Rencana yang Gagal


Kiara tersenyum tipis menanggapi. Dia melirik arloji menunjukkan pukul setengah empat sore.

Dia teringat Arga yang akan mengajaknya bertemu Damar di kediaman mertuanya. Akan tetapi hujan masih deras menyirami bumi, dan angin pun seperti enggan mengecilkan embusannya.

"Mbak sebaiknya menunggu hujan sedikit reda dulu. Bukan apa-apa, hujan disertai angin ini bahaya, Mbak "

Kiara tersenyum seraya mengangguk. Dia kembali menyesap minuman hangat yang disediakan Halimah.

"Biar keluarga nggak khawatir, sebaiknya Mbak telepon kasi kabar ke mereka, Mbak," tutur Halimah memberi saran.

Perempuan yang menggerai rambutnya itu menarik napas dalam-dalam kemudian berkata, "Saya harus pulang, Pak, Bu. Ada hal penting sore ini yang harus saya hadiri."

"Tapi, Mbak, hujan dan angin masih ...."

"Nggak apa-apa, Bu Halimah. Saya bisa hati-hati kok."

Tak bisa mencegah Kiara, kedua pasang suami istri itu mengangguk. Melipat kedua tangannya ke dada, dipayungi Halimah, dia menuju mobil.

"Terima kasih, Bu."

"Hati-hati, Mbak Kiara."

Mengulas senyum, Kiara gegas masuk mobil sebelum meninggalkan tempat itu, kembali dia mengucap terima kasih pada perempuan paruh baya itu.

Perlahan memacu mobilnya, Kiara kembali terngiang ucapan Halimah. Tentu tidak sekali dia kali dia mendengar petuah yang serupa tentang hal yang dapat alami, tetapi entah mengapa perkataan istri Tarno itu sedikit membuat dia merasa mulai bisa mencerna.

Petir kembali menyambar, Arga memijit pelipisnya saat tahu jika sang istri sama sekali tidak menghubungi kedua sahabatnya. Arga mendatangi kantor Kiara untuk mencari perempuan itu berharap mendapatkan jawaban. Akan tetapi, yang dia dapat justru semakin membuat dirinya khawatir.

Sementara Niken dan Fia saling menatap. Mereka menduga Kiara berada di pemakaman Satria. Keduanya paham jika Kiara menghilang tiba-tiba, itu berarti dia tengah 'mengunjungi' Satria.

"Tapi ini hujan badai, Fi. Masa iya dia masih di sana?" tanya Niken.

"Bisa jadi, Ken. Kamu kayak nggak tahu Kiara aja!" balas Fia.

"Dia kalau sedang berada di sana bisa berjam-jam dan nggak mau dihubungi siapa pun, kan?" tuturnya lagi.

Obrolan mereka didengar oleh Arga yang masih berada di tempat itu.

"Di mana emangnya Kiara? Apa kalian tahu sesuatu?" timpal Arga menatap keduanya.

Kembali Fia dan Niken saling tatap. Meski ragu akhirnya mereka mengangguk.

"Di mana, Kiara?" tanyanya lagi.

"Di ... pemakaman," jawab Niken lirih.

Kening Arga mengerut mendengar jawaban perempuan di depannya. Dengan mata menyipit dia bertanya, "Pemakaman? Kiara ada di pemakaman siapa? Kenapa dia di sana? Kalian tahu dari mana?"

Sesaat keduanya diam.

"Pemakaman siapa?" tanya Arga mengulang.

"Satria. Makam Satria," jawab Fia.

Mata Arga menyipit.

"Satria? Siapa Satria?"

Baik Niken dan Fia tak langsung menjawab. Mereka kembali saling menatap. Dering telepon milik Arga menyudahi rasa penasarannya.

"Arga, kamu di mana? Udah berangkat ke rumah?" Suara Dira di seberang membuat pria itu memberi isyarat pamit kepada Fia dan Niken.

