Sebuah Kesepakatan
Awalnya Kiara hendak membangunkan Arga supaya pindah ke kamar, tetapi hatinya kembali mentah saat menyadari bahwa pria di depannya itu bahkan sama sekali tidak memiliki empati padanya.
Dia tahu cinta Arga sangat besar terhadap Astrid. Itu alasannya membiarkan Arga tetap bisa berhubungan dengan kekasihnya itu. Akan tetapi, sebagai perempuan yang secara sah sebagai istrinya, terkadang ada perasaan bahwa dirinya juga berhak dihormati dan dijaga perasaannya.
Kiara menarik napas dalam-dalam. Ucapan mertua dan orang tuanya kembali memenuhi memorinya. Petuah bijak yang sebenarnya sudah dia hapal itu hanya seumpama buih di lautan yang kemudian musnah tak berarti.
Dulu dia berpikir jika patuh kepada orang tua, maka kebahagiaan akan selalu menghampiri. Setidaknya hal tersebut dia alami. Namun, untuk kali ini dia merasa ada yang salah.
Semakin lama bertahan, semakin kuat pula perasa ingin berhenti. Terlebih ketika dia merasa Arga hanya menjalankan semuanya tanpa hati. Hal tersebut berbeda dengan nuraninya yang perlahan ingin membenahi niat awal menikah.
Ada keinginan kuat untuk membuktikan bahwa apa yang dia yakini adalah benar. Bahwa mengikuti kehendak orang tua selama hal itu baik adalah bukan suatu kesalahan. Namun, tentu saja dia menyadari bahwa akan sia-sia jika Arga tidak memiliki keinginan yang sama.
Menarik napas dalam-dalam, Kiara melangkah menjauh.
"Kiara?" Suara berat Arga menghentikan langkahnya.
"Kamu ...."
"Eum, aku dari dapur. Haus," tuturnya beralasan kemudian melanjutkan langkahnya.
"Kiara!"
Perempuan berambut hitam sepunggung itu membalikkan tubuhnya.
"Ya?"
Pria berpiyama biru gelap itu terlihat ragu hendak berbicara.
"Kamu udah selesai urusannya?"
"Udah."
"Aku nggak ganggu, kan kalau tidur di ...."
"Nggak. Itu kamarmu, kan, Mas? Mungkin justru aku yang menggangu karena menempati kamar itu," sahutnya datar.
Arga menarik napas dalam-dalam kemudian bangkit dari sofa mendekati sang istri.
"Kita ke kamar sekarang!" ucapnya seraya meraih tangan Kiara.
"Aku bisa jalan sendiri, Mas!" tuturnya menarik pelan tangannya kemudian meniti anak tangga meninggalkan Arga yang tampak kecewa.
Mengusap wajahnya kasar, dia bergegas mengekori sang istri menuju kamar. Menutup pintu perlahan, Arga mendengar gemericik air di kamar mandi.
Pria beralis tebal itu menarik napas lega. Tak disangka, dibalik kepatuhan sang istri kepada orang tuanya, dibalik rasa peduli yang besar terhadap sesama, Kiara memiliki sikap keras kepala. Tak mudah membuat istrinya itu bertekuk lutut.
Dulu dia menyangka Kiara akan menangis dan memilih mundur dengan mengadukan perihal rumah tangga mereka yang tidak semestinya kepada orang tuanya.
Namun, justru kini dirinya yang merasa berada di dalam keterikatan rasa pada Kiara, yang dia tak tahu apa.
Suara gemericik air berhenti, Arga melangkah ke sofa dan duduk di sana. Kiara melihat sekilas suaminya lalu menuju ranjang.
"Kiara."
"Ya?"
"Menurut kamu apa yang harus kita lakukan?"
Alis Kiara bertaut menatap Arga.
"Maksudnya?"
Pria itu menegakkan badannya kemudian berkata, "Bisa aku minta waktu sebentar?"
"Mas bicara aja, besok aku nggak ada kegiatan pagi, selain ke kantor," jawabnya berjalan menuju ranjang. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Kamu nggak mau duduk di sini?" Kali ini Arga terlihat sangat kecewa.
Tegas dia menggeleng.
"Kamu marah, Ra?" Pertanyaan Arga membuat mata indahnya langsung memindai sang suami.
"Marah untuk apa?" Dia balik bertanya. "Aku bukan perempuan pemarah seperti yang kamu duga. Hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
Kiara mengedikkan bahu kemudian menggeleng.
"Katakan apa yang mau kamu katakan, Ra!"
Kiara bangkit dari tempatnya melangkah ke sofa dan duduk berjarak di samping suaminya.
"Mas belum menjawab berapa bulan kita akan seperti ini? Atau kapan Mas siap menjelaskan hubungan Mas dengan Astrid?"
Arga bergeming, meski matanya menatap Kiara.
"Aku ingin tahu apa rencanamu."
"Pisah. Apa lagi selain itu?"
Mengusap kepalanya seraya membuang napas, Arga menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Kenapa mudah berkata seperti itu? Kamu pikir itu baik?"
"Lalu? Apa Mas pikir berbohong dengan terus menutupi kebohongan adalah hal yang baik?" timpalnya.
"Oke! Apa kamu pikir aku senang dengan kebohongan ini, Kiara?" balasnya. "Nggak, Ra. Aku sama sekali tidak pernah suka dengan kebohongan ini. Kamu tahu, menyakiti banyak orang itu yang sudah kita lakukan!"
