c h a p t e r 1 1

Mahendra mengguncang bahuku beberapa kali, membuatku sedikit membuka mata. "huh?" tanyaku dengan mata yang kembali terpejam. "Mas! Bangun dulu, ada Mbak Kayla di bawah, dia lagi ngobrol sama Ibu, Kak Anton." Ujar Mahendra dengan sedikit berbisik.

Mengerutkan kening dalam, aku berusaha untuk segera sadar. Terlebih mendengar dua nama yang di sebutkan oleh Mahendra membuatku semakin bingung. Mendongak melihat Mahendra, "Mas tidur berapa jam?" tanyaku memastikan sesuatu. "Sekitar satu jam kurang lebih," jawab Mahendra. Mengangguk. Turun dari tempat tidur, aku memilih untuk langsung keluar dari kamar Mahendra, dengan adikku mengikuti di belakang.

"Berarti, dari tadi Anton belum pulang?" tanyaku seraya menuruni tangga.

"Iya, entah apa yang dia lakuin di kamar Mas dari Mas masuk ke kamar gue."

Menghela napas. "Udah biasa." Menggaruk perut yang terasa gatal, "Ibu nyuruh kamu panggil Mas atau inisiatif kamu sendiri?"

"Inisiatif aja sih Mas, soalnya aneh aja lihat Kak Anton ikut nimbrung sama Ibu, Mbak Kayla." Mengerutkan dahi. Saat mulutku terbuka, Mahendra sudah terlebih dahulu memotong dan melanjutkan ucapan nya. "Aneh, menurut gue. Kak Anton kelihatan care banget sama Mbak Kayla."

"Wajar, mereka sahabatan."

"Sahabatan nggak ada yang meluk cewek sahabatnya sendiri, dengan alih-alih menenangkan."

"Sudah-sudah, dimana mereka?"

Mahendra berlari terlebih dahulu meninggalkanku. Sebelum mengikuti Mahendra, aku memilih untuk minum terlebih dahulu baru menyusul Mahendra yang menunggu di depan ruang baca, tempat dimana aku, Ibu, Mahendra, dan Ayah menghabiskan waktu untuk menonton film, atau sharing tentang hari-hari di tempat kerja dan sekolah.

Masuk ke dalam ruang baca, aku melihat Kayla menangis di dalam pelukan Ibu. Anton melirik kearah ku dengan kepala yang menggeleng seolah menjawab tidak tahu apa yang terjadi, padahal sudah jelas-jelas jika Mahendra mengatakan Anton sudah berada di dalam sini sejak Kayla datang.

Duduk di sofa yang biasanya di duduki oleh Ayah, aku menatap kedua perempuan yang tengah berpelukan itu dengan mata yang sedikit menyipit. Mahendra memilih berada di balik sofa yang ku tempati, dan menolak duduk di sebelah Anton.

"Ada apa?" tanyaku.

Ibu menoleh kearahku dengan melepaskan pelukan Kayla. Melihat tatapan Ibu, perasaanku berubah menjadi tidak enak. Kenapa? Apa yang salah? tanyaku dalam hati.

"Ibu mau tanya sama kamu,"

"Ya, silahkan."

"Tetapi jangan coba-coba berbohong."

"Tentu, untuk apa Mas berbohong pada Ibu sendiri, tidak ada yang membenarkan hal itu."

Terdiam sesaat, atmosfer di dalam ruangan ini berubah drastis, membuatku melirik Kayla yang masih setia menangis, entah menangisi apa. "Apa kamu berkelahi beberapa hari yang lalu?" tanya Ibu.

"Ya,"

Mahendra terdiam, aku bisa merasakan tangan Mahendra meremat bahuku. Tidak, ini pasti bukan soal Mahendra dan aku yang berkelahi dengan anak di sekolah ku, tetapi tentang aku yang berkelahi dengan Rafa di sekolah karena membela Kayla yang bahkan tidak menoleh ke arahku setelah aku bersedia mencoreng wajahku sendiri dengan berkelahi.

"Karena apa?"

"Karena Kayla di sentuh oleh lelaki lain." jawabku dingin.

"Benarkah begitu?" terdengar nada ragu di ucapan Ibu. "Kayla mengatakan pada Ibu jika itu terjadi karena kamu salah lihat, temanmu yang bernama Rafa tidak melakukan itu." mendengar penjelasan itu, pandangan ku merendah. tidak percaya dengan apa yang ku dengar. "Apa ini yang membuat kamu lesu?"

"Tentu, Ayah akan melakukan hal yang sama," menggaruk pipi menggunakan telunjuk. "Tidak, bahkan akan bertindak lebih jika wanitanya di sentuh oleh lelaki lain, walaupun hanya dari luar." Melirik Kayla yang mematung dengan tatapan lurus kearahku. menguap lebar, tanganku menggaruk punggung seraya beranjak dari tempat duduk.

"Kalian berdua lebih baik pulang, aku tidak akan mengantar kalian berdua," kataku seraya meninggalkan ruangan baca bersama dengan Mahendra yang masih setia mengekor. "Mahendra, nanti Mas tidur di kamarmu, dan sebaliknya." Ucapku dengan nada pelan. "Iya Mas, gue tau Mas butuh waktu."

"Nah, benar."

"Yasudah, Mas ke kamarmu dulu."

"Iya Mas."

Namun, belum sempat masuk ke dalam kamar, tangan ku sudah terlebih dahulu di tahan oleh seseorang, membuatku mendengus, menoleh ke belakang dan menemukan Kayla yang menatapku dengan mata yang sembab. Melirik sekilas, aku menyuruh Mahendra untuk pergi masuk ke dalam kamarnya, dan membawa Kayla ke kamarku.

