Sidang

"Kamu keterlaluan, Astrid!" Arga menarik tangan Astrid mengajaknya keluar dari restoran itu.

Awalnya dia menolak, tetapi karena Arga memutuskan untuk pergi akhirnya Astrid mengikuti langkah pria itu sambil berlari diiringi tatapan mata setiap orang yang ada di restoran itu.

"Apanya yang keterlaluan? Aku bicara apa adanya, Arga! Kamu pikir aku nggak tahu meski kamu di sini, tapi pikiranmu ada sama perempuan itu! Iya, kan?" bantahnya sengit saat mereka sudah berada di tempat parkir.

Arga tak menjawab, dia membuka pintu mobil untuk Astrid dan mengisyaratkan agar perempuan itu masuk.

"Kamu terus bela dia, tanpa memikirkan perasaan aku! Apa itu adil buatku?" sambungnya lagi setelah mereka berdua berada di mobil.

Arga menarik napas dalam-dalam. Mungkin bener ini memang tidak adil buat Astrid, tetapi kalau saja Astrid bisa mengikuti seperti yang direncanakan tentu semuanya tidak serumit ini.

Lalu bagaimana nanti? Apa yang akan dikatakannya di depan kedua orang tuanya dan juga keluarga Kiara? Aargh! Sial! Ini semua gara-gara Astrid!

Akan tetapi, benarkah gara-gara Astrid? Bukankah dia yang paling punya andil sehingga masalah ini menjadi sedemikian rumit?

Terdengar Astrid terisak.

"Kamu yang keterlaluan, Arga! Kamu yang nggak memikirkan perasaanku!" sentaknya.

"Astrid, dengar! Mungkin benar aku keterlaluan, tapi bukankah kamu juga setuju kita seperti ini? Kamu setuju setidaknya dalam tiga bulan kita break hingga saatnya tiba?"

Astrid menggeleng. Perempuan itu menatap Arga.

"Setiap orang bisa berubah, Arga! Setiap orang bisa berubah karena keadaan. Dan aku berubah pikiran itu karena aku merasa di kepalamu hanya ada perempuan itu!" Perempuan itu menatap tajam dengan air mata yang terus mengalir.

"Kamu nggak tahu, kan rasanya merasa diabaikan? Sakit, Ga! Sakit!" cecarnya.

"Kamu pikir aku nggak capek berpura-pura?" sambungnya lagi masih dengan tangis.

Arga mengusap wajahnya kemudian berkata, "Tapi nggak gini caranya, Astrid! Kamu tahu yang berdiri di samping papaku tadi siapa?"

Astrid tak menyahut.

"Dia mertuaku! Puas kamu?"

Seringai terbit di bibir perempuan itu.

"Sangat puas! Bagus malah, kan? Kenapa? Kamu takut?" ujarnya sinis seraya mengusap air mata.

"Kamu takut menerima amarah mereka atau takut kehilangannya? Kehilangan Kiara?"

Arga bergeming.

"Kenapa diam, Ga? Kenapa kamu diam? Atau jangan-jangan memang benar apa yang kukatakan tadi? Kamu takut kehilangan istrimu? Iya? Betul begitu, kan?" Kembali Arga dicecar pertanyaan.

"Iya! Aku memang takut kehilangannya! Kenapa, Astrid?"

Mata Astrid membulat. Wajahnya menegang mendengar penuturan kekasihnya. Seketika dia memukul dada Arga dan menumpahkan amarah padanya

"Kamu jahat! Laki-laki macam apa kamu, Ga?"

Arga mengembuskan napas kasar.

"Aku nggak bisa terima! Aku nggak terima!" pekik Astrid histeris. "Kamu pikir aku akan diam saja setelah kamu perlakukan aku seperti ini, Ga? Andai saja waktu itu kamu tegas! Andai saja waktu itu aku nggak nurutin apa yang kamu rencanakan. Pasti semua nggak seperti ini!" Astrid semakin histeris.

"Jawab aku, Arga! Apa kamu mencintainya? Apa kamu akan memilih dia dan membuang aku seperti sampah? Jawab, Ga! Jawab!"