Mata Kiara menyipit.
"What?" Kiara menatap lekat suaminya, "kita Mas bilang?" Sambil menggeleng dia beranjak dari duduk.
"Aku nggak pernah berniat menyakiti banyak orang seperti yang Mas bilang. Aku menerima perjodohan ini murni karena ingin membahagiakan orang tua. Dan jika Mas bertanya kenapa aku memberi akses lebar untuk Mas sehingga bisa bertemu Astrid dengan leluasa, itu murni karena aku juga nggak mau menyakiti Astrid!" Kiara mengatur napasnya yang mulai tersengal.
"Kamu sedang membela diri, Kiara!" tampiknya. "Kamu berpura-pura semua baik-baik saja, tapi tidak dengan hatimu, kan?"
Kiara bergeming berusaha menguasai diri agar tak tersulut keadaan. Tidak ada yang salah dari ucapan Arga. Pria itu benar tentang berpura-pura, dia juga benar bahwa hatinya sakit saat merasa tak dihargai bahkan ketika dia telah melindungi sang suami.
"Aku tahu rasanya kehilangan lebih dari apa yang Mas pikir!" sambungnya lagi. Menarik napas dalam-dalam, dia kembali melanjutkan, "Rasanya kehilangan itu pahit, aku bersungguh-sungguh soal Astrid."
Hening, kalimat Kiara mengunci mulut Arga. Lagi-lagi dia dibuat berpikir keras dengan apa yang diinginkan Kiara.
"Kiara," tuturnya, "aku nggak tahu harus bagaimana. Aku juga nggak bisa begitu saja mengambil keputusan seperti yang kamu katakan. Itu nggak mudah, Ra!"
Memejamkan mata sejenak, Kiara berkata, "Mudah saja jika Mas bisa bersikap tegas. Atau Mas mau aku yang bicara ke Mama Dira?"
Arga menggeleng tegas.
"Oke, kita jalani selama tiga bulan. Selama tiga bulan itu kita mencari jalan keluar untuk semuanya. Kita tetap bersikap baik-baik saja di hadapan kedua keluarga kita," ucapnya mendekati bibir ranjang tempat Kiara duduk.
"Jujur aku ... aku sedang berpikir soal pesan papamu tadi."
Kiara membuat jarak ketika dirasa Arga terlalu dekat dengannya.
"Entahlah, aku merasa pengecut aja sebagai laki-laki," tuturnya terdengar seperti keluhan. "Belum lagi kecurigaan Mama," sambungnya diakhiri dengan helaan napas resah.
"Papamu demikian percaya padaku, tapi aku ... mungkin kita harus memperbaiki semuanya, Ra. Aku sebenarnya nggak mau mengecewakan orang tua."
"Maksudnya?"
"Kita jalani dulu pernikahan ini dengan benar selama tiga atau empat bulan untuk membuktikan apa yang dikatakan mereka benar atau salah."
Kiara terlihat tak mengerti. Arga menatapnya lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku akan belajar menerima semua yang diinginkan Mama juga papaku seperti kamu berusaha menerima pernikahan ini," jelasnya.
Kiara bergeming membiarkan suaminya melanjutkan pembicaraan.
"Aku akan mencoba bersikap sebagaimana seorang pria yang sudah beristri. Melakukan apa yang jadi tanggung jawab sebagai suami dan ...."
"Untuk apa? Untuk apa Mas melakukan itu jika ujungnya akan lebih menyakiti Astrid?" Kiara menyeringai, "Nggak perlu masuk terlalu dalam, Mas jika semuanya cuma sandiwara. Mas tenang aja. Aku nggak akan menuntut apa pun."
"Tapi aku tetap akan melakukannya, Ra! Aku pria yang bertanggung jawab atas apa yang sudah aku ucapkan, lalu tentang Astrid, aku akan bicara soal ini ke dia!" tegasnya.
"Kamu istriku, dan aku suamimu. Kita akan mencoba menjalankan pernikahan ini dengan benar hingga aku atau kamu bisa membuktikan bahwa mitos itu tidak benar! Mitos kuno yang membuat seolah-olah semuanya benar!" Kembali Arga berkata, kali ini dengan intonasi lebih tinggi.
Kiara menarik napas dalam-dalam memikirkan ucapan pria di sampingnya.
"Mas, kamu tahu? Aku sudah berulangkali mengatakan bahwa aku tidak percaya dengan mitos itu, aku hanya percaya pada restu kedua orang tua. Hanya itu!" tuturnya kembali membuka suara.
"Jika Mas ingin mematahkan atau membuktikan mitos itu benar atau salah, itu terserah!"
Arga kali ini memilih diam.
"Jadi sampai kapan itu? Sampai kapan kita bisa membuktikan semuanya? Sebulan, dua bulan, tiga bulan atau ...."
Menatap tajam istrinya, Arga menjawab, "Tiga bulan!"
"Jika selama itu aku tidak menemukan jawaban kebenaran mitos itu, aku akan turuti keinginanmu tadi, pisah. Tapi jika sebaliknya, kamu tetap bebas menentukan keinginanmu, Ra."
Kiara tercenung mendengar kalimat Arga. Pria itu sama sekali tidak berbicara soal keinginannya.
"Lalu Astrid?"
"Itu urusanku! Sekarang kamu istirahat. Maaf sudah banyak menyita waktumu malam ini."
Tak menunggu sahutan dari Kiara, Arga melangkah ke sofa lalu merebahkan tubuhnya di sana.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top