Lima
Untuk yang tinggal di Wamena, silakan komen kalau ada deskripsi yang nggak sesuai. Akan aku benerin saat revisi nanti. Makasih. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....
**
Pemandangan di sepanjang jalan Trans Papua menyegarkan mata. Gugusan pegunungan yang tampak berlapis-lapis. Sepanjang mata memandang, semua tampak hijau. Kecuali jurangnya yang menakutkan, semua indah. Kessa mengawasi dari jendela mobil yang melaju. Sangat berbeda dari apa yang dilihatnya setiap hari di Jakarta.
Perjalanannya dengan Narendra sudah memasuki hari keenam. Mereka berangkat Jakarta ke Jayapura karena tidak ada penerbangan langsung ke Wamena, ibukota Kabupaten Jaya Wijaya yang menjadi tujuan mereka. Dari bandara Sentani, mereka kemudian terbang lagi ke Wamena.
Pemandangan dari jendela pesawat benar-benar menakjubkan. Sungai Mamberamo meliuk-liuk seperti ular raksasa yang memeluk hutan dan pemukiman penduduk yang dilewatinya. Panjang sungai itu mencapai 670 kilometer dan melewati 9 kabupaten. Sumber airnya berasal dari beberapa anak sungai besar seperti Tariku, Van Daalen, dan Taritatu. Airnya lantas mengalir ke arah lembah pegunungan Van Rees dan Foja sehinga mencapai delta untuk kemudian bermuara di Samudra Pasifik.
Puncak Trikora, Puncak Mandala, dan Puncak Yamin berdiri gagah dengan lereng-lereng terjal dan curam. Mengintimidasi tetapi terlihat sangat indah.
Narendra terlihat sibuk dengan kameranya, meskipun Kessa tidak yakin dia bisa menghasilkan gambar yang bagus melalui jendela pesawat ATR yang mereka tumpangi. Bandara Wamena termasuk bandara perintis, jadi hanya jenis pesawat seperti itu yang mengambil rute Jayapura-Wamena dan sebaliknya.
Tujuan utama mereka di Wamena adalah distrik Wosilimo yang merupakan kediaman suku Dani. Ada pesta budaya Papua yang akan digelar. Kegiatan rutin tahunan yang sudah masuk kalender wisata provinsi Papua. Itu menjelaskan mengapa di pesawat yang mereka tumpangi juga banyak membawa wisatawan dari luar negeri. Festival Lembah Baliem yang biasanya diadakan selama 3 hari itu selalu menarik perhatian media karena kekhasan yang mereka tampilkan.
Narendra tampak sangat gembira dan antusias saat memvideokan permainan perang suku yang digelar khusus untuk acara itu. Drone-nya cukup lama berada di udara. Semua yang ikut dalam perang itu mengenakan pakaian adat berupa koteka dan berbagai atribut yang sesuai hierarki mereka dalam suku. Senjata yang digunakan terutama adalah panah dan tombak. Busur panah terbuat dari kayu rumi dengan tali dari rotan, sedangkan kepala anak panah dibentuk dari tulang hewan yang sudah diasah. Pada perang sebenarnya, kepala anak panah ini biasanya dibubuhi cairan tanaman beracun untuk menambah efek luka pada lawan yang terkena panah.
Selain perang antarsuku, ada acara bakar batu yang juga tidak ramai peminat.
"Untung saja saya nggak langsung menolak saat Rena dan Tita mengusulkan kamu sebagai teman jalan," kata Narendra saat mereka duduk di depan tungku saat acara bakar batu dimulai. "Saya bakal rugi banget kalau beneran menolak."
Kessa hanya tersenyum. Narendra juga tidak mengharap jawaban karena dia segera bergerak mencari sudut yang bagus untuk mengambil gambar ketika batu-batu yang sudah dibakar dipindahkan ke dalam lubang yang dilapisi rumput segar yang masih berwarna hijau. Di atasnya kemudian diletakkan tumpukan ubi yang kemudian ditutupi rumput, batu lagi, rumput, kulit babi, rumput, batu, kemudian lubang yang lantas terlihat berubah menjadi gundukan rumput dan sayuran itu dirapikan dan diikat. Sajian itu siap dalam waktu 2 jam.
