman. Ia tak mengucapkan sepatah katapun pada Norman. Ia membiarkan Norman merangkul pundaknya seraya menuntunnya ke kamar Hotel. Sementara, Suaminya itu pun tampak enggan membuka pembicaraan karena mereka masih di tempat umum.

Sesampainya di kamar hotel, Aisyah langsung menghempaskan bokongnya di pinggiran tempat tidur berseprai putih. Matanya menatap liar ke seluruh penjuru Hotel. Matanya menangkap tumpukan pakaian gadis selingkuhan suaminya di atas sebuah meja rias sederhana. Ada beberapa helai pakaian dalam, handuk, gaun mini, lingerie... emosi Aisyah mendadak memuncak lagi. Ia berdiri, kemudian melempar tumpukan baju itu dengan geram kearah Norman.

"Jadi kamu sudah sejauh ini dengan dia, Bang?!" hardiknya.

Norman bergeming. Beberapa helai pakaian membentur wajahnya yang memerah karena marah. Kedua tangannya terkepal bersamaan dengan rahangnya yang mengeras.

"Apa salahku bang? Sampai kau setega ini padaku? Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu, Bang? Beginikah balasanmu, Bang?! Jawab bang?!" Aisyah menarik kerah baju suaminya, mengguncang-guncangkan tubuh yang bergeming itu dengan penuh kemarahan. Tidak hanya sampai di situ, Aisyah juga melemparkan bantal, guling, selimut, handuk serta barang-barang yang dapat ia jangkau ke arah suaminya.

Sebuah gelas kosong yang semula tertelungkup rapi di atas nakas menjadi senjata Aisyah untuk menghantam pelipis Norman. Hal itu memicu emosinya terlepas tak terkendali. Norman mendekati Aisyah dengan marah, kemudian menarik paksa jilbab Aisyah. Aisyah menjerit menahan sakit dan rasa kecewa melihat perlakuan suaminya itu.

"Kau mau tahu apa kurangmu?! Kau mau tahu?! Kau itu tidak bisa merawat diri, Kau itu penyakitan! Aku lelah harus terus-terusan menemanimu ke dokter?! Aku capek, aku juga ingin bersenang-senang! Aku ingin dilayani perempuan cantik, bukan perempuan penyakitan sepertimu!!"

Norman menyeret istrinya ke depan cermin. Ia memaksa Aisyah untuk melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Emosi telah membutakan dirinya. Dengan geram, ia membenturkan kepala istrinya ke permukaan cermin hingga cermin itu pecah berderai. Darah segar membasahi pelipis istrinya dan terpercik ke leher, tangan serta kemeja biru tuanya. Aisyah berteriak dan menjerit memintanya untuk berhenti. Namun, Norman tidak bisa menghentikannya. Ia gelap mata. Ia tetap menyiksa dan melukai Aisyah.

Kemudian Norman membanting tubuh ringkih istrinya ke atas tempat tidur. Wanita itu telah kehabisan tenaga untuk bangkit dan menghindari Norman. Norman dengan gelap mata meraih sebuah bantal. Ia membekapkan bantal itu ke wajah Aisyah. Awalnya Aisyah meronta-ronta dan masih menggeliat berusaha melepaskan bantal dari wajahnya. Namun, lama-kelamaan tubuhnya melemah hingga tidak ada pergerakan lagi.

Norman terkesiap. Ia melepaskan bekapan bantal itu dan menatap Aisyah nanar. Sebuah penyesalan perlahan menyelinap di hatinya.

****---****

Hari ini Aisyah tak kunjung pulang setelah meninggalkan rumah beberapa jam yang lalu. Sedangkan Naira sedang bingung harus mencari keberadaan Aisyah yang tak kunjung pulang.

