c h a p t e r 1 0
***
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Seluruh murid berhamburan keluar kelas, meninggalkan aku, Anton, Kayla, dan Tika yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kelasku. Sejak istirahat tadi, aku tidak menanyakan keadaan Kayla walaupun Anton sudah memberikan kode agar setidaknya aku menanyakan suasana hati Kayla.
Mengeluarkan ponsel, menekan salah satu kontak ponsel paling atas, tangan kananku mendorong kepala Anton agar menjauh saat aku menghubungi Ibuku. Menunggu beberapa saat, tangan kanan ku mengambil tas yang ada di meja lalu memakainya.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"...."
"Mas sedikit terlambat pulangnya soalnya ada guru yang minta di antarkan ke toko roti yang biasanya suka Ibu datangin itu,"
"....."
"Iya, nanti Mas langsung pulang." Berhenti sejenak, mataku melirik tajam pada Anton yang menunjukkan cengiran dan bergegas pergi seolah mengetahui apa yang akan ku katakan. "Iya, nanti Mahendra di antar sama Anton, Bu."
"...."
"Kayla?" karena menyebutkan nama itu, Tika dan Kayla langsung menoleh kearahku yang masih berdiri di balik meja. "Baik, tadi sih habis nangis." Berjalan keluar kelas, melewati meja yang di tempati Kayla dan Tika. Mengoper ponsel ke sebelah kanan, tangan kiriku mengusap lembut kepala Kayla, setelah itu pergi meninggalkan kedua orang itu di dalam kelas dengan terus berkomunikasi dengan Ibuku.
Setelah mendengarkan wejangan panjang dari Ibu selama perjalanan menuju ruang guru, panggilan tersebut baru selesai saat aku melihat Bu Fatma yang berhenti di depan ruangan. Bu Fatma itu seorang guru Bahasa Mandarin yang terbilang cukup muda di antara guru-guru yang lain nya. seingatku beliau mengajar di semester pertama saat aku duduk di kelas satu.
"Oh kamu," katanya.
"Iya Bu, mari Bu, saya antarkan."
Mengibaskan tangan di depan muka. Bu Fatma menggeleng dengan kekehan. "Saya nggak benar-benar serius dengan apa yang saya ucapkan di kelas Randu, kamu boleh pulang." Melongo, dahiku mengerut saat mendengar penjelasan Bu Fatma yang saat ini malah meninggalkan ku di depan ruangan guru.
"Bu, tapi kalau memang benar pun saya nggak masalah," kataku. berusaha menyamakan langkah kaki. Bu Fatma melirik ku sekilas. "Saya nggak mau kekasih kamu kerahin seluruh orang yang suka sama dia untuk isengin motor saya." Katanya.
"Memangnya Kayla pernah begitu ke Ibu?"
Menggeleng. "Tidak, atau mungkin belum." Kepalaku mengikuti pandangan Bu Fatma yang menatap lurus ke arah depan, disana ada Kayla yang mengepalkan tangan saat melihat kami berdua. "Lebih baik kamu," menunjuk Kayla, Bu Fatma tersenyum kecil. "... Kamu mending ikutin kekasih kamu yang ngambek tuh."
"Nanti juga baik lagi Bu,"
Kami berdua berjalan beriringan menuju parkiran motor, setelah itu berpisah karena Bu Fatma tetap gigih pada keputusan nya, membuatku memilih untuk mengalah, menyudahi argumen di antara kami berdua dan pergi menuju parkiran motor yang di sediakan untuk murid.
Saat ingin keluar dari sekolah, motorku terhenti saat melihat Bu Fatma duduk di depan pos satpam dengan helm Mds supermoto di kalungan tangan nya. menekan klakson sekali, aku melepas helm KBC VK 2016 milikku, aku mematikan mesin motor Royal Enfield Thunderbird 500x milik Ibuku, meletakkan helm di atas tangki.
"Belum pulang Bu?" tanyaku.
"Belum." Jawabnya singkat.
"Mau bareng?"
"Saya masih harus ke Margonda City setelah ini, dan sangat jelas rumah kamu bukan ke arah sana."
"Saya antar,"
"Nggak perlu."
"Ibu mau pesan taksi online pakai ponsel saya?"
"Nggak perlu."
Menghela napas pelan. Kepalaku mengangguk. "Yasudah, kalau begitu saya pulang dulu Bu." Saat hendak menggunakan helm, Bu Fatma sudah duduk di jok belakang motorku dengan helm yang terapasang. "Loh?"
"Cepat, saya terlambat nanti."
Mendengus geli. "Ya Bu."
Selama perjalana, tidak ada yang berbicara di antara kami. Aku hanya sibuk memandangi jalanan, sedangkan Bu Fatma, aku tak tahu apa yang di lakukan oleh guru ku itu di belakang. Membuka sedikit kaca helm, aku menanyakan sebuah pertanyaan, bertepatan dengan lampu yang menunjukkan warna merah.
"Motor Ibu kenapa?"
"Apa?"
"Motor Ibu kenapa?"
