C h a p t e r 0 7

Setelah memberikan pembelaan, aku memilih diam dan menunggu Rafa berkata jujur. Namun, rasanya seperti sulit jika harus menunggu orang yang mengaku lelaki ini untuk berbicara jujur, wajahnya tidak memperlihatkan raut wajah bersalah, malah sebaliknya, terlihat tenang dan terus mengelak, membuat Pak Rusdi dan Ayahnya Rafa menoleh sekilas ke arahku. Aku paham tatapan itu, itu tatapan curiga yang kini di layangkan padaku.

Menghela napas panjang, saat Ayahnya Rafa ingin mencerca ku dengan berbagai pertanyaan dan pembelaan untuk anak tersayangnya, seorang siswi masuk ke ruang BK bersama dengan seorang guru yang mendampingi. Menoleh sekilas, lalu menoleh ke depan, tubuhku membeku, aku tidak mungkin salah lihat. Batinku.

"Ya, Bu Anita, ada apa datang keruangan saya dengan Vilza?" tanya Pak Rusdi.

Menoleh ke samping kiri, aku melihat jelas jika itu adalah Vilza, seorang perempuan yang selalu menjadi ancaman Kayla. Mengerutkan dahi, tangan kanan ku bergerak naik menyentuh pelipis bersamaan dengan helaan napas yang terdengar berat sampai membuat Rafa menoleh ke arahku.

"Apa yang mau dia lakukan sebetulnya," bisikku.

"Begini Pak, Vilza ingin menyampaikan sesuatu." Dahiku semakin mengerut, punggungku menegap, menoleh ke pintu masuk, aku melihat dengan jelas, Vilza mencuri curi pandangan ke arahku. "Jangan bilang..." ucapanku terhenti saat mendengar ucapan Vilza.

"Sa-saya, saya ingin memberikan kesaksian jika mungkin kesaksian ini di butuhkan Pak." Vilza menarik napas panjang sebelum menyampaikan kunci permasalahan antara aku dan Rafa. "Kesaksian tentang Rafa memang menyentuh bokong Kayla Pak, dan sedikit.. eum.. itu..."

"Seperti menyentuh spons saat mencuci body mobil?" tanya Pak Rusdi saat melihat raut wajah merah yang terlihat kontras dengan kulit putih langsat Vilza. "Kamu sedang tidak membuat keterangan palsu karena kamu memiliki dendam pada Rafa atau Kayla 'kan Vilza?" tanya Pak Rusdi memastikan.

Mengangguk. "Saya hanya memberikan kesaksian yang benar tanpa melebih-lebihkan atau sebaliknya Pak." Vilza menunduk saat Rafa bangkit dari kursinya mendekati Vilza yang berdiri sedikit jauh dari guru yang mengantarkan.

"Nggak usah fitnah lo, sialan!" bentak Rafa.

Tangan nya terangkat tinggi, membuatku beranjak dari tempat duduk dan langsung menahan tangan itu agar tidak menampar Vilza. "Jangan main tangan sama perempuan." Kataku dengan aura mengintimidasi Rafa, membuat Rafa menarik tangan nya kasar dan membuang muka ke arah lain.

"Terima kasih," kataku.

Vilza hanya mengangguk dengan bahu nya yang bergetar. Ibu dari Rafa sudah menangis tersedu-sedu di sebelah Kayla dan meminta maaf jika anaknya sudah lancang menyentuh Kayla. Sebelum meninggalkan ruangan, aku sempat melihat Vilza melirik sekilas ke arahku dengan senyum tipis yang seolah memberikan ku semangat karena aku tidak bersalah.

Memutar mata malas, aku kembali duduk dengan tenang seolah tak ada yang terjadi tadi. lagipula gue memang tidak bersalah, tidak perlu di semangati seperti itu juga gue memang akan tetap semangat, hah...! semangat buat Rafa babak belur lebih tepatnya. Batinku. Membuatku tanpa sadar menyeringai tipis.

Setelah kepergian Vilza dan guru tadi, ruangan ini kembali tenang, tidak, lebih tepatnya semua orang berpikir, terlebih Ayah dari Rafa.

"Maaf..." ujar Ayah Rafa dengan lirih.

