Dua
Makasih responsnya yang lumayan bagus untuk part awal. Ini masih edisi update yang sudah ditulis karena belum mood buat nulis. Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...
**
Waktu pertemuan yang Narendra sepakati dengan Kessa, orang yang akan menjadi teman seperjalanannya sebenarnya masih setengah jam lagi. Dia sengaja datang lebih awal karena takut terjebak lalu lintas Jakarta yang tidak bersahabat. Dia tidak suka terlambat dalam pertemuan apa pun. Narendra termasuk orang yang lebih suka menunggu daripada membuat orang menunggu.
Kemarin dia menghubungi Kessa melalui kartu nama yang diberikan Renata. Mereka perlu bertemu untuk membahas rute perjalanan mereka. Semoga saja perempuan yang akan ditemuinya ini setipe dengan Renata dan Tita, karena sulit membayangkan melakukan perjalanan dengan perempuan metropolis yang terbiasa dengan heelsdan jenis pakaian yang dipenuhi manik dan glitter di sana-sini.
Setelah mendorong cangkir kopinya menjauh, Narendra mengeluarkan Macbook dan lantas tenggelam dalam kumpulan foto yang pernah diambilnya. Dia harus memilih yang terbaik di tiap-tiap tempat untuk dimasukkan dalam bukunya. Itu bagian yang sulit, karena foto yang ada di situ sama bagusnya.
Itu foto-foto yang dia ambil di Kalimantan dan Sumatera. Narendra sudah menyelesaikan bagian yang itu. Dia memilih Pulau Dewaran sebagai fokusnya di Kalimantan, selain pemukiman suku Dayak Dalam. Sedangkan Sumatera diwakili oleh Pulau Weh sebagai bagian paling barat Indonesia. Samosir, Nias, Bangka, dan Waikambas juga masuk dalam daftarnya untuk bukunya.
Jari Narendra berhenti sejenak saat melihat foto gunung Anak Krakatau. Saat foto itu diambil, gunung itu tampak tenang. Memang kawahnya tetap mengepulkan asap, tetapi belum menunjukkan tanda-tanda akan memuntahkan lahar. Fenomena alam yang luar biasa indah, sekaligus mematikan.
Dering ponsel membuat Narendra melepaskan pandangan dari layar Macbook. Kessa. "Halo?" Mungkin calon teman perjalanannya itu sudah berada di dekat tempat yang mereka sepakati bertemu ini.
"Oh, hai, saya sudah lihat, Mas." Telepon ditutup.
Narenda melihat layar ponselnya sebelum menoleh ke arah pintu masuk. Seorang perempuan semampai tersenyum dan melambai ke arahnya, seolah mereka sudah kenal lama. Meskipun ragu, Narendra membalas senyumnya.
Kessa berdiri di depan meja Narendra. Saat Renata dan Tita bercerita tentang Narendra, mereka jelas melewatkan bagian fisik laki-laki ini. Kessa nyaris memukul dahi menyadari apa yang melintas di benaknya. Perpisahan dengan Jayaz jelas memengaruhi kesehatan mentalnya, karena tidak biasanya dia peduli pada penampilan fisik seseorang. Dalam beberapa hari ini Kessa menyadari kalau dia memelototi hampir semua laki-laki menarik yang ditemuinya. Kalau Jayaz bisa tertarik kepada perempuan lain saat mereka masih berhubungan, mengapa Kessa harus menahan diri untuk memulai hubungan yang baru dengan siapa pun yang kelihatan menarik? Mungkin saja setelah berkenalan, dia bisa menemukan pendar, debar, atau apa pun namanya, seperti yang Jayaz temukan pada perempuan itu? Sayangnya Kessa tahu dirinya tidak akan menjalin hubungan dengan orang yang baru ditemuinya, betapa pun putus asanya dia untukmove on.
"Maaf, saya terlambat." Kessa menggeleng untuk mengusir pikiran isengnya.
"Kamu nggak terlambat, saya memang datang lebih cepat." Narendra menggeser kursi dan berdiri. Dia mengulurkan tangan. "Narendra. Atau Naren saja."
"Makessa. Kessa." Kessa membalas genggaman yang erat itu. Laki-laki di depannya ini jelas punya kepercayaan diri yang besar. Hal itu bahkan bisa terdeteksi dari genggamannya. Genggaman yang tampak cocok untuk ukuran tubuhnya yang tinggi, tegap, berkulit cokelat, dan tampang yang menarik. Jenis laki-laki yang dengan mudah mendapat perhatian perempuan mana pun. Astaga, Kessa lagi-lagi menggeleng. Jayaz keparat!
"Silakan duduk." Narendra melepaskan pandangannya dari wajah Kessa setelah mengamati beberapa saat. Tidak ada make-upberat. Itu melegakan. Sulit membayangkan masuk hutan dengan seseorang yang harus mengukir alis terlebih dulu untuk membuat monyet atau biawak yang mungkin mereka akan temui terkesan. Matanya memindai kaki Kessa. Jeansdan sneakeryang sudah tidak terlalu baru. Perempuan ini lolos dalam uji penampilan.
