Takut Kehilangan


Malam menjelang, beberapa stand sudah berkemas. Penutupan sudah berlangsung sejak senja tadi. Fia, Niken, Kiara juga beberapa panitia duduk melepas penat. Mereka semua sudah berganti baju termasuk Kiara. Perempuan itu terlihat fresh dengan celana denim dan t-shirt berwarna abu-abu.

"Kamu nggak pulang, Ra?" tanya Fia sembari mengunyah sosis bakar kesukaannya.

Kiara menarik bibirnya datar. "Nanti aja. Gampang!"

"Aku antar, Ra!" tawar Rendra yang berdiri tak jauh dari tempat mereka bertiga duduk.

Mendengar tawaran itu, Niken dan Fia saling pandang.

"Ra, Rendra mau antar kamu pulang tuh!" Niken menatap Kiara.

"Sudah malam, Ra. Lagian rumah kamu kan yang cukup jauh dibanding rumah aku juga Fia," tutur Niken lagi.

"Apartemen aku dekat kok!" timpalnya seraya meraih air mineral di meja.

"Ra."

"Ya, Fi?"

"Suami kamu nggak telepon?"

Lengan Fia di senggol Niken. "Kenapa, Ken? Aku cuma tanya. Itu laki kenapa nggak kepikiran istrinya ya?"

"Fia!" sentaknya menatap rikuh kepada Kiara.

"Udah! Kenapa kalian yang mikir sih? Aku aja biasa kok!" Kiara tertawa kecil kemudian bangkit.

"Ren, kamu beneran nggak apa-apa nganterin aku pulang?" tanya Kiara memalingkan wajahnya kepada Rendra yang masih terlihat mengamati laptopnya.

"Kalau aku kenapa-kenapa, aku nggak mungkin nawarin kamu, Ra!" Pria itu menutup laptopnya. "Pulang sekarang?" tanyanya.

Kiara melebarkan bibirnya kemudian mengangguk.

"Fia, Niken, aku pulang duluan ya," pamitnya seraya melambaikan tangan.

"Oke, hati-hati, Ra!" sahut Niken dan Fia bersamaan dengan mata menatap punggung kedua rekan mereka hingga menghilang.

Sepeninggal Kiara dan Rendra, sejenak mereka saling diam.

"Ken!" Fia membuka pembicaraan.

"Hmm?"

"Kiara ...."

"Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri sampai dia bicara ke kita!" potong Niken seolah tahu apa yang akan dibicarakan rekannya. "Itu yang pernah dia katakan ke kita, kan? Kamu lupa?"

"Tapi, Ken! Nih ya, walaupun aku kadang kehilangan kontrol seperti yang kamu pernah bilang, tapi aku nggak akan berani pulang bareng laki-laki lain, Ken!"

Niken menarik napas dalam-dalam kemudian membalas tatapan Fia.

"Kamu tahu siapa Kiara, kan? Seenggaknya seperti apa dia setelah kepergian Satria?"

Perempuan berkaus merah itu mengangguk pelan. Kiara memang seperti ingin mengubah imagenya menjadi perempuan yang kuat dan keras kepala. Hal tersebut berbeda jauh saat masih bersama Satria.

Kiara Paramitha adalah sosok lembut, tidak berani melakukan hal yang sekiranya bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat, serta semuanya selalu memikirkan perasaan orang lain, meski yang  terakhir ini masih melekat di dirinya.

"Aku kasihan sama dia, Ken," tutur Fia lirih.

"Kamu pikir aku nggak?" balasnya.

"Lalu, apa yang harus kita ...."

"Halo, Kiara masih di sini, kan?" Suara bariton Arga tiba-tiba terdengar.

Bersamaan Fia dan Niken menoleh ke sumber suara. Seorang pria dengan bibir melebar dan mata memindai dua perempuan di depannya yang terlihat terkejut.

"Kiara masih di sini, kan?" tanyanya mengulang.

"Saya telepon sepertinya teleponnya mati karena sama sekali nggak terdengar nada apa pun," terangnya.