"Oh..." Bu Fatma tertawa kecil. "Si Trail maksud kamu ya?" ucapnya dengan nada bertanya, membuatku mengangguk. "Biasa, harus di bawa ke bengkel, saya lupa ganti oli nya, jadi ya saya suruh orang rumah ambil motornya."
"O..." melajukan motor setelah lampu berubah menjadi hijau. Kami sama-sama saling mendiamkan satu sama lain, namun tidak bertahan lama, karena Bu Fatma menanyakan sesuatu yang membuat perasaanku kembali campur aduk.
"Randu, saya dengar dari guru-guru di kantor, katanya kamu, Rafa, dan Kayla terjadi sesuatu, apa itu benar?" tanya nya dengan hati-hati.
"Ya Bu, benar."
"Apa yang di maksud dengan itu seperti hubungan suami dan istri?"
Mendengar pertanyaan itu membuatku tergelak. "Haha, memangnya apa yang di bicarakan oleh para guru di ruangan Bu?" menggeleng kecil. "Bukan yang seperti itu, saya hanya memberikan pukulan bertubi-tubi untuk Rafa, hanya itu."
"Ah begitu..., berarti masalahnya ada di Kayla dan Rafa?"
"Bisa di katakan begitu, tetapi saya juga tidak menyalahkan keduanya. Mungkin saya yang terlalu terbawa emosi saat melihat itu."
"Maaf sebelumnya jika membuat perasaan kamu memburuk Randu, saya hanya ingin memastikan jika yang mereka katakan salah."
"Nggak apa Bu, lebih baik seperti ini di tanyakan, agar tidak ada masalah ke depan nya."
"Kamu terlalu dewasa, Randu."
"Saya harus menjadi contoh, untuk adik saya."
Tanpa terasa, kami sudah sampai di tempat yang memang ingin di datangi oleh Bu Fatma. Menghentikan motor, aku tersenyum kecil saat melihat Bu Fatma melepaskan helm yang di kenakan nya. "Makasih," ucapnya terhenti sejenak. "Berapa?" tanya nya, membuat keningku mengerut, dalam.
"Maksud Ibu?"
"Kamu sudah antarkan saya kesini, saya harus membayar untuk itu."
"Nggak perlu Bu, kalau begitu saya pulang dulu, Ibu hati-hati, lebih baik pulang naik taksi online atau minta di jemput oleh orang rumah." Tersenyum tipis, menyalakan mesin motor. "Kalau begitu, saya duluan Bu," kataku. melajukan motor tangan ku bergerak menurunkan kaca helm dan pergi meninggalkan Bu Fatma dengan dua klakson.
***
"Heh!" teriak Anton dengan melemparkan kulit kacang kearah ku.
"Apa?" tanya ku.
"Loe ada masalah apa sama Mbak pacar?"
Melirik sekilas dari tablet yang tengah ku mainkan, kepalaku menggeleng. "Nggak ada." Anton berdecih mendengar jawabanku. Mendorong kursi belajar ke arahku, Anton menyentil keningku sampai membuatku meringis kesakitan. "Sialan! Sakit bego!"
Anton mencibir dengan bibir yang mengikuti ucapanku. "Serius gue, loe ada masalah apaan sama si Mbak pacar, tumben banget diem-dieman, bahkan tadi loe malah terang-terangan duduk sebelahan sama Vilza."
"Udah?" tanyaku.
"Belum lah, gue belum dapat jawaban dari loe."
"Gue cuma capek, mau cari waktu sendiri aja."
"Terus loe mau putus sama Mbak pacar?"
"Gue nggak pernah bilang begitu."
"Katanya loe butuh waktu sendiri."
"Maksud gue, loe pergi dari kamar gue."
"Dih, sensi banget loe!"
Menghela napas panjang saat kening berdenyut, aku menatap Anton dengan tatapan biasa, berusaha memohon melalui tatapan agar sahabatku itu segera pergi dan meninggalkanku seorang diri di dalam kamar. Namun, bukan nya pergi, Anton malah memilih tidur di atas tempat tidurku dengan senyum meledek.
Menyerah. Aku memilih keluar dari kamar dan pergi menuju kamar Mahendra yang berada di lantai dua, namun berada sedikit jauh dari kamarku. Mengetuk pintu kamar, aku bergegas masuk dan mengunci pintu kamar Mahendra agar Anton tidak masuk ke dalam tempat ini.
Menoleh, Mahendra menaikan sebelah alisnya. "Ada apa Mas?" tanya Mahendra dengan menutup buku pelajaran nya saat melihatku mendekat ke arahnya. "Nggak ada, Mas mau numpang istirahat sebentar," kataku dengan beringsut di atas tempat tidur Mahendra. "Memangnya di kamar Mas ada siapa? Mbak Kayla?" tanyanya lagi. "Nggak, tapi ada Anton, Mas capek banget, jadi diam dulu."
"Oke, tapi gue sambil dengerin lagu ya selama ngerjain tugas seni budaya,"
"Iya, terserah."
******
Halo, jangan lupa tinggalkan
vote, komen, dan share
Kalau kalian suka dengan cerita ini jangan lupa untu tambahkan ke perpustakaan kalian.
terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top