Hari ini Naira dengan waktu yang menunjukkan malam telah tiba, dia sibuk mencari informasi kemana keberadaan mamanya berada. Berbagai cara Naira lakukan demi wanita yang sangat ia sayangi. Mulai dari mendatangi rumah sakit yang biasa didatangi Aisyah untuk Kontrol demi kesembuhan dari penyakitnya. Tetapi itu tidak berhasil karena keterangan dari rumah sakit Aisyah tidak ada dalam daftar pasien yang hadir hari ini. Tak putus semangat Naira mendatangi rumah teman mamanya tapi semua nihil. kemudian ia pun memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Mama pasti akan pulang, itu yang ia yakini.

Keesokan harinya Naira bangun dan bersiap-siap untuk melakukan pencarian mamanya kembali. Disisi lain Norman sudah berada di ruang makan dan bersiap-siap pergi ke kantor dengan keadaan masih menyembunyikan keresahan hatinya akibat apa yang dilakukan kemarin pada istrinya sendiri- Aisyah.

Naira menemui Norman untuk sarapan bersama dan menanyakan keberadaan Aisyah yang sejak kemarin tidak ada kabar. Sebab, ini sudah sangat mengganjal dihatinya.

"Pa, mama kemana, dari kemarin mama tidak ada dirumah?" tanyanya pada lelaki yang bersikap seolah tidak memiliki rasa cemas sedikitpun.

"Mama lagi kerumah nenek sebentar," bohong norman untuk menutupi sisi iblisnya.

"Tapi mama tidak bilang sama Nai, pa."

"Mama menyuruh papa memberitahumu karena kemarin ada urusan mendadak."

"Papa nggak berantem kan sama mama?"

Norman tersenyum kecil, sambil mengunyah roti tawar isi coklat di mulutnya. "Enggak, papa sama mama baik-baik saja," bohong Norman lagi dengan wajah yang lebih tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan Naira.

"Jika itu benar Naira mau kerumah nenek untuk menjemput mama."

"Tidak usah, mama bisa kembali sendiri, Nai..."

Dahi Naira mengerut. "Kenapa papa bersikap seperti ini, enggak seperti biasanya," kata itu membuat Norman semakin menegang karna teringat kemarin ia telah menghabisi nyawa istrinya sendiri.

Normanpun beranjak dari duduknya, menyudahi obrolan mereka dengan beralasan berangkat kekantor. "Papa akan pergi kekantor sekarang, nanti papa pulang lebih awal untuk menemanimu dirumah."

Naira hanya menganggukkan kepala tanpa ada suara yang keluar dari mulutnya. Ada rasa curiga terhadap sikap aneh yang muncul di diri Norman dan itu membuat Naira menumbuhkan sikap kecurigaan pada Norman, sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan makanannya dan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah beberapa menit Naira telah menghabiskan makanannya dan disaat itu juga Norman telah pergi kekantornya, saat ia hendak keluar untuk membuktikan kecurigaanya, Naira mendapat bunyi bel menandakan ada tamu. Berharap itu adalah mamanya, Naira kemudian dengan senang membukakan pintu. Betapa terkejutnya Naira melihat apa yang baru ia tangkap oleh matanya bahwa didepannya, ada dua orang laki-laki bertubuh kekar dan berseragam khas, dan di depan rumahnya, sudah terparkir sebuah mobil ambulance.

"Permisi, benar ini rumah ibu Aisyah?" tanya salah seorang pria berseragam polisi tersebut.

Sejenak tercengang, Naira pun menjawab, "iya, saya anakknya,"

"Saya ingin menyampaikan bahwa ibu Aisyah telah meninggal dunia. Jasadnya kami temukan di sebuah hotel tempat bapak Norman menginap kemarin malam. Dugaan kuat ini adalah pembunuhan."

"APA? GAK MUNGKIN!" sorak Naira tak percaya akan takdir ini, bagaikan petir yang menyambar sebuah pohon yang langsung patah itulah yang dirasakan Naira saat ini tubuh mungilnya mulai melepas tak bisa berdiri tak kala badai telah membuatnya hampir terhempas entah kemana.