"Maaf, tapi Kiara sudah pulang," balas Fia.

"Pulang?"

"Iya."

Terdengar helaan napas dari Arga. Pria itu kemudian memijit pelipisnya.

"Oke, thank you infonya."

Niken dan Fia mengangguk bersama.

"Eum ... dia nggak bilang pulang ke mana?"

Lagi-lagi kedua rekan Kiara bersama-sama menjawab, kali ini dengan menggeleng. Arga sedikit mengangkat bibirnya kemudian kembali mengucapkan terima kasih lalu melangkah menjauh.

"Ken! Buruan kamu hubungi Kiara! Bilang kalau suaminya lagi nyari dia!" titah Fia panik.

"Fia! Kamu nggak dengar tadi Arga bilang apa? Kiara nggak bisa dihubungi, kan?" balas Niken dengan kening berkerut.

Mendengkus Fia berkata, "Iya juga ya."

Keduanya terdiam. Jelas tergambar kekhawatiran di paras keduanya. Namun, tak lama kemudian baik Niken maupun Fia saling menatap Kemudian berkata, "Rendra!"

**

Sementara Kiara masih ingin berputar-putar menikmati suasana malam di kota dibonceng Rendra.

"Maaf, Ra! Kalau saja tadi aku tahu kamu bakal pulang bareng aku, aku bawa mobil," sesalnya.

Kiara yang berada di belakang Rendra tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Nggak perlu minta maaf. Justru aku yang harus minta maaf karena merepotkanmu, Ren!"

Rendra menggeleng. "Kamu nggak merepotkan sama sekali, Ra!"

Motor berjalan pelan menelusuri jalan kota yang ramai. Lampu jalan dan geliat para muda-mudi yang memenuhi kafe maupun warung tenda membuat kota itu semakin hidup.

"Kamu mau kita nongkrong di sana?" tawar Rendra menunjuk ke ujung jalan.

"Itu kafe baru dibuka beberapa hari lalu. Dia punya es krim sehat dari sayuran! Aku rasa itu menarik kalau kita bidik untuk dipacking. Karena mereka hanya melayani makan di tempat, Ra!"

"Wow! Itu menarik, Ren! Ayo, iya coba ke sana!" sambutnya antusias.

Mereka berdua masuk setelah Rendra memarkir motornya. Kafe yang tidak begitu besar, tetapi sangat menarik dengan konsep vintage dan tampilan yang instagramable. Sejenak Kiara terlihat mengamati setiap sudut tempat itu.

"Kita duduk di sana, Ra!" Rendra menunjuk dengan dagu ke arah meja yang tepat berada di sudut kafe.

Kiara mengangguk mengikuti langkah pria di depannya.

"Kamu suka tempatnya?" tanya Rendra setelah mereka duduk.

"Suka banget!"

"Kamu akan lebih suka setelah mencicipi es krim yang aku rekomendasikan!"

Alis Kiara bertaut.

"Kamu tahu aja tempat yang keren dan punya hidangan unggulan!"

Sedikit mengedikkan bahu, Rendra berkata, "Aku sengaja jalan kadang kalau nganggur sepulang kerja, Ra. Ya itung-itung cari klien juga. Kali aja ada yang berminat mengiklankan produknya ke aku."

Kiara tertawa kecil. Dia tahu pria di depannya itu sedang berbasa-basi. Sebab perusahaan iklan milik Rendra sudah tidak diragukan lagi sepak terjangnya. Bahkan tanpa dia berkoar-koar mempromosikan produknya, banyak perusahaan yang langsung meminta bantuan jasa untuk mengiklankan produk mereka.

"Becandamu garing, Ren!"

"Kok garing?"

"Siapa yang nggak kenal dengan perusahaan periklanan Hitam Putih?"

Rendra nyengir seraya mengusap tengkuknya. Tak lama muncul pramusaji mendekat membawa dia gelas es krim sawi yang dipesan Rendra.

"Es krim sawi?"

Rendra mengangguk. "Cobain! Kamu pasti suka!"