"Astrid! Kamu bisa diam nggak?" Suara Arga meninggi. Rahangnya terlihat mengeras dengan tatapan mata menajam.

Astrid terisak. Dia sama sekali tidak menyangka jika jawaban Arga justru membuatnya kecewa. Bagaimana mungkin Arga dengan mudahnya mengatakan takut kehilangan Kiara sementara dia yang sudah lama membersamai justru tak dianggap sama sekali.

Jika Arga mengakui takut kehilangan Kiara itu artinya dia sama sekali tidak keberatan jika Astrid mundur? Berbagai spekulasi berputar di kepala Astrid. Tangisnya tak sekeras tadi, tetapi tatapan perempuan berkulit sawo matang itu tergambar amarah yang meradang.

"Oke! Aku tahu sekarang, Ga! Kamu jatuh cinta sama dia, kan? Kamu bermaksud meninggalkan aku, kan? Laki-laki macam apa kamu, Arga! Pengecut!" Kembali Astrid histeris. Tangannya hendak menampar wajah Arga, tetapi pria itu cepat menangkapnya.

"Cukup, Astrid! Aku mohon kamu berhenti berbicara! Jangan bikin aku bertambah kesal!"

"Nggak, Ga! Aku akan terus mengatakan hal yang sama seperti yang pernah aku bilang! Sampai kita bisa kembali seperti dulu lagi!"

Arga menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Ucapan Astrid yang mengharapkan mereka kembali seperti dulu membuat dia menggeleng pelan. Benar kata Astrid. Semua orang bisa berubah, termasuk dia.

"Aku antar kamu balik ke kantor!"

Perempuan yang air matanya masih menetes itu bergeming. Dengan suara bergetar dia berkata, "Kamu nggak sungguh-sungguh dengan ucapanmu, kan, Ga? Kamu nggak merasa takut kehilangan dia, kan, Ga?"

Arga tak menyahut, dia lalu menyodorkan kotak tisu yang berada di depannya kepada Astrid.

'Aku bersungguh-sungguh soal itu, Astrid. Aku sangat takut jika Kiara pergi dariku,' batinnya bermonolog.

"Maaf," tuturnya lirih hampir tak terdengar.

**

Arga mengabaikan ponselnya yang terus berdering. Pikirannya benar-benar kacau. Meski begitu dia berusaha untuk menyusun kata-kata agar bisa meyakinkan orang tuanya nanti.

Saat lampu merah, ponselnya berhenti berdering. Dia meraih benda itu lalu menghubungi Kiara. Namun, dia harus kecewa karena perempuan itu tak mengangkat teleponnya.

Frustrasi dia melempar begitu saja telepon genggamnya ke dashboard. Tepat saat lampu hijau menyala, benda itu kembali berbunyi. Melihat identitas pemanggil  wajahnya terlihat cerah.

"Kiara, kita harus ketemu! Aku tunggu kamu di rumah ya. Aku nanti pulang lebih awal. Please! Kita harus bicara?"

"Mas, aku di rumahmu. Mama tadi telepon aku untuk segera datang. Mas pulang ke rumah Papa ya."

Arga mengembuskan napas kasar. Kiara sudah tahu apa yang terjadi, dan tentu saja di sana pasti ada juga mertuanya. Oh Tuhan! Andai saja waktu bisa diputar!

"Mas? Aku tunggu di rumah Papa."

Kiara mengakhiri obrolan mereka. Arga kembali menarik napas dan mengembuskan kasar. Dia mendadak seperti berada di ujung tanduk.

Tetap bertahan dengan berbagai alasan tentu tidak mudah, dan jika dia menyerah tentu tidak mungkin karena hatinya sudah berada dalam genggaman Kiara. Dia jatuh cinta! Tapi tunggu! Apa Kiara juga mencintainya?

Arga mendengkus menyadari pikiran liar di otaknya. Tentu saja Kiara juga punya perasaan sama. Kalau tidak, mana mungkin malam itu dia membiarkan semuanya terjadi. Aargh! Arga memukul kemudi dengan rahang mengetat.

**

Kiara duduk di antara Atma dan Dira. Dari wajah keduanya terlihat sedang tidak baik-baik saja.