"Arga masih ... di jalan, Ma. Ini mau jemput Kiara."

"Oh gitu. Hujan masih deras banget, nggak apa-apa kalau terlambat."

"Iya, Ma. Kalau gitu, Arga tutup teleponnya ya. Sampai ketemu nanti."

Setelah mendapat jawaban dari Dira, Arga menutup telepon lalu bergegas masuk mobil. Menarik napas dalam-dalam, Arga mencoba kembali menghubungi sang istri. Hatinya bersorak ketika telepon yang dia hubungi terdengar nada sambung.

"Kiara kamu di mana? Aku cari kamu dari tadi tapi kamu nggak bisa dilacak. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik aja, kan? Ini aku di kantormu, baru aja keluar. Fia sama Niken bilang kamu ke pemakaman? Itu benar?" cecarnya dengan nada khawatir.

Kiara memijit memejamkan mata sejenak seraya memijit tengkuknya. Mendadak kepalanya terasa berat.

"Kiara? Kiara kamu baik-baik aja, kan?" Kembali terdengar suara dari seberang.

"Aku baik. Ngapain ke kantorku? Kan aku udah bilang aku nggak ngantor?"

"Iya aku kan cari kamu karena ...."

"Aku pasti pulang dan memenuhi janji kok. Mas tenang aja," potongnya.

Terdengar helaan napas dari Arga.

"Sekarang kamu di mana? Ini masih hujan dan angin kencang, kamu di mana?"

"Aku lagi di jalan menuju rumah."

"Hati-hati, Kiara! Aku juga pulang sekarang!"

Kiara mengakhiri obrolan tepat saat lampu hijau menyala. Kondisi hujan lebat membuat semua mobil bergerak lambat, demikian pula dengan mobil yang dikendarai Kiara. Selain cuaca, kepalanya juga terasa semakin berdenyut.

Mencoba bertahan, akhirnya dia sampai di depan rumah. Hujan masih enggan mereda, dengan sedikit berlari dia membuka pagar dan membiarkan mobilnya di luar.

Kiara membuka pintu langsung menuju kamar. Seolah tak sanggup menahan gigil yang tiba-tiba melanda, dia segera merebahkan diri di ranjang dan bergelung selimut.

Sementara Arga barusan tiba, sama seperti Kiara, dia tak memasukkan mobil ke garasi. Pria itu gegas masuk ke rumah.

"Kiara!" panggilnya.

Arga menebar pandang ke segala sudut ruangan.  Pintu kamar sang istri terlihat sedikit terbuka. Ragu dia mendekat. Terlihat dari tempat dia berdiri, Kiara terbaring dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.

"Kiara!"

"Tetap di situ! Aku nggak apa-apa," cegahnya menyibak selimut.

Langkah Arga terhenti saat berniat masuk ke kamar istrinya.

"Kamu sakit, Ra?" tanyanya resah.

"Nggak, aku nggak apa-apa. Kita berangkat jam berapa ke rumah Mama? tanyanya menahan gigil.

Menyadari sang istri tak baik-baik saja, Arga menggeleng. Dia melanjutkan langkah mendekati ranjang Kiara.

"Aku bilang tetap di situ. Jangan. Masuk kamarku!"

"Tapi, Ra. Kamu sakit. Kamu pucat!"

Menggeleng, perempuan yang masih memakai blouse berwarna putih dengan celana denim itu bangkit seraya berkata, "Aku bilang aku nggak apa-apa, Mas. Ini sudah hampir senja. mas keluar dulu. Aku mau siap-siap!"

Arga menggeleng.

"Nggak, Ra! Kamu sakit, kan? Kamu pucet banget. Kita nggak usah ke rumah Mama. Kamu isti ...."

"Kiara!" pekik Arga berlari lalu menahan tubuh istrinya sebelum jatuh ke lantai.

Kiara pingsan. Wajahnya pucat dengan badannya terasa panas.

"Kiara, bangun, Kiara! Kiara!"