Kessa dan Narendra hanya mengambil ubi bakarnya. Aroma babi gulingnya memang menggoda, tetapi karena kepercayaan, itu harus dilewatkan.
Setelah Festival Lembah Baliem, mereka masih tinggal beberapa hari untuk mengunjungi distrik tempat tinggal suku Yali dan Suku Lani yang merupakan tetangga suku Dani.
Mereka memilih perjalanan darat untuk kembali ke Jayapura, menumpang mobil double cabinyang biasanya dipakai untuk membawa barang dari Jayapura ke Wamena. Menurut sopir mereka, meskipun sudah tembus, jalan Trans Papua belum selesai pengerjaannya. Di bagian-bagian tertentu, jalurnya masih sangat ekstrem.
Kessa segera menyetujui saat Narendra meminta pendapatnya soal jalur darat itu. Ini memang perjalanan yang menantang. Apa salahnya menambah lebih banyak adrenalin? Tidak setiap saat dia bisa menempuh perjalanan di ketinggian hampir 2000 meter di atas permukaan laut, di antara jurang yang menganga lebar di bawahnya.
Dan di sinilah dia sekarang, dalam perjalanan menuju Jayapura. Sudah lebih dari 30 jam. Sopir mereka benar-benar hebat. Butuh stamina dan fokus luar biasa untuk mengemudi di bagian jalan yang belum di aspal. Lubang-lubang besar yang menganga di tengah jalan dan lumpur sangat menyulitkan.
Ipod yang Kessa letakkan di atas pangkuan terjatuh saat mobil berbelok di tikungan. Gerakannya meraih benda itu di lantai mobil membuat Narendra yang tidur sambil duduk di sebelahnya lantas terbangun. Kessa meringis. "Sorry, kamu jadi terbangun."
Narendra mengusap wajah. Dia tampak terkejut saat melihat pergelangan tangannya. "Saya ketiduran lama banget. Kita sudah sampai di mana?" Dia mengarahkan pandangan keluar jendela.
"Masih jauh. Kamu bisa lanjut tidur lagi."
Narendra mengeluarkan permen karet dari sakunya dan mulai mengunyah. "Besok kita langsung terbang ke Sorong dan menyeberang ke Raja Ampat, atau kamu mau istirahat dulu? Kita bisa jalan-jalan dulu di Jayapura."
"Nggak apa-apa. Kita bisa lanjut saja." Kessa mengutak-atik kameranya untuk melihat gambar yang sudah diambilnya. "Sepulang dari trip ini, saya akan punya stok foto instragram untuk beberapa tahun ke depan."
Narendra tertawa. "Apa nama akun instragram kamu?"
"Kenapa, kamu mau follow?" ejek Kessa. "Memangnya kamu punya akun media sosial?"
"Hei, tentu saja saya punya akun media sosial," protes Narendra. "Saya hanya nggak sering posting foto di situ. Foto dan video yang saya ambil biasanya untuk keperluan cari makan."
Kessa ikut tertawa. Dia menunjuk beberapa orang yang berjalan kaki di sisi jalan. "Di sini hidup sangat sederhana ya? Orang bisa hidup tanpa rencana. Hari ini untuk hari ini. Besok itu urusan nanti."
Narendra mengikuti arah pandangan Kessa, meskipun kumpulan orang itu akhirnya menghilang karena mobil yang melaju cepat. "Irama kehidupan beda denyutnya di setiap tempat." Dia balik menatap Kessa. "Kenapa? Kamu mau hidup yang iramanya lambat dan nggak dikejar target?"
"Kedengarannya menyenangkan."
"Nggak selalu. Kadang bisa membosankan." Narenda menggerak-gerakkan kepala, mengusir kaku di leher. "Saat sedang berburu gambar, saya bisa berkubang dalam genangan lumpur selama berjam-jam, tak bergerak meskipun digigit serangga karena takut penyamaran saya diketahui hewan yang menjadi obyek foto. Percayalah, kamu nggak mau hidup kayak gitu."
Tawa Kessa berlanjut. Dia menoleh untuk melihat Narendra. Laki-laki itu memang teman perjalanan yang menyenangkan. Mereka baru beberapa hari bersama, tetapi seperti sudah kenal lama.