Sekarang pikiran Naira kosong, hampa, entah ini sebuah mimpi atau fakta. Namun jasad perempuan itu, yang baru saja mereka keluarkan dari ambulance, terbujur dan tak bernyawa-adalah ibunya.

Lantas kedua polisi itu mengajak Naira untuk melihat jasad yang sudah mereka turunkan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan tubuh seolah kaku, betapa terkejutnya Naira bahwa jenazah itu benar-benar mamanya. Wanita yang sudah melahirkannya, yang sempat ia cemaskan satu malam. Tak sengaja air mata pun mulai tak bisa ditahan.

"MAMA, BANGUN MA JANGAN TINGGALKAN NAIRA SENDIRI!!" teriak Naira yang tak kunjung mereda tangisnya yang masih setia memeluk wanita kesayangannya yang kini berbaring tak bernyawa.

"SIAPA YANG TELAH MELAKUKAN INI SAMA MAMA?!" tanyanya sangat keras pada lelaki yang berada disampingnya.

"Maaf mungkin ini sangat mengejutkan," jawab salah satu polisi dengan iba.

"SIAPA?" kemarahan mulai meningkat pada gadis remaja tersebut.

"Saudara Norman, suami dari ibu Aisyah."

"APA? Gak munkin papa yang melakukan ini."

Satu kenyataan lagi yang membuat Naira serasa ingin pingsan saja. Sungguh, ia hanya gadis yang memiliki hidup sempurna pada awalnya. Namun, dalam sekejap Tuhan tampaknya sudah melepaskan belenggu takdir pahit pada hidupnya.

Diwaktu yang lain Norman kini telah berada didalam mobil, ia berniat untuk pulang kembali karena teringat akan berkas penting yang tertinggal dirumahnya. Setelah beberapa menit Norman telah berada didepan rumahnya, betapa terkejutnya ia saat ada polisi dan ambulance di sana. Tapi bukan Norman kalau masih bisa menyembunyikan perbuatan iblisnya, ia berjalan dengan santai dan mulai akan masuk kerumahnya dan terjadilah nasib malang petaka bagi Norman.

"Ada apa ini?" tanyanya pada Naira yang masih menangisi jenazah ibunya.

Naira mendongak, menatap mata papanya yang masih bisa bersikap biasa padahal tangannya itulah yang sudah menghilangkan nyawa mamanya. "PEMBUNUH, PAPA PEMBUNUH!" sontak kata itu membuat Norman makin resah.

"Jaga ucapan kamu, Nai!" Bentaknya.

"APA? KAU TELAH MEMBUNUH MAMAKU, KAU PEMBUNUH," kata kasar itu sudah keluar dari mulut Naira yang sangat marah.

Lantas salah satu polisi segera mendekati Norman, tidak berbaik hati memberi jeda pada situasi berbela sungkawa. "Maaf pak, kami dari kepolisian, kami akan membawa anda kekantor polisi atas tuduhan pembunuhan yang anda lakukan pada korban yang bernama Aisyah," ucap polisi itu.

Norman kalut, ia limbung, menatap nanar putrinya yang pasti lebih menyedihkan daripada apa yang telah ia karena kesalahannya.

"Nak papa bisa jelasin semua, tolong maafin papa," ucap norman yang meminta maaf dengan tatapan kekecewaanya.

Tidak ada lagi kalimat yang bisa Naira ucapkan, ia bahkan membiarkan papanya-orang yang telah membunuh mamanya-pergi dengan pandangan mengabur. Apa lagi yang harus di perbuat selain mendokan wanita yang sangat dicintainya, Naira bergeming di tempat, menguraikan air mata, mengiba pada dirinya sendiri sebab terkhianati oleh ayah kandungnya sendiri.

Bukankah secara tak langsung, Naira telah menjadi yatim piatu?

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top