Arga lalu membopong tubuh sang istri membaringkannya kembali ke ranjang. Pria itu terlihat panik. Berulang-ulang dia mencoba menyadarkan perempuan berhidung mancung di depannya, tetapi tak juga perempuan itu membuka mata.

Masih panik dia membuka google mencari cara membangunkan orang pingsan.

"Oke, Kiara, bangun, Ra. Kiara, kamu bisa dengar aku?" Arga terus memanggil dan tangan menepuk lembut istrinya.

Pria itu melihat ada minyak kayu putih di samping bantal Kiara, segera dia membuka dan mendekatkan benda itu ke hidung sang istri.

"Ra, kamu dengar aku? Kiara!"

Perlahan mata Kiara terbuka, masih dalam kondisi lemah dia bertanya, "Aku kenapa?"

Arga menghela napas lega setelah melihat mata istrinya terbuka. Masih dengan satu tangan menggenggam tangan Kiara, Arga menjawab, "Kamu tadi pingsan. Huuftt, aku panik! Ak yg takut Kamu kenapa-kenapa. Syukurlah sudah sadar. Eum ... aku buatkan teh hangat ya. Kamu diam di sini!"

Kiara mengangguk perlahan melepas pegangan tangan Arga. Merasa Kiara tak suka tangannya dipegang, Arga meminta maaf.

Dia kemudian bangkit melangkah meninggalkan  Kiara yang masih lemas. Tak lama kemudian, Arga kembali dengan membawa satu gelas teh hangat.

"Kamu minum dulu. Setelah itu kalau udah baikan, kita ke dokter," tuturnya seraya membantu Kiara untuk sedikit mengangkat kepalanya supaya bisa meneguk minuman buatannya.

Tak membantah, Kiara menyesap minuman hangat itu perlahan.

"Makasih. Oh iya, kalau Mas mau ke rumah Mama, Mas pergi aja. Sampaikan salamku untuk ...."

"Ssttt!" Arga menempelkan jari ke bibir sang istri seraya menggeleng. "Kita nggak usah ke rumah Mama. Biar nanti aku telepon kabari mereka. Aku antar kamu ke dokter malam ini."

Kiara menggeleng cepat.

"Nggak perlu, Mas. Aku baik-baik aja kok. Tidur lalu istirahat itu udah cukup. Lagian ini demam biasa mungkin karena tadi aku kehujanan."

Mata Arga memindai wajah istrinya. Bibir yang tadi sempat pucat itu mulai kembali memerah.

"Kamu tadi dari mana sih, Ra? Kenapa sampai kehujanan dan kenapa teleponnya kamu nonaktifkan?"

Kiara bergeming. Arga mengangguk paham. Dia merasa perempuan di depannya itu enggan bercerita.

"Kamu mau makan apa?" tanyanya. "Kamu harus makan."

"Apa aja," jawabnya malas seraya menarik selimut hingga ke dada.

"Kamu masih kedinginan?"

Kiara mengangguk. Cuaca senja itu benar-benar membuat tubuhnya menggigil.

"Aku pesankan ...."

"Nggak usah, Mas. Buat nanti aku bikin mie instan aja. Sekarang biarkan aku tidur."

"Tapi kamu nggak boleh tidur dalam kondisi belum makan, Ra!"

Menarik napas dalam-dalam Kiara tersenyum.

"Percayalah, Mas. Aku udah sering seperti ini. Nanti juga sembuh kok. Teh hangat tadi sudah cukup membantu. Terima kasih ya," terangnya dengan mengulas senyum.

Arga menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Oke, tapi kalau kamu butuh sesuatu, kamu bilang ya. Aku di ruang tengah. Kamu bisa memanggilku kapan pun kamu butuhkan."

Kiara mengangguk pelan.

"Aku keluar dulu ya. Selamat istirahat, Ra. Cepat sembuh!" tuturnya sesaat sebelum menutup pintu.

**


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top