"Saya senang bisa melakukan perjalanan ini." Kessa melepas pandangan dari wajah Narendra dan kembali melihat keluar jendela mobil. "Saya benar-benar butuh pengalihan."
"Dari pekerjaan?" tanya Narendra.
"Dari pekerjaan. Dari masalah pribadi juga." Kessa langsung menggeleng. "Sorry, saya malah jadi curhat."
"Saya punya banyak waktu untuk dengerin kamu curhat. Kita masih akan terjebak bersama selama beberapa minggu ke depan."
Kessa menggeleng. "Nggak usah. Ceritanya bisa bikin kamu tertidur lagi. Kehidupan saya membosankan."
"Kehidupan orang lain itu selalu menarik di mata kita," balas Narendra. "Karena itu ada acara khusus di televisi hanya untuk membahas kehidupan orang lain. Bagaimanapun kemasan acaranya, infotainment, talk show, atau dokumenter, penontonnya selalu banyak dan antusias."
Bola mata Kessa terarah ke atas. "Itu kehidupan artis. Tentu saja hidup mereka menarik."
"Menarik itu hanya sudut pandang. Intinya sama, kebanyakan orang menganggap hidup orang lain lebih menyenangkan daripada hidup mereka sendiri."
Percakapan mereka terputus saat mobil berhenti. Sopir mereka menoleh. "Kita berhenti sebentar untuk kasih lurus torang pu punggung dulu, Kaka," katanya dengan logat Papua yang kental. "Di sana ada air terjun, mungkin Kaka mau cuci muka."
Narendra dan Kessa menyusul sopir itu turun. Memang ada air terjun kecil tidak jauh dari tempat mobil mereka menepi. Mereka tidak sendiri karena ada beberapa mobil lain, juga truk yang berhenti di situ.
"Airnya dingin banget," ujar Kessa saat telapak tangannya menyentuh air itu.
Narendra tertawa. "Kita berada dua kilometer di atas permukaan laut. Tentu saja dingin. Apalagi hutannya masih lebat kayak gini." Dia membasuh wajah. "Lumayan, ngantuknya langsung hilang."
"Daya adaptasi penduduk sini beneran luar biasa." Kessa memeluk dirinya sendiri. Jaketnya tidak cukup tebal untuk mengusir dingin. "Yang masih di pedalaman dan hanya pakai koteka saja bisa-bisanya tahan."
"Tubuh mereka sudah menyesuaikan. Lagian, yang pakai koteka saja sudah jarang banget ditemuin kok. Di festival kemarin, hanya yang ikut perang suku saja yang pakai koteka, kan? Khusus untuk acara itu."
Mereka kemudian meninggalkan air terjun itu dan menghampiri bibir jurang untuk mengambil gambar. Benar-benar pemandangan yang luar biasa.
"Kamu mau aku foto dengan latar itu?" Narendra menunjuk gugusan pegunungan. "Pasti bagus untuk instagram kamu."
"Pemandangannya memang bagus, tapi tampang kucel saya akan bikin gambarnya jelek." Kessa tidak yakin wajah berminyaknya yang belum dibersihkan dengan baik selama hampir dua hari ini akan terlihat bagus di kamera.
"Malah aneh kalau kamu pakai make uplengkap dengan latar kayak gini." Narendra mengambil foto Kessa tanpa menunggu persetujuan perempuan itu. "Kamu pasti suka hasilnya," katanya saat mengamati foto yang diambilnya di layar kamera. "Hasil foto saya nggak pernah jelek."
Mau tidak mau Kessa ikut tertawa. "Kamu nggak akan bekerja di National Geographic kalau nggak bisa mengambil foto yang bagus."
"Nanti saya kirimkan kalau sudah ditransfer." Narendra tidak menanggapi ucapan Kessa. Dia kembali sibuk dengan kameranya.
**
Sorong bermandikan cahaya di waktu malam. Kessa dan Narendra duduk santai di salah satu gerai kopi di mal. Malam ini mereka menginap di Sorong, dan baru akan menyeberang ke Raja Ampat besok pagi.
Kessa sedang menyesap kopinya saat ponsel yang diletakkannya di atas meja berdering. Nama Jayaz muncul di layar.