Menoleh ke arah beliau, sudut bibirku tertarik mengulas senyum tulus. "Tak masalah, setidaknya ajarkan anak anda dengan baik setelah ini agar tidak melakukan hal buruk pada orang lain seperti hari ini, dan lagi..." melirik Kayla. "... anda seharusnya meminta maaf pada siswi itu, bukan saya." Mengambil tas yang tergeletak di atas lantai kemudian menyampirkan di bahu, aku memilih untuk pergi meninggalkan semua orang yang ada di dalam ruangan ini, sekaligus pergi dari sekolah, hitung-hitung, aku menjadi nakal sesekali.

Setelah keluar dari sekolah, kepalaku reflek mendongak, menatap langit yang sebelumnya terang kini menjadi mendung, langit sepertinya tengah bersedih karena fans beratnya ini sehabis mendapatkan musibah. Menendang krikil, hari ini rasanya terlalu berat untuk ku jalani, aku tidak tau apa yang akan terjadi setelah ini, aku hanya ingin pulang lalu memeluk Ibu. Hanya itu.

"Yah... apapun yang terjadi hari ini, tidak akan terjadi di hari esok dan seterusnya." Kataku.

Melangkahkan kaki menuju halte bus, aku memilih untuk pulang, tempat satu-satu nya yang bisa menerima diriku apa adanya, sebuah rumah yang membuatku merasa terlahir kembali di setiap pagi karena bertemu dengan keluarga yang menyayangiku. Saat melewati depan sebuah gang butu, aku mendengar suara keributan dan mendengar suara Adikku yang tengah berteriak memaki seseorang.

Menghentikan kedua kaki. Menoleh ke samping, aku mendapati Mahendra tengah di kepung oleh tiga orang yang aku kenal, siswa yang bersekolah di tempat yang sama denganku, salah satunya adalah orang yang tadi terkena lemparan sepatu milikku.

Kedua mataku membola saat melihat seorang siswa membawa balok kayu yang cukup besar dan berdiri tepat di belakang adikku. Berlari sekencang mungkin, tangan kanan ku melepaskan tali tas yang terpasang lalu melemparkan tas itu pada kepala siswa tersebut, kaki kanan ku bergerak cepat menendang mundur siswa itu sampai terjatuh.

Berdiri di balik punggung Mahendra, aku menatap siswa yang menatapku dengan senyum mengejek. "Whoooaaa! Siapa ini, preman sekolah kita?" tanya nya memprovokasi.

Mahendra menanyakan apa maksud siswa itu, namun tak ku jawab karena rencanaku hanya satu untuk saat ini, pergi menjauh secepatnya dan mengintrogasi Mahendra, mengapa adikku itu ada di sekitar sekolahku, padahal sekolahku dan sekolahnya memiliki jarak yang cukup jauh, di tambah lagi, seingatku, Mahendra ada ulangan Bahasa Inggris hari ini.

Melihat kesekitar, aku melayangkan pertanyaan bersamaan dengan pukulan yang mengenai wajah siswa yang kepalanya terkena sepatu milikku tadi pagi. "Mas harus datang ke sekolah, gue lupa kalau ada pertemuan orang tua nanti jam sebelas." Jawab Mahendra dengan melayangkan pukulan keras pada rahang siswa yang sebelumnya membawa balok kayu.

"Bunda udah dihubungi?" tanya ku dengan menyikut lalu memukul siswa yang berada di hadapanku.

"Nggak bisa datang, Ayah juga sama, katanya Nenek darah tingginya kumat, jadi Bunda harus antar ke Rumah Sakit, Ayah ada rapat sama Paman Nugroho."

Menghembuskan napas panjang, menurunkan tangan setelah ketiga siswa itu tidak bergerak lagi. Melangkahkan kaki melewai salah satu siswa, mengambil tas milikku dan Mahendra, aku memberikan tas itu pada adikku.

"Yasudah, ayo pulang."

Setelah mengatakan itu, aku mengajak Mahendra untuk segera pulang, agar aku bisa segera bersiap karena jarak dari rumah kami dan sekolah Mahendra cukup jauh, di tambah lagi, kami berdua saat ini pulang menaiki bus, akan semakin panjang perjalanan yang akan kami tempuh.