"Terima kasih." Kessa duduk setelah meletakkan tasnya di salah satu kursi kosong. "Mas Narendra—"
"Naren saja," potong Narendra. "Bagian "masnya" di-skipsaja. Dan saya akan panggil kamu Kessa saja. Kita akan menghabiskan waktu bersama cukup lama, jadi bagian sopan santun di sapaan kita lewatkan saja. Gimana?"
Kelebihan lain. Laki-laki yang tahu tidak suka basa-basi dan tahu apa yang dia inginkan. Tegas. Dalam pengamatan sesaat, Jayaz jelas kalah di bagian ini. Hentikan! Kessa menghardik diri sendiri. "Setuju."
"Mau minum apa?" tanya Narendra yang masih berdiri. "Biar saya pesenin."
Kessa mengibas. "Nanti saya pesan sendiri. Kita bisa bicara soal rute dulu. Sebenernya sudah saya tanyain sama Rena dan Tita sih, tapi katanya nanti biar dibahas sama kamu. Ehm, pakai 'kamu' nggak apa-apa?" Dia tidak ingin dianggap kurang ajar seandainya Narendra ingin hubungan dan sapaan yang formal.
"Saya lebih suka 'kamu' daripada 'anda' atau 'mas' sih."
"Oke." Kessa merasa jauh rileks sekarang. Calon teman seperjalanannya sejauh ini tampak menyenangkan. "Jadi kita akan mulai dari mana?"
Narendra mengeluarkan iPad. Dia mengutak-atik benda itu sebelum berkata, "Saya mikirnya kita mulai dari Papua, Maluku, Sulawesi, Bali, Flores, dan terakhir Mataram, sebelum balik ke Jawa."
"Oh, Bali dan Nusa Tenggara masuk dalam daftar kamu ya?" Kessa ikut mengeluarkan buku catatannya. "Kayaknya waktu saya nggak akan cukup. Lagian, trip di Bali dan Nusa Tenggara nggak masuk daftar saya. Sudah terlalu sering ke sana. Saya ikut yang di bagian timur saja. Papua, Maluku, dan Sulawesi. Nggak apa-apa, kan?"
Narenda mengedik. "Nggak masalah. Jadi menurut kamu kita bisa mulai dari Papua?"
"Boleh. Papua luas banget. Bagian mana yang mau kamu angkat?" Kessa sudah pernah ke sana beberapa kali untuk meliput saat masih menjadi reporter, juga mendampingi timnya suting program mereka saat sudah menjadi produser.
"Puncak Jaya, Lembah Baliem, dan tentu saja Raja Ampat. Kamu ada usul?" Narendra balik bertanya.
"Nggak ke Timika?"
"Untuk melihat kerusakan yang disebabkan oleh pengerukkan emas? Terima kasih, tapi nggak usah."
Kessa meringis. "Saya sudah pernah ke sana. Gambar shelteryang ada di sana memang nggak bisa disandingkan dengan atol-atol yang ada di Raja Ampat."
"Ya sudah, coret Timika." Narendra kembali membuat catatan. "Maluku bagaimana?"
"Kamu mau ke mana di Maluku?"
Narendra melepaskan pandangan dari iPad untuk menatap Kessa. "Saya terbuka untuk masukan di Maluku dan Sulawesi."
"Rena bilang Maluku Utara luar biasa," kata Kessa.
"Iya, dia memang bilang begitu. Mungkin karena pernah kecelakaan di sana, jadi tempatnya lebih memorable." Narendra tersenyum. Dia melepas iPad dan kembali ke Macbook. Setelah mengklik beberapa kali, dia membalikkan layar dan mendorong Macbook-nya ke depan Kessa. "Ada banyak banget pulau-pulau kecil di sana. Akan sulit memprediksi waktu perjalanan."
"Kita bisa membuat penyesuaian setelah di lapangan." Kessa merasa percakapannya dengan Narendra mirip obrolan dengan tim-nya saat mendiskusikan pekerjaan, tidak seperti bicara dengan orang yang baru ditemuinya beberapa menit lalu. "Seni melakukan perjalanan kayak gini memang soal membuat penyesuaian itu, kan? Kamu pasti tahu. Semua perencanaan matang yang sudah disusun, seringnya akan berubah di lapangan."
"Kamu benar." Narendra tersenyum. Renata tidak salah, Kessa bisa menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan. "Tapi tetap saja kita harus siap dengan rencana yang matang."
"Kalau begitu, biar saya pesan kopi dulu. Kita akan lama membicarakan ini." Kessa menahan Narendra yang hendak berdiri. "Saya bisa memesan kopi sendiri. Saya akan meminta bantuan kamu untuk sesuatu yang lebih berat daripada sekadar memesan kopi." Dia mengarahkan bola mata ke atas, menampilkan wajah konyol sebelum beranjak dari kursinya.
Narendra tertawa dan mengikuti Kessa dengan pandangan, sebelum kembali meraih cangkirnya. Kopinya sudah dingin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top