"Nggak diangkat?" tanya Narendra ketika melihat Kessa membiarkan panggilan itu berulang beberapa kali.
"Dia akan berhenti kalau capek." Sudah cukup lama pesan Jayaz yang masuk selalu dihapusnya tanpa dibaca.
"Kalau nggak mau terima telepon, kenapa nggak dimatikan sekalian ponselnya?"
Kessa bermaksud menghubungi ibunya, adiknya, dan juga Joy. Karena itu dia dia mengabaikan telepon Jayaz yang bertubi-tubi sejak ponselnya mendapat sinyal setelah perjalanan melelahkan melalui Trans Papua. "Saya lagi nunggu telepon penting."
"Dan bukan dia orangnya?" Narendra menunjuk ponsel Kessa yang bergetar karena dia sudah mematikan nada dering supaya tidak menganggu orang lain yang juga berada di gerai itu.
"Bukan." Kessa menggeleng. "Dia itu—" Bagaimana cara yang tepat untuk mendeskripsikan Jayaz kepada Narendra?
"Orang yang membuat kamu membutuhkan perjalanan ini untuk mengalihkan perhatian," Narendra membantu Kessa menyelesaikan kalimat. Tatapannya tampak jail. "Ini memang cara paling ampuh untuk mendapatkan perhatian pasangan. Mengabaikan teleponnya saat kamu sedang dalam perjalanan jauh. Itu bisa membuatnya sebal dan panik di saat yang sama."
"Mantan pasangan," koreksi Kessa sebal. "Kadang-kadang saya nggak mengerti jalan pikiran Jayaz." Dia menunjuk ponselnya, seolah itu Jayaz. "Iya, kami bersahabat sebelum akhirnya pacaran, tetapi dia juga seharusnya tahu kalau aku butuh waktu untuk menerimanya kembali sebagai sahabat setelah diputusin."
"Kamu diputusin?" Dahi Narendra sedikit berkerut. "Kenapa?"
"Saya juga menanyakan itu sama Jayaz." Mau tidak mau Kessa meringis. Ingatan peristiwa putusnya dengan Jayaz kembali melintas. "Katanya dia nggak bahagia lagi dengan hubungan kami setelah 6 tahun. Belakangan saya baru tahu kalau dia ternyata tertarik pada orang lain."
"Dia meninggalkan kamu untuk perempuan lain?" Narendra memperjelas.
"Dia memutuskan saya untuk perempuan lain," sambut Kessa miris. "Sama saja ya? Intinya, Jayaz ingin kami kembali bersahabat, sementara dia mengejar perempuan lain. Dia butuh saya menjadi suporternya untuk itu. Menyebalkan!"
Narendra tidak menanggapi. Dia seolah menunggu luapan emosi Kessa lebih lanjut.
"Maksud saya, Jayaz memang sahabat yang luar biasa, tapi saya butuh waktu untuk mengatasi sakit hati sebelum bertemu kembali dan berteman dengan dia lagi."
"Kenapa kamu masih mau bertemu dan berteman dengan orang yang memutuskanmu begitu saja setelah 6 tahun bersama?" tanya Narendra. Dia terdengar tidak setuju dengan ucapan Kessa.
Joy juga berpendapat seperti itu. Hanya saja, sulit mengabaikan Jayaz. Kessa merasa hubungan mereka sebagai sahabat akan membaik kalau dia sudah berhasil mengatasi perasaan sakit hatinya. "Kami sudah bersahabat sejak lama." Itu benar. Hubungan persahabatannya dengan Jayaz jauh lebih lama daripada dengan Joy. Seperti yang sudah berulang kali diulangnya, Jayaz belum pernah mengecewakannya sebagai sahabat.
"Kalau begitu, dia nggak seharusnya meninggalkan kamu."