"Kiara, apa selama ini suamimu bersikap baik?" tanya Atma menatap menantunya.

"Baik, Pa. Mas Arga bersikap baik, kok," jawabnya seraya tersenyum.

Damar yang baru saja keluar turun dari lantai dua mendengar obrolan itu. Keningnya mengerut mencoba mencari tahu.

"Apa kamu menyembunyikan sesuatu, Kiara?" Kembali Atma bertanya.

"Nggak, Pa. Kiara nggak menyembunyikan apa-apa. Ada apa sebenarnya, Pa, Ma?"

Tak lama terdengar suara mobil berhenti. Damar yang tahu siapa yang datang segera keluar. Matanya menyipit. Arga terlihat kacau turun dari mobilnya.

"Mas?" tanyanya dengan ekspresi serius meminta penjelasan.

Tak menyahut, Arga hanya menatap sekilas lalu melangkah masuk. Arga membuang napas perlahan saat melihat mata ketiga orang yang sedang duduk di sofa itu semua menatapnya.

Dari ketiganya hanya mata Kiara yang tampak ragu.

"Duduk!" titah Atma.

Pria paruh baya yang biasanya ramah itu tak tampak sama sekali keramahan di parasnya.

"Jelaskan apa yang sudah Papa lihat siang tadi!" sentaknya tanpa basa-basi. "Bikin malu!"

Kiara menunduk mencoba mencari jawaban apa yang terjadi.

"Pa, yang Papa lihat itu bukan seperti yang Papa pikir, Pa. Arga cuma makan siang dan dia ...."

"Jangan mencari pembenaran! Papa tahu dia siapa! Dia perempuan yang ingin kamu nikahi waktu itu, kan? Perempuan seperti itu yang kamu inginkan jadi istri? Memalukan!"

Mata Kiara membulat. Dia tak menyangka Arga terpergok oleh Papa dan mertuanya. Perempuan bermata indah itu mengembuskan napas perlahan.

Sekarang apa yang bisa dia lakukan? Karena walau bagaimanapun dia juga punya andil sehingga semuanya jadi seperti ini.

"Kamu punya otak nggak? Kamu itu sudah menikah! Kamu juga paham kan kamu siapa? Hah!"

Arga tak menyahut. Dia hanya duduk dengan tangan bertumpu di atas pahanya dengan wajah muram.

"Kiara, maafkan Papa juga Mama yang selama ini menyangka Arga anak yang baik. Maafkan kami jika ternyata keluargamu terlebih papamu menjadi sangat kecewa dalam hal ini."

Kiara mengerutkan keningnya.

"Papa Kiara, Pa?"

"Iya. Papamu juga tahu bagaimana kelakuan Arga?"

Menelan ludah, Kiara menutup mulut dengan tangan. Dia kembali harus terkejut karena hal yang sama sekali tidak dia sangka.

"Sebentar lagi orang tuamu datang. Papa nggak menyalahkan keputusan mereka soal ini. Papa sadar ini karena dia yang tidak tahu diri!" tutur Atma dengan mata memindai tajam ke arah putranya.

"Pa, Arga bisa jelasin semuanya. Arga tahu Arga salah, tapi apa yang Papa lihat sama sekali nggak seperti yang ada di pikiran Papa," timpalnya dengan wajah cemas.

Kebohongan ternyata harus mengorbankan apa pun yang telah diraih. Bahkan semua rencana gagal. Arga mengepalkan tangannya. Sesakit ini hasil dari rencana bodoh yang dulu dia anggap indah.

Sekarang? Apa yang akan dilakukan mertuanya? Akankah sang mertua akan memisahkan dirinya dengan Kiara?

"Apa yang akan kamu katakan sudah tidak ada artinya, Ga! Papa sendiri jika berada di posisi mertuamu tentu akan sangat kecewa! Kamu tahu, Ga! Perbuatanmu itu memalukan!"

Kali ini Atma berkata seraya memukul meja membuat Kiara yang tepat berada di sampingnya terperanjat. Sementara Dira sejak tadi hanya diam meski matanya terlihat sangat kecewa.

"Papa, maaf, boleh Kiara bicara?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top