Seperti teringat sesuatu, pria itu merogoh kantong celananya mengambil ponsel. Matanya menyipit melihat banyak panggilan tak terjawab.

"Fia, Niken?" gumamnya.

"Kenapa, Ren? Fia sama Niken kenapa?" tanya Kiara menghentikan suapan es krimnya.

Tak menjawab Rendra membuka aplikasi pesan berwarna hijau membaca deretan pesan kedua rekannya. Kiara masih menunggu jawaban Rendra saat pria itu akhirnya meletakkan ponsel di meja.

"Ada apa, Ren?" tanyanya lagi.

"Suamimu."

"Suamiku? Mas Arga? Kenapa?"

"Dia cariin kamu di sana."

Kiara tersenyum tipis.

"Ayo, Ra. Aku antar kamu pulang sekarang!" Rendra bangkit.

Kiara mengerutkan kening melihat Rendra yang tampak khawatir.

"Kamu kenapa, Ren? Aku belum selesai ngabisin es krimnya loh!"

Rendra menggeleng.

"Kamu bisa ke sini lagi, kan? Atau aku bisa borong semua es krimnya untuk kamu. Tapi nggak sekarang."

Menarik napas dalam-dalam dia mengangguk kemudian beringsut dari duduk.

"Thanks, Ren. Kamu udah bikin aku happy. Tapi aku pulang sendiri aja. Aku pesan taksi online aja."

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa."

"Kamu takut suamimu marah?"

Perempuan semampai itu menggeleng.

"Bukan itu." Kiara menarik napas dalam-dalam. "Aku cuma nggak mau ditanya macam-macam."

Rendra mengangguk paham.

"Oke. Aku tungguin kamu sampai taksi yang kamu pesan datang."

**

Arga menghela napas ketika melihat sang istri turun dari mobil. Segera dia melangkah membuka pagar.

"Aku mencarimu," tuturnya saat Kiara di depan pagar. "Ayo masuk!" titahnya seraya meraih pergelangan tangan Kiara.

Sejenak dia terdiam menatap Arga. Jelas pria di depannya itu menampakkan wajah cemas.

"Terima kasih sudah mencariku. Aku sudah di rumah. Mas nggak perlu pegang aku seperti aku hendak kabur," balas Kiara mencoba menarik tangannya.

Arga menarik bibirnya singkat kemudian melepaskan genggamannya.

"Oke. Maaf, Ra."

Mereka berdua masuk rumah.

"Kamu dari mana?"

"Jalan, makan es krim. Itu aja," jelasnya seraya duduk di sofa.

"Ponsel kamu ...."

"Aku lupa nggak nge-charge. Maaf ya, Mas."

Arga mengangguk kemudian duduk di samping sang istri.

"Ra, kamu udah makan malam?"

"Belum. Kenapa?"

"Kita masak bareng yuk!" ajaknya.

Mendengar ucapan Arga, Kiara menyipitkan matanya tak percaya.

"Masak bareng?" Kiara mengulang pertanyaannya.

Arga mengangguk.

"Masak apa?" tanyanya lagi. Dia tak pernah melihat pria itu menyentuh bahan makanan apa pun di dapur selain memanggang roti.

"Mie instan!" jawabnya dengan mimik wajah jenaka. "Aku lapar sejak tadi karena bingung cari kamu."

Kiara tak sanggup menyembunyikan tawa.

"Ngeledek? Kamu nggak tahu rasanya keringet dingin bingung mau cari kamu ke mana, Ra!" keluhnya sambil mengusap tengkuk.

Kiara terdiam. Dia tahu kenapa pria itu mencarinya. Tentu bukan karena takut kehilangan, tetapi takut jika Kiara tak kembali ke rumah itu dan tentu akan berdampak buruk pada dirinya sendiri.

"Oke, maafin aku. Eum ... baik. Kita makan mie instan malam ini. Ayo!"

Tak ingin kembali diliputi kesedihan, Kiara bangkit menuju dapur.

**
**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top