Kessa mendesah. Sulit untuk menjelaskan hal ini kepada orang lain, terutama pada Narendra yang belum lama dikenalnya. "Saya mungkin kedengaran tolol karena mengucapkan hal ini, tapi saya tahu kok kalau cinta itu bisa datang dan pergi. Perasaan berubah itu wajar banget. Jayaz pasti merasa bersalah karena kehilangan rasa cintanya untuk saya. Saya mengerti apa yang dia rasakan. Hanya saja, saya juga butuh dibiarkan sendiri. Ini—"
"Cinta itu bisa datang dan pergi, itu benar banget," potong Narendra. "Perasaan bisa berubah, itu juga nggak salah. Mungkin karena lama-kelamaan cinta itu menjadi semacam rutinitas untuk pasangan yang sudah jalan lama. Butuh usaha untuk membuat cinta itu tetap bertahan dan terus hidup dan nggak lantas jadi rutinitas. Sepertinya dia nggak melakukan itu untuk kamu." Dia menunjuk ponsel Kessa seolah itu Jayaz. "Kalau dia nggak bisa berjuang untuk kamu, kenapa kamu harus merasa wajib menerima dia kembali sebagai sahabat? Kamu nggak berutang apa-apa sama dia."
Kessa masih memikirkan kata-kata Narendra setelah masuk dalam selimutnya di kamar hotel. Mungkin benar cintanya dan Jayaz menjadi rutinitas sehingga menimbulkan kebosanan. Bisa jadi dia berperan dalam hilangnya cinta Jayaz kepadanya. Kessa juga tidak pernah benar-benar perhatian kepada Jayaz, kan? Hubungan mereka terasa sangat nyaman karena dimulai dari persahabatan. Kessa hampir tidak pernah berdandan khusus untuk Jayaz. Makan malam bersama mereka sama sekali tidak romantis. Hanya mengandalkan go-fooduntuk kemudian dimakan di depan televisi sambil menonton film. Baik itu di apartemennya, ataupun di tempat Jayaz. Kalaupun mereka makan di luar, mereka melakukannya sepulang kerja sehingga Kessa sudah dalam keadaan capek dan lusuh.
Pacar yang baik adalah pacar yang selalu memperhatikan pasangannya, kan? Sepertinya Kessa melewatkan bagian itu. Apartemennya lebih sering dibereskan Jayaz, sementara dia sendiri hanya menyebabkan kekacauan di tempat Jayaz saat berada di sana, meskipun Jayaz tidak pernah mengeluh. Dia akan mengumpulkan bungkus kosong camilan Kessa yang diletakkan begitu saja di atas meja. Mencuci gelas dan piring bekas makan mereka dengan sukarela.
Baru sekali ini Kessa benar-benar memikirkannya. Cinta yang menjadi rutinitas. Cinta yang kemudian kehilangan kilau. Sepertinya memang bukan salah Jayaz sepenuhnya kalau hubungan mereka kemudia karam.
Kessa meraih ponselnya yang berdering dari nakas. Jayaz lagi. Kali ini dia memutuskan mengangkatnya. "Halo," sapanya pelan.
"Hai," sapa Jayaz sama pelannya. "Kamu di belahan Papua sebelah mana, Sa?"
Kessa tidak memberitahu Jayaz soal perjalanannya, jadi jelas kalau laki-laki itu sudah mencari tahu sendiri. "Di Sorong. Besok mau ke Raja Ampat."
"Aku ke kantormu dan Erik bilang kamu cuti sebulan karena mau keliling ke Indonesia Timur." Jayaz diam sebentar. "Dia nggak tahu persis rute kamu, jadi aku ke rumah kamu. Mama kamu bilang kamu di Papua."
Kessa sontak bangun dan duduk. "Aku belum bilang sama Mama soal kita. Kamu tahu Mama, kan? Aku harus cari waktu yang tepat."
"Iya, aku tahu. Aku juga nggak bilang apa-apa. Aku minta maaf, Sa," suara Jayaz terdengar penuh rasa bersalah. "Aku baru sadar kalau aku nyakitin kamu banget setelah kamu menghindari aku kayak gini. Hanya saja—"
Kessa mengusap pipinya yang basah. Perasaan bersalah Jayaz menyentuhnya. "Aku mengerti, Yaz. Perasaan bukan sesuatu yang bisa dipaksain. Tapi seperti yang sudah kubilang, aku butuh waktu sebelum kita beneran bisa kembali bersahabat kayak dulu. Kasih aku waktu. Kita akan bicara lagi setelah aku pulang."
Air mata Kessa mengalir lebih deras setelah dia menutup teleponnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top