Menutup pintu, dan menguncinya. Aku menyuruh Kayla untuk duduk di atas tempat tidurku, dengan aku yang duduk di salah satu kursi belajar yang ada di ruangan ku. menatapnya dengan tatapan biasa, membuat Kayla salah tingkah, jemarinya meremat ujung kaus yang di kenakan, kepalanya menunduk dalam, membuatku mengernyitkan dahi.

"Bukan nya aku suruh kamu pulang?" tanyaku.

Kepalanya reflek mendongak, kedua matanya membola sempurna saat menatapku. Membuat sebelah alisku bergerak naik. "Ka-kamu benci banget sama aku ya?" tanya Kayla.

"Menurut kamu?"

Hening.

Diantara kami tidak ada yang mengeluarkan ucapan sepatah katapun. Menghela napas panjang, beranjak dari kursi, mendekat pada Kayla yang masih setia duduk bibir bawah yang di gigit. Merebahkan tubuh di atas tempat tidur, aku memilih untuk mentengkurapkan tubuhku, di sebelah Kayla yang masih betah duduk tanpa suara.

"Seharusnya aku yang benci sama kamu," cicitnya pelan, namun masih mampu terdengar dengan indra pendengaranku. Menoleh ke samping, sebelah alisku terangkat. "Kamu kenapa dekat sama Vilza, dia itu cewek yang mau manfaatin kamu."

Seenggaknya dia nggak mau di pegang seperti spons mobil sama lelaki lain. batinku. Menatap Kayla lama, kemudian berkata, "Kamu tau darimana, ada bukti nggak, kalau nggak ada lebih baik kamu jaga ucapan kamu, Kay!"

Kayla mematung di tempatnya, kedua matanya terlihat memerah dan tangis nya pecah saat mendengar ucapanku. Aku tahu itu menyakitkan, setidaknya itu sebuah teguran keras dariku, karena tidak mungkin jika aku langsung menampar atau memukul Kayla hanya karena hal ini.

Mengalihkan wajah kearah lain, tangan kananku menepuk sisi kosong di sebelahku. Tanpa di suruh dua kali, Kayla merebahkan dirinya tepat di sebelahku, tanganku bergerak mengalungkan lenganku di atas leher Kayla, menariknya mendekat sampai tak ada jarak di antara kami.

"Maaf..." ujar Kayla penuh penyesalan.

"Kamu tau apa kesalahan kamu?"

"..... Tau,"

"Nggak, ternyata kamu nggak tau apa kesalahan kamu."

"Aku bilang aku tau!"

"Apa?" tanyaku dengan kepala yang menoleh, menatap tajam kedua manik Kayla. "Apa kesalahan loe, gue tanya?!" kali ini tidak ada nada lembut, hanya nada penuh bentakan karena lepas kendali saat menghadapi Kayla. "Kenapa diam?" menjauhkan tangan dari leher Kayla, aku memilih untuk tidur dengan tangan yang menjadi bantalan kepala. "Kalau loe masih bersikeras bilang nggak salah, mending pergi, pikirin dulu apa kesalahan loe, Kay."

Tidak ada jawaban. Hanya suara berisik yang di timbulkan dari pakaian Kayla yang bergesekan dengan seprai, namun tidak ada langkah kaki yang terdengar, hanya suara napas ku yang terdengar tidak beraturan.

"Aku tau, apa kesalahan aku."

Kedua mataku reflek terpejam mendengar suara Kayla. "Kamu marah 'kan karena Rafa nyentuh aku, walaupun dari luar?" tidak bergeming, aku berusaha untuk abai. Tangan kanan yang sebelumnya menjadi bantalan di tarik paksa oleh Kayla, membuatku mengerutkan dahi. Menoleh ke samping, aku menarik tangan kananku dengan cepat, menatap Kayla tajam.

"Maksud loe barusan apa Kay!" kataku dengan berteriak.

Pintu kamarku di ketuk dari luar dengan heboh, mengalihkan pandangan pada pintu. Aku mengehela napas panjang, menarik tangan Kayla dengan lembut, membuka pintu yang sebelumnya terkunci, aku memilih untuk langsung melewati Anton yang berdiri di depan pintu dengan tatapan berang.

"Gue antar loe pulang." Kataku.

Naik ke atas motor, aku melirik Kayla yang masih berdiri di temapatnya. "Tunggu apa lagi, ayo cepat naik." Ujarku sedikit memerintah. Memasukkan kunci, memutar, lalu menyalakan motor, Kayla sudah duduk tenang di belakang ku dengan tangan yang memeluk ku erat.

"Maaf..."

"Buat apa loe minta maaf kalau loe nggak tau dimana kesalahan loe?" menggeram kesal. "Loe minta maaf cuma buat formalitas? Nggak perlu gue, gue cuma mau loe sadar kalau loe yang loe lakukan itu salah."

"Tapi..."

"Kan! Loe masih ngelak terus. Kita emang perlu mikirin kesalahan masing-masing."

"Kamu juga harus ngaca! Ngapain kamu kasih minum ke Vilza!"

"Karena dia tolongin gue! karena dia bantu gue keluar dari masalah gue yang loe sama Rafa buat!" menghentikan motor di tepi jalan. Memutar tubuh sedikit ke belakang. "Loe tau nggak kalau gue nggak suka loe disentuh sama orang lain selain gue! gue cem-" mengalihkan pandangan kearah lain. "Gue nggak suka intinya." Menggeleng. "Terserah, gue antar loe pulang, dan soal yang di kamar tadi, gue nggak mau lo berpikir seperti itu, gue memang nggak suka, bukan berarti gue mau nyentuh."

******* 

Jangan lupa untuk vote, komen, dan share 
Kalau kalian suka dengan cerita ini, tambahkan ke perpustakaan kalian, terima kasih.

- 1009.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top