Menaiki bus, kami berdua duduk bersebelahan dengan Mahendra yang menempati kursi dekat jendela. Memeluk tas di atas pangkuan, aku memejamkan kedua mataku yang terasa berat, namun belum sempat tertidur, lengan kanan ku sudah terlebih dahulu di coleh oleh orang yang berada di sebelah ku.

"Ah... sebentar Pak," kataku.

Mengeluarkan kartu bus, lalu memberikan pada petugas, aku kembali memejamkan mata setelah menyelesaikan pembayaran. Setengah jam perjalanan kami di selimuti oleh keheningan. Aku yang memilih untuk tidur, dan Mahendra yang sibuk dengan ponselnya sampai sebuah pertanyaan mengusik tidurku.

"Mas," panggil Mahendra. "Tadi itu, kenapa lo bisa ada di luar sekolah? dan... preman itu, maksudnya apa?" tanya Mahendra.

Memiringkan tubuh sedikit ke kanan, aku kembali memejamkan mata. "Bukan apa-apa, nggak usah di dengarkan."

Kami kembali diam dengan pemikiran masing-masing. "Mbak Kayla kirim pesan, dia tanya sekarang lo dimana." Membuka mata, aku menatap ujung sepatuku dalam diam. "Nggak perlu di jawab, kalau mau jawab, bilang, lo nggak sama gue."

"Apa semua ini ada hubungan nya sama Mbak Kayla?" tanya Mahendra berusaha menggali.

Bus terhenti, membuatku beranjak dari tempat duduk dan keluar dari bus, meninggalkan Mahendra yang berlari mengejarku. Aku malas menjawab, ingin tenang bukan di wawancarai saat perasaanku buruk. Dan lagi, untuk apa Kayla menanyakan keberadaanku? Bukan nya dia membela Rafa sejak tadi? batinku kesal.

Membuka pintu rumah menggunakan kunci yang tersimpan di dalam dompet, aku masuk ke dalam rumah dan mendengar Mahendra berteriak agar aku tak menutup pintunya, setelahnya, anak itu meminta maaf karena merasa bersalah dan terlalu banyak ikut campur dalam masalahku.

Menepuk kepala Mahendra dua kali, aku langsung pergi menuju kamar untuk mengganti pakaian. Setelah selesai berganti, aku memilih untuk keluar dari kamar dan menghampiri Mahendra yang berdecak kesal dan mengumpat di dalam dapur.

"Ada apa?" tanyaku.

"Si Lena! Bersik banget dia tuh! Tanya mulu kapan gue mau jadi pacarnya, boro-boro jadi pacar, ketemu aja gue risih!"

"Risih kenapa?" tanyaku lagi dengan tangan yang memegang gelas berisi air dingin.

"Ya risih! Dia tuh kalau ketemu gue langsung..." Mahendra mengacak rambut frustasi, wajahnya menunjukkan raut tidak suka yang sangat terlihat. "...AAAAAKKKKHHH!!!!" teriaknya kesal karena tidak bisa menjelaskan apa yang ingin di sampaikan.

Tersenyum tipis, mengulurkan tangan, aku meminta ponsel milik Mahendra dan bertanya lagi apa dia benar-benar tak menyukai Lena seperti yang di katakan sebelumnya, setelah mendapatkan jawaban tegas dari Mahendra tangan ku mengetik sesuatu di ponselnya, setelah itu mengembalikan ponselnya setelah mengirim pesan tersebut.

"Ayo berangkat, lo beneran pakai baju bebas?"

"Iya, nanti baliknya kita makan diluar yuk Mas! Gue bosan makan di rumah terus."

"Mhm..." saat ingin mengambil kunci motor, tangan Mahendra sudah terlebih dahulu memberikanku kunci yang sangat ku kenal. Kunci mobil milikku yang di berikan oleh Paman Nugroho. "Lo ini... cari kesempatan terus biar eksis!"

"Bukan begitu Mas, gue lebih suka lo kemana mana naik mobil dibandingkan naik kendaraan umum atau motor."

"Memangnya kenapa?"

"Nggak ada alasan khusus."

"Jangan terlalu terlena dengan kekayaan, semua bisa berubah secepat membalikkan telapak tangan, kalau lo terlalu terlena dengan semua fasilitas yang di sediakan, gue takut lo malah lupa untuk hidup sederhana."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top